Tiga orang cewek sedang berkumpul di salah satu ruangan berac lengkap dengan beberapa fasilitas lainnya. Ada wifi, TV LED, kulkas, AC, bahkan luasnya hampir sama dengan ruang tamu. Dimana lagi kalau bukan di kamar Mery, kamar yang penuh makanan serta fasilitas mewah yang membuat siapa saja betah berlama di sana.
Tasya sibuk berkutat menyelesaikan tugas di macbooknya, sesekali memijat pelipis, faktor dari banyaknya tugas yang diberikan Pak Yoshi. Memusingkan kepala.
"Ah sialan." Kini Tasya sudah muak pada tugasnya. Ia menutup macbook, meluruskan kaki, sebelum akhirnya menguap dan merebahkan tubuh pada kasur king size Mery.
"Kesel banget Sya, why?" tanya Raya, tangannya sibuk mengepang rambut Mery.
Tasya menoleh setelah mendengus. "Biasa, tugas pak kumis, nyuruh-nyuruh gue bikin soal matematika."
Raya terbahak puas. "Kesian deh lo, untung gue sama Mery di rumah sakit waktu itu, jadi kita ada alasan ngehindarin tugas. Iya kan, Ry?"
Raya m
Pening, sakit perut, dan penglihatannya memburam. Setidaknya itulah yang dirasakan Aldevan sekarang. Setelah berulang kali memuntahkan semua isi perutnya, kini cowok itu bersandar pada tembok di belakangnya. Menahan gejolak aneh yang ada di perutnya. "Lo yakin gapapa, sini gue bantu lo ke UKS. Lo minta bisa obat di sana," ucap Kevin yang sedari tadi berada di sampingnya. "Nggak perlu, sebaiknya lo tinggalin gue aja. Biarin gue sendiri. Gue takut Mery liat," jawab Aldevan, wajahnya memucat. Kevin maju selangkah, ia menatap Aldevan. "Kenapa lo takut Mery liat?" "Gapapa." "Masa?" "Vin. Lo ngerti perintah gue nggak?!" kali ini suara Aldevan naik satu oktaf. Mengerti, Kevin pasrah. Ia bersuara lalu menepuk pundak Aldevan. "Oke, karena lo sedang emosi. Lo tunggu di sini, gue ambilin obat." Tanpa mendapat respon, Kevin pergi dari hadapannya. Aldevan sekilas mendapati cowok itu membuka bekal pink milik Mery. Bukan h
"Tinggalin semua kebiasaan buruk lo." Jawaban Aldevan membuat Mery mengerucutkan bibir, jika ditanyakan soal kebiasaan ia memang sulit merubahnya. Dari dulu, kebiasaan buruk Mery bagai bayangan yang mengikuti kemana pun ia pergi. Jangankan merubah, hal sepele seperti mengancing dua seragam atasnya saja ia sering lupa. "Merubah gimana sih maksud lo? Dari sananya gue emang ditakdirin kayak gini. Enggak ah gak mau, gue nggak terima," rengek Mery. Melipat tangan di bawah dada. Aldevan memutar bola matanya malas, menarik satu tangan Mery dan menyentuhkannya ke dadanya. "Ya sudah, terserah lo. Jadi hadiahnya juga nggak jadi." Mery menatap Aldevan terkejut. "Eh, masa gitu?" Aldevan menatap Mery pongah. "Supaya adil, lo nggak terima, gue juga nggak terima ciuman pertama gue lo ambil percuma. Lagian, apa susahnya lo berubah demi gue, demi masa depan lo sendiri," kata Aldevan. "Artinya lo bakal nikah sama gue?" tanya Mery antusias.
Kantin perlahan mulai penuh, setelah bel istirahat kedua berbunyi nyaring. Banyak siswa-siswi mengantri demi membeli jajanan atau sekedar menggosip berita baru di sekolah. Namun itu tidak untuk tiga orang cewek yang sedang duduk di salah satu kursi panjang, dua cewek di antaranya sibuk memainkan ponsel, tapi satu cewek–-berkepang lainnya malah sibuk berkutat dengan buku paket Matematika. "Yaelah, Ry. Kena angin apa lo mendadak rajin gitu?" tanya Raya. Dengan mulut hampir penuh camilan. "Kesantet Aldevan kali, gue mikirnya gitu, pemandangan langka banget dah, tuh liat Ry. Lo jadi tontonan mereka. Nggak malu apa?" Tasya melirik penghuni kantin yang rata-rata menoleh ke arah mereka, ah tidak! Lebih tepatnya ke arah Mery. Bagaimana tidak? Pemandangan Mery belajar di kantin itu sangatlah langka. Bahkan ada yang sampai mengucek-ngucek matanya. Mery melirik sekilas keadaan kantin, memang benar, hampir semua mata menatapnya. Namun tidak akan
Taman kecil belakang sekolah menjadi pilihan Aldevan untuk mengajarkan Mery materi matematika. Jujur, ia sendiri tidak begitu ahli jika menyangkut hitungan. Adanya hembusan angin menerpa sesekali membuat mereka nyaman, apalagi hanya berdua saja. "Ih, ini susah banget, pake rumus apa coba? Gue nggak paham, au ah belajarnya besok aja lagi." Mery mulai merengek setelah membaca satu soal, lantas membuat kepalanya pusing seketik. Aldevan mendengus geli, dia mengambil satu pulpen dari tangan Mery. "Ini mudah kok, lo baca dulu materinya, jangan langsung ke soal," kata Aldevan, membalik halaman buku paketnya. Menunjuk penjelasan materi di sana. "Materinya mudah, soal tentang barisan dan deret. Gue yakin lo bisa, baca pelan-pelan." "Susah tauu! Lebih susah dari dapetin itu dari lo," kata Mery menunjuk bibir Aldevan. Cowok itu memutar bola mata. "Susah lagi kalo lo gak usaha pahamin, ini mudah, Ry, anak kelas sepuluh aja pasti bisa. Masa lo
