"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari.
Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya.
"Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster.
Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa. Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras.
"Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan.
"Apa maksudmu?! Lepaskan!!"
Bukan hanya Petunia, Yonna pun mulai menangis.
"Biarkan dia mati."
"Jaga mulutmu! Monster!!"
"Bukankah kau ingin hidup tenang di masa depan?"
"Tentu! Dan untuk mewujudkannya kau yang seharusnya mati!"
Sekali lagi, wanita berkapak tertawa terbahak-bahak. Namun, pada detik berikutnya, ekspresi wajah itu berubah menjadi datar.
"Salah!" teriaknya kemudian.
Tangan kiri yang semula diam, kini mulai mengangkat kapak setinggi mungkin. Dijatuhkannya tubuh ramping Petunia agar berlutut dalam sekali hentakan.
Sontak keduanya menjadi semakin panik, Petunia meraung-raung memohon agar dilepaskan.
Bersama kepanikan, Yonna mencari cara untuk melawan. Ia melirik tongkat baseball yang tersedia di salah satu stan olahraga, dengan cepat Yonna mengambilnya. Dengan tepat, ia memukul ke arah genggaman tangan pada kapak saat benda itu hampir mengenai Petunia.
Merasakan perih akibat pukulan yang keras, seketika bunyi kapak yang menghantam dasar memasuki pendengaran. Teriakan penuh ketakutan Petunia mereda ketika kapak yang ingin memenggal kepalanya terjatuh.
Memanfaatkan waktu, Yonna menarik lengan Petunia menjauh. Melihat itu, wanita berkapak memancarkan tatapan nyalang, tangannya mengepal kuat.
"Berani sekali kau menghentikanku, gadis kecil!"
Yonna merinding takut, tanpa pikir panjang, ia berlari bersama Petunia menuju parkiran. Kepala Petunia tak henti-hentinya menoleh ke belakang. Ia menangkap amarah besar yang membara dari dalam tubuh wanita berkapak tersebut, berlari tak kalah kencang dengan kapak dalam genggaman, ia menggeram penuh emosi.
"Tunggu kau! Kali ini tidak akan kubiarkan kau hidup!" teriak wanita itu.
"Petunia cepat!"
"Sa-saya capek."
"Tidak ada waktu untuk beristirahat sekarang! Tahan sebentar, kita cari perlindungan."
"Ke mana kalian akan kabur, hah?"
Tiba-tiba, wanita berkapak itu berhasil menghadang jalan mereka. Dadanya naik turun, napas memburu, darah yang mengalir bersama turunnya keringat, memberi kesan horor yang teramat.
"To-tolong Yon-yonna," cicit Petunia sbari bersembunyi di belakang pundak Yonna.
"Tidak ada yang ingin meninggalkan pesan terakhir?" Selangkah demi selangkah wanita itu maju mendekat.
"Berhenti!" tahan Yonna dan langsung diikuti oleh wanita berkapak yang menelengkan kepalanya.
"Kata-kata terakhir? Dipersilakan."
"Bukan aku, tapi kau!"
"Masih berani? Hebat juga. Oh! Sayang sekali waktu habis, saatnya berpisah dengan nyawamu."
Setelah menyaksikan kapak itu bersiap mengambil nyawa mereka, Petunia berteriak keras. Jari-jarinya meremas pundak Yonna yang menegang.
Namun, bukannya Yonna atau Petunia yang tumbang, justru si wanita berkapak kini terbaring dengan mata membelalak kaget. Kapak jatuh tergeletak bersama dengan pemiliknya. Setelah tiga buah timah panas menembus jantungnya dari arah belakang.
"Ti-tidak lagi! A-ku Pertez ... akan kemba-" gumaman wanita tersebut berhenti sebelum selesai diucapkan karena nyawanya sudah melepaskan diri.
