Share

Bagian : 7

“Lilah! Gimana caranya bawa bonekamu yang sebesar ini?” tanya Kak Maya—kakak Malilah—ketika menyusul adek satu-satunya itu.

“Bonceng tiga,” sahut Yonna.

“Bonceng tiga gimana? Si Lilah mau ditaruh di mana? Roda?” Kak Maya tertawa kecil membayangkan adeknya berputar-putar di ban motor.

“Tega banget jadi Kakak, masa adeknya yang mau disimpan di ban,” ucap Malilah kesal.

“Tenang, kakak ipar. Nanti bonekanya aku yang bawa.” 

“Kakak ipar, apanya? Masih kecil juga, masih SMA! Main sebut kakak ipar aja,” cerocos Kak Maya galak.

“Aduh, adek kakak sama aja galaknya,” gumam Dovis. 

“Bercanda, kok, Kak Maya. Jangan dibawa serius, lah,” sambungnya.

“Kak May, ikut makan bareng kita, yok. Bakso beranak,” ajak Yonna. 

“Wih, bakso beranak, nggak sekalian cucunya, nih? Hayuk, lah,” terima Kak Maya.

Tiba di stan makanan, mereka menyatukan dua meja sekaligus agar semuanya bisa duduk bersamaan. Mengabaikan tatapan tak suka dari pendatang lain, mereka mulai memesan makanan dan minuman yang diinginkan. Semua perempuan memesan makanan yang sama, yaitu bakso beranak yang menjadi sorotan di stan tersebut. Sedangkan bagian lelaki, memesan makanan yang lebih bervariasi. 

Saat menunggu datangnya pesanan, Petunia izin ke toilet yang kebetulan berada tak jauh dari stan makanan. Luther menahan tangan Yonna saat gadisnya itu hendak menambah satu sambal lagi, dan justru mengarahkan satu sendok penuh sambal itu ke dalam mangkoknya. Membuat sang empu tangan, cemberut tak terima.

“Jangan kebanyakan, nanti perut kamu sakit.”

“Sedikit lagi,” pinta Yonna penuh harap, tetapi mendapat penolakan tidak terbantahkan dari Luther.

“Nurut aja dulu, Yon. Nanti kamu bisa bungkus satu, buat dimakan di rumah. Nah, habis itu, kamu bisa tambah sambal banyak-banyak tanpa doi tahu,” tutur Kak Maya seraya mengedipkan mata kirinya. 

Yonna tertawa kecil lalu menganggukkan kepalanya setuju, sambil melirik Luther yang berakting seolah tidak mendengar saran nakal Kak Maya. Luther tahu pasti gadisnya tidak akan melakukan hal tersebut. Lagi pun, dia melarang Yonna mengonsumsi banyak cabai demi kesehatan lambungnya.

“Eh, teman kalian yang tadi kenapa lama sekali di toilet? Ini kuah baksonya sampai dingin, loh,” tanya Kak Maya mengarah pada mereka semua.

“Kyaaaa!!! Tolong!!”

Teriakan cempreng tersebut langsung menarik perhatian seluruh pengunjung pasar malam yang berada di sekitar lokasi itu. Nampak seorang gadis dengan gaun berwarna kuning berlari panik keluar dari arah toilet.

“Itu Siri, kan?” Malilah menoleh menatap Yonna yang berdiri dari posisi duduknya.

“Dia kenapa?” tanya Akia membiarkan dahinya mengernyit heran.

Tanpa menjawab satu pertanyaan pun, Yonna berjalan tergesa mendekati Siri. Ditangkapnya tubuh perempuan itu sebelum terjatuh akibat tersandung oleh kakinya sendiri.

“Siri? Apa yang terjadi?” 

“I-itu! Di sana! Di dalam toilet ada-“

“Kyaaaa!!!” 

Teriakan segerombolan wanita lagi-lagi terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Semuanya berlarian panik sambil mengangkat sisi bawah rok agar lebih mudah berlari. Seketika mata Yonna membeliak kaget menyaksikan di belakang gerombolan wanita itu ada seorang perempuan bertubuh tinggi besar sedang mengejar entah siapa, sambil mengangkat tinggi kapak dalam genggaman kedua tangannya. 

Naas, Yonna menyaksikan perempuan bertubuh besar itu berhasil memenggal kepala seorang perempuan yang jatuh tersungkur. Teriakan perempuan malang itu terhenti bersamaan dengan darah segar yang menyembur sangat deras, menciptakan genangan merah, membasahi sepatu pantofel pemilik kapak. 

Menyadari keadaan yang menggila, Yonna membantu Siri berdiri, mengajaknya berlari untuk memanggil teman-temannya yang menatap kejadian tadi dengan horor. Tidak ingin membuang waktu, Luther menarik Yonna menuju luar arena pasar dilaksanakan, diikuti yang lain.

“Apa-apaan ini?!” teriak Malilah ketakutan. Matanya melirik ke arah belakang, di mana perempuan berkapak itu berlari seraya mengayunkan kapak tak tentu arah, mengikuti jalur pelarian mereka.

“Aku belum mau mati, oi! Jadian sama Mak Lilah kesayangan saja belum,” pekik Clovis tak terima dengan keadaan yang dia alami. 

Terlihat jelas, satu persatu pengunjung yang tidak diberkati oleh Dewi Fortuna berjatuhan bersama aliran darah juga sekaligus menjadi pertanda nyawa sudah melayang tinggi ke udara lepas. Seolah tidak melihat siapa yang berada di hadapan, tangan kejam itu terus saja mengayunkan kapak, mengoyak setiap senti daging yang tersentuh termasuk tubuh lemah anak kecil tak berdosa. 

Bahkan, saat ini gagang kapak sudah berubah warna, seakan baru diwarnai dengan cairan merah. Tangisan tak ayal mengikuti setiap bertambahnya nyawa yang meninggalkan raga.

“Tunggu! Petunia mana? Dia tadi ke toilet itu, kan?” Yonna menahan Luther untuk berhenti berlari.

“Kenapa berhenti?! Ayo, kamu nggak perlu mikirin dia. Kalau sudah takdirnya, kamu bisa melihat dia besok.” Luther kembali menarik gadisnya berlari ke arah parkiran. 

“Tapi-“

“Yonna! To-tolong saya!!!” pekik seseorang dari jauh.

Menoleh ke arah pekikan penuh kepanikan, Yonna terkejut melihat ternyata Petunia berusaha melepaskan diri dari genggaman wanita berkapak tersebut.

“Luther! Bagaimana ini?! Aku harus membantunya!” 

“Jangan bodoh! Kamu bisa jadi sasaran selanjutnya!”

“Tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja!” Yonna melepaskan secara paksa genggaman Luther, berlari secepat mungkin untuk membantu Petunia.

“God! Yonna!!” teriak Luther menyusul dari belakang.

“Yo-yonna, to-tolong!” Segala kekuatan sudah dikerahkan Petunia agar bisa terlepas dari seretan wanita itu, di tangan kirinya kapak berdarah masih menggantung menunggu waktu untuk memotong. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status