"Yeay, udah sampe. Nggak mau masuk dulu, jarang banget ih lo mampir, mumpung gue lagi sendiri," ucap Mery, ketika motor Aldevan berhenti tepat depan pagar rumahnya. Gelengan pelan respon Aldevan, ia hanya tidak nyaman jika berduaan saja dalam rumah yang sepi. Diusapnya lembut rambut Mery, kemudian berkata. "Enggak." "Ih, mau ya, kali ini aja, gue lupa kapan terakhir kali lo ke rumah gue, rasanya udah lama banget. Mau ya, mau, mau dong." Mery bersikeras, dia menarik-narik lengan seragam Aldevan, seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan. Karena Mery sudah turun dari motor, Aldevan sulit mengelak sebab kini cewek itu merentangkan tangan, tepat depan motornya. "Iya dah, iya gue mampir. Cuma sebentar, gue ada urusan habis ini." Aldevan menghela berat dan melepas helmnya, turun dari motor lalu berhadapan dengan Mery. "Yeay, ayo masuk," senang Mery, langsung menuntun Aldevan masuk ke rumahnya. Namun baru sampai depan pintu, cowok
Ada sekitar sepuluh menit berlalu, Aldevan menyusuri jalanan sore ditemani angin sejuk menyentuh kulit. Kini, cowok itu sudah sampai di depan rumahnya, memarkirkan motor, melepas helm, lalu merapikan rambutnya yang acakan. Hal pertama yang ia dapati saat membuka pintu ialah keberadaan Anggie, ia mengernyit, bukan karena Anggie sedang menatapnya dingin melainkan wanita paruhbaya lain yang juga duduk di sampingnya. Itu Hasna-–bundanya Hana. "Assalamualaikum." Aldevan memberi salam, jaket menggantung di pundaknya. Enggan menatap Hasna lebih lama. "Waalaikum salam," jawab Anggie datar, bernada dingin. Entah kenapa, Aldevan tidak mengerti apa yang terjadi sebelumnya. Tidak pernah mamanya berekspresi seperti itu. Apalagi sekarang ada tamu. "Darimana saja baru pulang jam segini, Aldevan?" tanya Anggie, Aldevan yang berjalan menaiki tangga lantas menghentikkan langkah, menatap mamanya. "Nganter Mery pulang dulu tadi." Aldevan menjawab tidak kalah dingin. "Ada pertanyaan lagi?" Ini pert
Hari demi hari berlalu. Terhitung satu bulan hari ini Aldevan menjalin hubungan dengan Mery.Aldevan menikmati tiap suapan dari cewek itu--Mery dengan senangnya sekaligus malu-malu menyuapi nasi gorengnya. Karena murid seleksi eskul kian banyak memasuki ruangan. "Aciee, elah bos kita para jomblo pada ngiri nih. Jauh-jauhan dikit gih sana, katarak lama-lama mata gue liat yang romantis mulu tiap hari," rengek Kevin yang tengah duduk di kursi khusunya. "Bener apa kata Kevin, lo jangan sok romantis deh, mentang-mentang gue ketolak mentah Hana. Kan gue jadi iri. Cielah nih anak!" Arlan mencibir, terselip nada bercanda dari kalimatnya. "Nih ye bos, dengerin baik-baik, tuh cewek lo santet apaan ampe berani berubah gitu demi lo?" tanya Arlan, lalu menyeruput kuah baksonya. Kevin tertawa renyah. "Hooh. Gue juga penasaran, terlalu cinta kali ya? Kan kasian Arlan gak dapat jatah liat body kinclong. Seragamnya udah ngelebar gitu." Mery yang mendengar itu hanya
"Aldevan tungguin, jalannya cepet amat sih, ini kaki aku pegel kalo cepet-cepet," kekeh Mery, ia menyeimbangkan langkah dengan Aldevan. Setelah akhirnya keluar dari ruangan eskul fotografi. Aldevan melirik sekilas ke belakang, untung lorong sudah sepi, hanya ada beberapa siswi yang nekat melihat keberadaan mereka berdua. "Lo yang jalannya lambat kayak siput," cibirnya. "Gue tunggu, lima detik lo udah di depan gue. Kalo gak? Gak jadi gue ajarin lo motret." Mery mengernyit kesal, lima detik? Dia bahkan perlu satu menit menuju Aldevan. Wajar karena sekarang ia di ujung koridor. "Eh-eh, buset, cepet banget lima detik. Satu menit, pacar. Aku bukan supermen," kesal Mery mengerucutkan bibir. "Emang gue peduli?" "Yaudah iya-iya." Dengan langkah cepat Mery berjalan menuju Aldevan, mimiknya cemberut, sementara cowok berjarak lima meter dengannya itu hanya mendengus geli. "Empat ..." "Iya-iya." Langkah