Sempat mengerutkan keningnya mendengar ucapan lirih wanita yang mengaku Pertez itu, Luther melempar senjata yang dia gunakan. Berlari melewati mayat monster dan menarik Yonna ke dalam eratnya pelukan.
"Luther."
"Kamu ini! Argh! Jika aku terlambat, kamu pikir apa yang terjadi, hah?"
"Maaf, Luther. Tapi sekarang aku aman, kita semua sudah aman. Kamu menyelamatkan kami." Yonna mengeratkan pelukannya.
"Jangan seperti itu lagi," pinta Luther lembut. Tetapi tidak selembut tatapan yang dilayangkannya ke arah Petunia. Perempuan itu tengah memeluk lututnya sendiri.
"Ayo, kita ke parkiran. Yang lain pasti khawatir menunggu di sana."
Masih di dalam pelukan Luther, Yonna mengangguk dan ikut berjalan. Sebelum melangkah, tidak lupa ia mengajak Petunia.
Tidak berselang lama, rombongan kepolisian mulai berdatangan, menyisir lokasi kejadian."Luther! Yonna!" panggil Malilah panik.
"Kalian tidak apa-apa, 'kan?" tanya Akia memeriksa diri Yonna.
"Nggak, kok. Kami semua aman," jawab Yonna.
"Sumpah! Kau bikin kita semua hampir mati ketakutan tahu, nggak?!"
"Maaf semua, aku cuma nggak bisa biarin Petunia begitu aja."
"Iya, kami ngerti, tapi nggak gitu juga caranya, Yon," kesal Malilah lagi.
"Terus aku harus gimana? Nunggu sampai monster itu bawa Petunia makin jauh, tersu di- nggak bisa."
"Setidaknya kau jangan langsung lari menerobos jalur, omongin dulu ke kita. Nanti kita bisa cari cara bareng," timpal Dovis.
"Nggak ada waktu buat diskusi, Dove."
Malilah membuang napas kasar.
"Sudah! Lupakan semuanya. Sekarang kalian sudah aman, Petunia juga nggak ada luka serius selain tergores. Polisi mengambil alih. Lebih baik kita semua pulang, keluarga kita pasti khawatir," lerai Akia.
"Petunia, kau pulang sama siapa?" tanya Yonna sebelum menaiki motor Luther.
"Sa-sama Papi, di-dia yang jemput sa-saya."
"Mau aku temanin sampai Papi mu datang?"
Mendengar tawaran Yonna, Luther mendecak malas.
"Ti-tidak perlu. Sa-saya bisa sendi-sendiri."
"Yasudah, kami duluan."
"Iya, ha-hati-hati!"
Dari belakang, seseorang tengah menunggu dan mengemudikan kendaraannya perlahan, mengikuti.
“Nggak, jangan dulu,” sambut Luther tiba-tiba. “Jangan tembak aku sekarang, tahan senjatamu sampai seenggaknya pagi datang … Sayang. Dengan begini aku masih bisa memastikan kamu selamat sampai meninggalkan tanah terkutuk ini. Aku nggak mungkin meninggalkanmu sebelum semuanya berakhir, tapi … aku pun nggak bisa menghadapi apa yang kamu pikirkan tentangku.”Yonna menangis tersedu-sedu, dia terduduk di tangan sambil menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Dapat dipastikan bahwa malam telah melewati tengah, mungkin sudah hendak mencapai pagi. Mata mereka, hati mereka, kaki, semuanya telah lelah, tak sanggup menahan teror yang semakin menjadi dan menyisakan mereka.Sekonyong-konyong sebuah tepuk tangan tiba-tiba muncul dari belakang sana. Yonna mengangkat wajah dengan bingung, sedangkan Luther membeliakkan mata menatap sosok di belakang Yonna. Laki-laki itu langsung berlari dan menarik Yonna berada di belakangnya.“Kau?” kaget Luther diiringi keterkejutan Yonna.Terkekeh, Petunia terse
