WARNING! 21+
BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SUATU BACAAN. BUKAN UNTUK DITIRU!!
* * *
Monika mendekatkan bibirnya, bersiap mencium pria yang berstatus sebagai suami sahnya ini. Wanita itu menarik diri setelah mengecup Rio sekilas. Dia tidak suka melakukan hal ini dengan pria yang dia benci.
"Itu kecupan, bukan ciuman." Rio melayangkan protesnya karena Monika mengakhiri layanannya dalam hitungan detik.
"Dasar mesum!" Monika beranjak. Dia enggan melanjutkan kegiatan mereka lagi.
Brukk!
Monika jatuh terduduk di pangkuan Rio.
"Jika kamu tidak ingin melayaniku, maka aku yang akan mengambil alih keadaan. Jangan salahkan aku jika kamu tidak bisa bekerja besok!" Ancaman Rio berhasil membuat Monika menyerah.
"Aku tidak bisa! Aku belum pernah melakukannya!" ketus Monika, melupakan kata ganti saya seperti yang dia gunakan sebelumnya.
Rio tersenyum. Dia senang karena istrinya ini bukan wanita berpengalaman, artinya dialah
"Apa aku juga ikut gila?! Bagaimana bisa aku jatuh pada pesona pria mesum sepertinya?" Monika merasa begitu malu dengan apa yang sudah dia lakukan. "Argh! Aku benar-benar sudah gila!!" Monika langsung berlalu ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya, berharap bayang-bayang Rio segera bisa dia lupakan. Brukk Monika menjatuhkan tubuh rampingnya ke atas kasur, memilih untuk tidur daripada harus memikirkan pria yang sudah merenggut kesuciannya. Dia mulai memejamkan mata, namun justru bayang-bayang Rio dan Devan bergantian muncul di dalam kepalanya. "Arrghhh!!" Monika menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Apa yang harus aku lakukan?" Monika kembali mengamati cincin di jari manisnya. Dia sudah menjadi istri orang, tapi hatinya masih tertaut pada kekasihnya. Rasa bersalah seketika merasuki hatinya. Dia tidak ingin berpisah dengan Devan, tapi juga tidak berniat menduakannya. "Haruskah aku jujur padanya?" Monika menatap cincin lain di ja
WARNING !!! 21+ only! Adegan di bawah ini hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri. Tidak untuk ditiru sama sekali. Bijaklah dalam menyikapi sebuah bacaan! Selamat membaca.... * * * Monika keluar dari dalam minimarket dan segera berlari menuju halte bus di seberang jalan. Dia harus menemui Devan di tempat kerja pria itu secepatnya. Hatinya merasa gelisah sejak pagi ini, merasa bersalah jika terus menyembunyikan pernikahan kontraknya dengan Rio. Wanita bersurai panjang itu mendekatkan ponsel pintar miliknya ke samping telinga, berharap panggilannya segera terhubung. "Maaf, nomor yang Anda tuju tidak menjawab. Silakan tinggalkan pesan setelah nada berikut." Monika menekan ikon berwarna merah, perintah untuk mengakhiri panggilan. "Apa dia begitu sibuk?" gumam gadis yang sesekali menatap ke arah kedatangan bus. Kakinya melompat masuk ke dalam kendaraan besar ini bers
"Dari awal sudah ku katakan, kita tidak ada hubungan apapun." Nada bicara Devan terdengar tak bersahabat sama sekali. Lisa terhenyak. Dia tidak menyangka akan mendengar penyataan ini setelah pergulatan panas mereka. "Selain untuk menuntaskan hasrat bilogis, tak ada hal lainnya. Jika salah satu dari kita bosan, maka yang lain tidak boleh merasa keberatan." Devan menoleh, menatap wajah sedih pemuas nafsunya. "Anggap kita hanya teman kerja biasa. Setelahnya, kita bisa melanjutkan hidup masing-masing." Lagi-lagi Lisa terdiam seribu bahasa. Tiba waktunya dia tak lagi dibutuhkan oleh Devan. Apa yang harus dia lakukan? Lisa sama sekali tidak ingin kehilangan sosok pemuas nafsunya. Dia benar-benar jatuh cinta pada Devan. "Jangan lupa minum pil kontrasepsi seperti biasanya. Aku tidak ingin memiliki anak dari seorang wanita malam sepertimu!" Kata-kata tajam itu Devan ucapkan dengan datar, tak ada nada bercanda sama sekali. Dia benar-benar serius tentang hal ini
"KAMU BERCANDA 'KAN?" Devan mencengkeram pergelangan tangan Lisa, membuat wanita yang memakai rok mini ini meringis kesakitan. Pegangan tangannya pada jemari Monika terlepas begitu saja. "NGGAK! AKU MEMANG HAMIL!" Nada bicara Lisa ikut meninggi, balas menatap Devan dengan tatapan yang tak kalah tajam. "BOHONG!" "APA URUSAN KAMU?" Lisa menyentak cekalan tangan pria di hadapannya. Disaat Devan dan Lisa terus bersitegang, Monika mundur satu langkah. Dia diam menyaksikan pertengkaran keduanya. Berbagai pikiran buruk menyergap kepala. Otaknya berputar, menghubungkan berbagai potongan puzzle yang tersaji di depan mata. Ada sesuatu yang salah di sini. Tiga buah bekas tanda cinta di leher Lisa, parfum pria yang melekat di tubuhnya, juga respon yang Devan tunjukkan. Itu semua begitu jelas, Devan ada affair dengan Lisa. "Mon, tolong aku." Lisa meraih lengan Monika, bersembunyi di belakang tubuhnya. Seketika parfum da
