Share

Bagian : 8

"Bagaimana ini?" gumam Yonna kebingungan sembari kakinya terus berlari.

Tanpa pertimbangan apa pun, Yonna menarik lengan Petunia yang mengambang di udara, menggapai tangannya. Karena merasa tarikan semakin memberat, wanita berkapak tersebut menoleh ke belakang. Ia menggeram, tapi kemudian senyum iblis tercetak di wajahnya. Kenapa tidak? Tidak perlu melempar umpan ke-dua, sasaran datang dengan sendirinya.

"Lepaskan dia, monster!" seru Yonna sambil terus menarik Petunia terlepas dari pegangan yang ia sebut monster.

Meskipun si wanita berkapak tidak bergerak sedikitpun, tawa darinya seakan menekan diri Yonna ke permukaan tanah. Meneror melalui tawa.  Dengan kepala terangkat ke atas, muka yang dipenuhi darah korban itu tak berhenti menampakkan kesenangan, gelakannya semakin mengeras. 

"Kenapa kau peduli?" tanya wanita itu dengan pancaran yang lebih menyeramkan.

"Apa maksudmu?! Lepaskan!!" 

Bukan hanya Petunia, Yonna pun mulai menangis.

"Biarkan dia mati."

"Jaga mulutmu! Monster!!" 

"Bukankah kau ingin hidup tenang di masa depan?"

"Tentu! Dan untuk mewujudkannya kau yang seharusnya mati!"

Sekali lagi, wanita berkapak tertawa terbahak-bahak. Namun, pada detik berikutnya, ekspresi wajah itu berubah menjadi datar. 

"Salah!" teriaknya kemudian. 

Tangan kiri yang semula diam, kini mulai mengangkat kapak setinggi mungkin. Dijatuhkannya tubuh ramping Petunia agar berlutut dalam sekali hentakan. 

Sontak keduanya menjadi semakin panik, Petunia meraung-raung memohon agar dilepaskan. 

Bersama kepanikan, Yonna mencari cara untuk melawan. Ia melirik tongkat baseball yang tersedia di salah satu stan olahraga, dengan cepat Yonna mengambilnya. Dengan tepat, ia memukul ke arah genggaman tangan pada kapak saat benda itu hampir mengenai Petunia. 

Merasakan perih akibat pukulan yang keras, seketika bunyi kapak yang menghantam dasar memasuki pendengaran. Teriakan penuh ketakutan Petunia mereda ketika kapak yang ingin memenggal kepalanya terjatuh. 

Memanfaatkan waktu, Yonna menarik lengan Petunia menjauh. Melihat itu, wanita berkapak memancarkan tatapan nyalang, tangannya mengepal kuat.

"Berani sekali kau menghentikanku, gadis kecil!" 

Yonna merinding takut, tanpa pikir panjang, ia berlari bersama Petunia menuju parkiran. Kepala Petunia tak henti-hentinya menoleh ke belakang. Ia menangkap amarah besar yang membara dari dalam tubuh wanita berkapak tersebut, berlari tak kalah kencang dengan kapak dalam genggaman, ia menggeram penuh emosi.

"Tunggu kau! Kali ini tidak akan kubiarkan kau hidup!" teriak wanita itu.

"Petunia cepat!"

"Sa-saya capek."

"Tidak ada waktu untuk beristirahat sekarang! Tahan sebentar, kita cari perlindungan."

"Ke mana kalian akan kabur, hah?"

Tiba-tiba, wanita berkapak itu berhasil menghadang jalan mereka. Dadanya naik turun, napas memburu, darah yang mengalir bersama turunnya keringat, memberi kesan horor yang teramat.

"To-tolong Yon-yonna," cicit Petunia sbari bersembunyi di belakang pundak Yonna.

"Tidak ada yang ingin meninggalkan pesan terakhir?" Selangkah demi selangkah wanita itu maju mendekat.

"Berhenti!" tahan Yonna dan langsung diikuti oleh wanita berkapak yang menelengkan kepalanya.

"Kata-kata terakhir? Dipersilakan."

"Bukan aku, tapi kau!" 

"Masih berani? Hebat juga. Oh! Sayang sekali waktu habis, saatnya berpisah dengan nyawamu." 

Setelah menyaksikan kapak itu bersiap mengambil nyawa mereka, Petunia berteriak keras. Jari-jarinya meremas pundak Yonna yang menegang. 

Namun, bukannya Yonna atau Petunia yang tumbang, justru si wanita berkapak kini terbaring dengan mata membelalak kaget. Kapak jatuh tergeletak bersama dengan pemiliknya. Setelah tiga buah timah panas menembus jantungnya dari arah belakang.

"Ti-tidak lagi! A-ku Pertez ... akan kemba-" gumaman wanita tersebut berhenti sebelum selesai diucapkan karena nyawanya sudah melepaskan diri.

Sempat mengerutkan keningnya mendengar ucapan lirih wanita yang mengaku Pertez itu, Luther melempar senjata yang dia gunakan. Berlari melewati mayat monster dan menarik Yonna ke dalam eratnya pelukan.

"Luther."

"Kamu ini! Argh! Jika aku terlambat, kamu pikir apa yang terjadi, hah?"

"Maaf, Luther. Tapi sekarang aku aman, kita semua sudah aman. Kamu menyelamatkan kami." Yonna mengeratkan pelukannya.

"Jangan seperti itu lagi," pinta Luther lembut. Tetapi tidak selembut tatapan yang dilayangkannya ke arah Petunia. Perempuan itu tengah memeluk lututnya sendiri.

"Ayo, kita ke parkiran. Yang lain pasti khawatir menunggu di sana."

Masih di dalam pelukan Luther, Yonna mengangguk dan ikut berjalan. Sebelum melangkah, tidak lupa ia mengajak Petunia.

Tidak berselang lama, rombongan kepolisian mulai berdatangan, menyisir lokasi kejadian. 

"Luther! Yonna!" panggil Malilah panik.

"Kalian tidak apa-apa, 'kan?" tanya Akia memeriksa diri Yonna.

"Nggak, kok. Kami semua aman," jawab Yonna.

"Sumpah! Kau bikin kita semua hampir mati ketakutan tahu, nggak?!" 

"Maaf semua, aku cuma nggak bisa biarin Petunia begitu aja." 

"Iya, kami ngerti, tapi nggak gitu juga caranya, Yon," kesal Malilah lagi.

"Terus aku harus gimana? Nunggu sampai monster itu bawa Petunia makin jauh, tersu di- nggak bisa."

"Setidaknya kau jangan langsung lari menerobos jalur, omongin dulu ke kita. Nanti kita bisa cari cara bareng," timpal Dovis.

"Nggak ada waktu buat diskusi, Dove."

Malilah membuang napas kasar.

"Sudah! Lupakan semuanya. Sekarang kalian sudah aman, Petunia juga nggak ada luka serius selain tergores. Polisi mengambil alih. Lebih baik kita semua pulang, keluarga kita pasti khawatir," lerai Akia.

"Petunia, kau pulang sama siapa?" tanya Yonna sebelum menaiki motor Luther.

"Sa-sama Papi, di-dia yang jemput sa-saya."

"Mau aku temanin sampai Papi mu datang?"

Mendengar tawaran Yonna, Luther mendecak malas.

"Ti-tidak perlu. Sa-saya bisa sendi-sendiri."

"Yasudah, kami duluan."

"Iya, ha-hati-hati!"

Dari belakang, seseorang tengah menunggu dan mengemudikan kendaraannya perlahan, mengikuti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status