Setelah kehadiran bisikan dari penglihatan Peramal itu, tak ada yang tenang. Sampai salah seorang berseru dan menyampaikan bahwa jika mereka ingin selamat, maka ingin tidak ingin apa yang disampaikan Peramal barusan harus dilakukan. Pro dan kontra tidak luput mengambil posisi di antara mereka semua.Ada yang berpikir Luther-lah si pelaku, tetapi ada yang berpendapat orang yang bersikeras menuduh Luther inilah yang telah membunuh Petunia dan kedua orang tuanya. Karena hal itu pula, mereka justru terbagi-bagi menjadi dua regu.Semula mereka berpencar, masih ada di benak bahwa pelakunya tengah bersembunyi dan mengintai. “Aku nggak peduli, siapa pun dia harus kubunuh. Aku masih ingin pulang dari sini hidup-hidup.”Di antara mereka yang menolak bahwa pelakunya Luther, sedang membuat rencana. Mereka takkan berpencar, tetap bersama, tetapi mencoba memahami lokasi yang mungkin saja dijadikan sebagai tempat persembunyian berdasarkan tempat Petunia di bunuh.Akia bersuara, “Bagaimana kalau tern
Siapa yang menyangka bahwa pada hari itu garis takdir mereka berubah drastis. Apa yang sebenarnya hendak ditinggalkan, justru mengejar mereka dari belakang hingga tiba di tempat persinggahan. Yonna, Luther, Malilah, Dovis, Akia, Clovis, dan peserta lain telah ditunggu kehadirannya oleh sebuah teror berdarah.Begitu sampai di tempat yang dimaksud, mereka berbondong-bondong turun menyaksikan pemandangan yang dipenuhi oleh hutan. Terdapat sebuah perumahan kayu yang memuat sejumlah kamar, dan sebuah bangunan tunggal yang disebutkan sebagai gudang. Masing-masing mereka membawa tas memasuki kamar yang sudah dipersiapkan, para perempuan sendiri dan laki-laki sendiri. Sementara di sana, Petunia mengatakan bahwa dia mungkin akan bersama ibu dan ayahnya. Sedang perempuan itu pikirkan.Baik Yonna, Malilah, maupun Akia sebenarnya tak mempermasalahkan, begitupun yang lainnya. Bagaimanapun mereka ikut di bawah ajakan Petunia dan keluarganya.“Aku sudah nggak sabar!”“Sama!”“Pasti akan sangat seru!
Memerlukan waktu cukup lama bagi Yulissa untuk pada akhirnya memberikan izin kepada sang anak, Yonna. Dalam sekali gerakan, perempuan itu mengangguk seraya berdeham. “Kamu bersungguh-sungguh bahwa bukan hanya kalian berdua, benar?” Secepatnya Yonna mengangguk mantap, ini adalah lampu hijau baginya. Mengangkat dua jari telunjuk dari tengahnya, Yonna berkata, “Sungguh, Ma. Yonna berani bersumpah, ini tuh perjalanan regu. Merayakan Hallowen.” Yulissa kembali diam, dia melirik sejenak kepada Bibi. Dia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, di mana kabar akan teror yang hanya terjadi di kota ini, sedangkan pada cakupan luar hampir tidak pernah terusik. Mereka berdua sempat kebingungan akan apa yang pelaku teror itu inginkan sehingga mengincar benar penduduk kota ini. Sehingga kini, Yulissa berpendapat di dalam hati, “Jika anakku berada di luar dari kota ini, tidakkah itu memberinya perlindungan secara tidak langsung? Ah, aku berharap begitu. Sungguh, aku takut jika anakku berkelia