Mentari kembali ke peraduan, membiaskan sinar berwarna merah di ufuk barat. Seorang gadis berdiri di atas jembatan, menatap riak air di bawah sana yang muncul akibat lemparan batu dari tangannya barusan. Tatap matanya kosong, tak ada semangat hidup sama sekali. Bekas air mata yang mengering tak dia hiraukan, dibiarkan begitu saja. Monika menarik napas dalam-dalam. Pertengkaran Devan dan Lisa masih tergambar jelas dalam ingatan. Dua orang yang sangat dia percaya, ternyata memiliki hubungan tak biasa di belakangnya. Bulir-bulir tanpa warna itu kembali luruh, menganak sungai tanpa bisa dia cegah. Tubuhnya melangsai, bersandar pada dinding jembatan. Kakinya kembali melemah, mengingat begitu dalam luka yang dia rasakan. Hangatnya sifat Devan selama bersamanya, membuat Monika tak bisa mempercayai bahwa pria itu telah berkhianat. Dengan terus menggigit bibir bawahnya, Monika kembali bungkam. Dia menahan isak tangis agar tak keluar dari mulutnya. Monika meras
Sebuah taksi berhenti di depan gedung pencakar langit bertuliskan Dirgantara Artha Graha. Lampu taman berpendar dengan indah, menerangi deretan bunga memanjang di sisi kiri pintu masuk. Sebuah lampu sorot menyinari maskot perusahaan ini, yakni sebuah miniaturpesawat terbang yang seolah melayang di udara. Monika turun dari pintu belakang taksi setelah membayar tagihannya. Dia sedikit ragu dan mempertanyakan keputusannya kali ini. "Kenapa aku datang ke tempat ini?" Monika berbalik, enggan meneruskan langkahnya untuk mencari suami kontraknya di perusahaan ini. Lagipula sudah larut malam, mana mungkin Rio masih ada di tepat kerjanya. "Dasar bodoh!" Monika mencemooh dirinya sendiri yang tidak berpikir dengan jernih. Dia begitu terburu-buru ingin membalas pengkhianatan Devan dan Lisa, sampai lupa bahwa malam telah tiba sejak dua jam yang lalu. Apa yang harus dia lakukan sekarang? "Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya seorang petugas keamanan yang
"Kamu membutuhkan bantuanku?" Rio mendekat ke arah Monika. "Puaskan aku!" lanjut Rio, tersenyum penuh arti. Deg! Monika terhenyak. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia tahu pria ini pasti akan meminta imbalan atas permintaan ini. Sial! "Kamu bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan! Bagaimana?" tanya Rio mengonfirmasi. Dia menunggu jawaban dari wanita yang kini tampak salah tingkah di depannya. "A-apa tidak ada cara lainnya? Aku bisa melakukan pekerjaan rumah apa saja." Monika sedikit tergagap. Wajah putihnya merah merona. Dia enggan menatap Rio sama sekali, antara malu, kesal, sekaligus marah. "Aku tidak kekurangan pekerja." Rio tersenyum. "Aku menginginkan tubuhmu, bukan yang lain!" Monika kembali bungkam. "Selain tubuhmu itu, apa yang kamu miliki, huh?" Sudut bibir pria ini terangkat, mencemooh Monika yang kehabisan kata-kata untuk diucapkan. "Tanpa bantuan dariku, kamu tidak akan bisa melanjutkan
WARNING !! 21+ CERITA FIKTIF. BUKAN UNTUK DITIRU. * * * Sepasang pengantin baru itu memenuhi kepuasan satu sama lain. Monika kelelahan dan kini memeluk suaminya di atas ranjang. Rio terkekeh sambil mengangkat sebelah bibirnya ke atas. Dia benar-benar berhasil meracuni wanita ini, membuatnya ketagihan. "Kamu lelah?" Rio menyusupkan jemarinya diantara rambut pirang Monika. Dengan mata terpejam, Monika mengangguk sebagai jawaban. Tubuhnya remuk redam. Rio selalu saja membuatnya kehabisan tenaga seperti sekarang. "Apa kamu lapar?" Monika menggeleng. Dia hanya ingin istirahat sebentar saja. Pelukannya semakin erat, membuat detak jantung pria ini terasa oleh telapak tangannya. "Kamu sengaja merangsangku, Sweety?" Kening pria ini berkerut, mempertanyakan sikap Monika yang terus mendusel ke arahnya. "Diamlah. Matikan lampunya. Ayo tidur," ajak wanita dengan selimut membungkus tubuhnya. Rio tersenyum, Mon