“Kenapa kamu belum tidur?”
Yonna terkekeh mendengar kalimat pertama di panggilan suara mereka.
“Kenapa ketawa?”
“Aku masih belum terbiasa kau sebut pakai kamu.”
“Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri.”
“Lebay, ah.”
“Ck, kalau kamu nggak mau, biar aku aja.”
“Hehe, nggak. Besok jadi, kan?”
“Pasar malam?”
“Iya, aku mau naik kapal bajak laut.”
“Nanti kita duduk paling belakang.”
“Yeay! Jangan muntah, ya?!”
“Kamu itu yang muntah.”
“Nggak!”
“Iya, deh, cantikku.”
“Okay! Sudah, aku mau tidur.”
“Jangan ngomongnya tidur, tapi malah asik main hp.”
“Nggak kebalik, pacar?”
“Nggak, tidur! Satu, dua, tiga!”
Yonna terkekeh, lalu mengucapkan selamat malam dan memutus panggilan.
/////
Usai mengirim pesan kepada Yulissa kalau ia akan pergi keluar jam tujuh nanti bersama Luther dan yang lain, Yonna mulai bersiap-siap. Ia mengenakan A-line dress putih yang dipadukan dengan jaket jin over size berwarna biru pudar, outfit itu pun diperkuat dengan penggunaan ankle boots. Rambutnya yang lurus dibiarkan terurai begitu saja.
Menjelang jam tujuh, Yonna duduk menunggu Luther di luar. Sesekali ia mengambil gambar diri, kemudian membagikannya ke akun media sosial pribadinya. Saat ingin membuat video, Luther sampai lebih dahulu.
“Aku takut kamu nggak mau ninggalin motor besar kesayanganmu di rumah,” ucap Yonna sembari memasang helm andalannya.
“Nggak, lah. Waktu kamu bilang pakai dress gini, aku langsung mutusin pakai skuter aja.”
Yonna memeluk pinggang Luther, “Hehe, kamu itu yang terbaik. Ayo, berangkat!”
Meski motor yang dikendarai Luther adalah motor tua, kelakuan motor itu tidak selambat yang orang pikirkan. Dengan kecepatan yang terbilang cukup cepat untuk motor tua, Luther berhasil sampai ke lokasi pasar malam tepat waktu. Bersamaan dengan teman-temannya yang juga datang.
“Woi, lah, tahu yang pacaran. Nggak usah pakai acara couple-an segala,” seru Dovis malas melihat sepasang kekasih itu.
“Loh? Eh, iya!” Yonna baru sadar ternyata pakaian yang ia kenakan senada dengan Luther. Pacarnya itu juga memakai jaket jeans biru muda dengan kaus polos putih di dalamnya, sedangkan celananya berwarna hitam.
“Nggak sengaja tahu, aku nggak ada janjian sama Luther,” kilah Yonna.
“Kalau kamu janjian juga tidak apa-apa, Yon. Sama pacar sendiri juga,” ucap Akia mendukung sahabatnya.
“Clovis juga pakai jaket jeans, loh,” tambah Malilah.
“Beda warna,” sahut Dovis lagi.
“Tapi, kok, yang sana lebih terasa couplenya?”
Lima murid SMA tersebut menoleh ke arah di mana Malilah menatap. Di sana, terlihat Petunia berjalan dengan otufit yang sangat mirip dengan pakaian Luther. Seolah yang couple adalah Petunia dan Luther, sedangkan Yonna hanya kebetulan mirip.
Luther menatap tak suka, dia langsung menukar jaketnya dengan yang dikenakan Clovis. Paham perasaan sahabatnya, Clovis menuruti.
“Waduh! Panas, nih,” pancing Dovis.
“Apaan, Dove. Nggak sengaja itu,” sahut Malilah.
Tidak ingin berpikiran aneh, Yonna mencoba mengabaikan.
“Aku aja bisa secara nggak sengaja samaan bareng Luther, jadi orang lain juga bisa, dong.”
“Kan, ini beda. Luther pacarmu, bisa aja ikatan batin atau gimana. Lah, itu?” Dovis menunjuk Petunia yang semakin dekat dengan dagu.
“Ish, jangan bikin Yonna overthinking kali, Dove!” Malilah mencubit perut Dovis. Membuat korban mengaduh kesakitan.
“Ha-halo, maaf sa-saya terlambat,” sapa Petunia seraya mengatur deru napasnya.
“Nggak apa-apa, kita juga baru sampai, kok,” balas Yonna.
Melupakan insiden couple dadakan itu, Malilah langsung saja mengajak mereka semua memasuki pasar malam. Sesampainya di dalam, seluruh mata dimanjakan dengan berpuluh-puluh stan makanan dan pakaian, serta banyak arena yang menyenangkan.
“Kita mau ke mana dulu, nih?” tanya Malilah seraya mengedarkan pandangan.
“Kita keliling saja dulu, habis itu baru naik wahana,” saran Akia.
“Ayo!” pekik Yonna dan Malilah heboh.
Teriakan demi teriakan histeris menggelegar di setiap ayunan kapal bajak laut tersebut yang semakin cepat. Bahkan Dovis yang awalnya sok berani, pun turut berteriak histeris merasakan gelitikan aneh di perutnya, antara takut juga menikmati. Sedangkan yang paling santai di antara mereka hanyalah Luther dan Clovis, dua orang itu seakan sedang menaiki komidi putar. Hanya Luther yang sesekali tersenyum manis menyaksikan Yonna begitu gembira menikmati wahana.
Setelah ayunannya melambat, Malilah mulai merasakan seisi perutnya tengah memberontak ingin keluar. Ia menepuk-nepuk pundak Yonna, agar bisa segera membantunya turun. Luther menahan kapal agar tidak bergerak, membantu Yonna membawa Malilah keluar dari kapal.
Saat ingin turun, lengan Luther ditarik oleh seseorang. Raut wajah Luther berubah seketika saat tahu siapa itu.
“Luther, jangan tinggalkan Petunia. Dia pasti merasa pusing juga,” teriak Yonna dari tangga. Lagi-lagi Luther mendesis tak suka, jika bukan Yonna yang meminta, Luther pasti membiarkan perempuan itu muntah di atas kapal.
Clovis membawa dua botol air mineral. Gadis berambut lurus itu menyerahkan botol yang sudah ia buka tutupnya kepada Malilah, sedangkan Clovis membukakan satu untuk Yonna.
“Kenapa kamu biarin Luther membantu Petunia?” tanya Clovis pelan.
Sambil mengurut tengkuk Malilah, Yonna menjawab, “Aku mau minta tolong Dovis, tapi dia sudah keburu lompat ke bawah. Kasihan ngebiarin Petunia di atas gitu aja.”
“Kita baru kenal dia, Yon.”
“Aku tahu, Clove, tapi nggak ada salahnya percaya. Dia nggak kelihatan jahat.”
“Kamu harus hati-hati,” bisik Clovis.
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,