"Beneran, Petunia?" Yonna menatap Petunia dengan terkejut, dahinya sampai mengerut, tetapi sorotnya justru ceria. Petunia tersenyum seraya mengangguk. "Be-benar, Yon. Sa-saya mengajak kalian se-semua ikut serta. Papi j-juga sudah setuju, d-dia yakin kalian ad-adalah teman baik saya." Malilah menyeringai senang. "Wih, biaya perjalanan ditanggung atau sendiri-sendiri ini?" Akia yang duduk di sebelah Malilah langsung menyenggol lengan perempuan itu sebagai teguran. Dia tersenyum meringis ke arah Petunia, Akia ingin teman baru mereka tersebut tak memikirkan serius apa yang barusan Malilah katakan. "Malilah hanya bercanda, Petunia. Kamu tidak perlu memikirkannya dengan benar-benar." "Ti-tidak masalah, Kiya. Sa-saya Juga ingin mengatakan i-itu. Papi y-yang akan menanggung semua ke-kebutuhan kalian, kita a-akan tinggal di se-sebuah villa besar. Pa-papi saya sudah me-memesannya khusus re-rencana ini
"Mungkin di dianya kali yang gangguan," balas Malilah acuh tak acuh. Yonna mengangguk mencoba memahami, bisa saja masalah sambungan sebenarnya terdapat pada ponsel Petunia. "Oke, deh. Jadi, fix ini ya, mereka sudah urus?" tanyanya sekali lagi ingin meyakinkan. Mendengar itu, Malilah mengangguk mantap. "Iya, jadi nggak usah lagi pikirin. Kita tinggal tunggu hasil, semoga aja bisa selesai secepatnya." "Semoga. Terus, liburan sekolah gimana?" Yonna berbaring di atas ranjangnya, punggung perempuan itu terasa penat. Malilah mengedikkan bahu, dia juga belum mendengar kabar terbaru mengenai masa libur sekolah. "Nggak tahu, Yon. Kalau diminta sekolah lagi, kayaknya banyak yang belum setuju. Menurutku ya, ini." Mengangguk, Yonna setuju. "Setuju, sih. Soalnya terornya cuma di kota kita. Sedangkan di kota-kota lain, nggak ada kabarnya. Aku jadi heran sendiri, punya dendam apa sih,
Yonna baru selesai membersihkan diri, dia tidak tahan dengan rasa gerah di badan. Luther sudah pulang beberapa menit yang lalu. Beruntung masalah tadi tidak berakhir panjang, dia tidak ingin bila harus bertengkar lagi dengan Luther. Kini, pertengkaran adalah hal yang paling dia hindari.Mengeringkan rambut, Yonna melirik jam di dinding. Pukul setengah tujuh. Dia kembali memandang pantulan wajahnya di cermin. Selama mengarahkan pengering rambut, tanpa sengaja mata Yonna tertuju pada ukulele kecil di belakang. Tampak kaku dan berdebu. Warna asli tidak begitu kelihatan, menampakkan dengan jelas kalau benda tersebut sudah lama tidak tersentuh.Mematikan pengering rambut, Yoona melangkah dan bergerak mengambil ukulele kesayangannya."Aish, aku suda
Memperdalam ciuman, Yonna menggigit kecil bibir Luther. Dari posisi itu, Yonna dapat merasakan senyuman terbit dari bibir kekasihnya.Melepaskan diri, keduanya meraih udara sebanyak mungkin. Dada bergerak naik dan turun. Keringat juga mengalir di pelipisnya masing-masing.Sama-sama menetralkan tatapan yang sayu, Yonna menopangkan dagunya pada pundak Luther. "Kamu beneran sudah nggak marah lagi, 'kan? Nanti sampai di rumah, tahu-tahu diemin aku lagi besoknya.""Nggak. Kenapa mikir gitu?""Kan, siapa tahu." Yonna mencari posisi yang nyaman, tetapi memberi efek yang berbeda terhadap Luther."Shh… Jangan gerak yang aneh-aneh, Cantik. Kalau bangun, gimana?"Terkekeh, Yonna akhirnya diam. "Nggak sengaja."Mengelus punggung Yonna dengan lembut, Luther mengambil remote televisi. Menghidupkan layar besar yang menem
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-