Share

Bab 3

Tiga buah gumpalan tissue yang sudah gepeng tertindih kasur, akhirnya aku bersihkan dengan sapu.

Beberapa diataranya terdapat noda di permukaan tissue itu. Saking jijiknya, sampai cepat-cepat kubuang dalam sampah.

Nafasku tak karuan, keringat dingin mulai mengucur deras di tengkuk. 

Dalam benakku terpikir, bagaimana bisa gumpalan tissue itu bersembunyi di sana. Di tempat yang tak semestinya. Benar-benar di luar nalar.

Seketika khayalanku menerawang jauh. Bisa saja tissue itu adalah milik Sita yang dibawanya dari rumah lalu disimpan dalam kantong celana hotpants-nya.

Kemudian ia memakainya untuk mengelap anggota tubuhnya yang basah oleh keringat, mengingat kamar itu tak ber-AC. Hanya kipas kecil saja yang menempel di dinding.

Atau kemungkinan lainnya yaitu ....

Ah, masa iya tissue itu untuk mengelap setelah aktivitas terlarang. Lalu dengan siapa? Mas Tedy, suamiku?

Kepalaku mulai pening, serasa berkunang-kunang pandanganku setelah memikirkan beberapa analogi yang kupaksakan dari dalam pikiran.

Ponsel berdering. Ternyata dari wali kelas Dio,  sang guru memberitahukan padaku bahwa Dio pulang cepat hari ini. Dikarenakan ada rapat para guru di sekolah.

Dengan kesal aku meletakkan semua peralatan bersih-bersih itu. Berniat melepas kepenatan sejenak dengan mengajak Dio berjalan-jalan setelah menjemputnya.

Saat di depan rumah, aku menyalakan motor matic-ku. Tiba-tiba saja terlihat di balik kaca spion motor, Sita berlari dari dalam ke depan rumahnya. Sepertinya 'kekepoannya' sedang kumat.

Sadar akan hal itu, aku langsung menggeber motor dan langsung bergegas tancap gas.

Tampak dari kejauhan, Sita sedang berjalan keluar rumah dan menuju ke arah rumahku. Entah apa yang akan wanita gila itu perbuat. 

Sesampainya di sekolah, Dio langsung menghambur di pelukanku. Bocah semata wayangku ini ialah satu-satunya pelipur lara diri ini. Mungkin tanpa kehadirannya hidupku akan terasa hampa.

Restoran fastfood kesukaan Dio terlihat masih sepi. Setelah memesan beberapa menu makanan, Dio bercerita sesuatu padaku.

"Ma, kemarin siapa sih yang dateng ke rumah?" Bocah laki-laki berponi itu kembali memainkan kakinya yang menggantung di kursi.

"Emm, emangnya kenapa, Sayang?" 

"Nggak, Dio pikir itu Mama. Soalnya kok mondar mandir di dapur." 

Deg! Jantung ini serasa mau lepas dari tempatnya. Mana mungkin si Sita mondar mandir ke dapur. Apa yang dilakukannya di dapur? 

Hmm, apa dia mengambil tissue itu dari dapur? Bisa jadi!

"Ma, jangan ngelamun dong. Yee! Itu makanan kita udah dateng."

Aku menoleh ke arah Dio yang sedang menunjuk ke arah pramusaji yang membawa baki berisikan ayam krispi dan minuman susu coklat.

Dio girang sekali, ia memakannya dengan lahap. Sementara aku masih terngiang keanehan yang terjadi. Berharap ini semua di luar bayanganku. Semoga saja.

*

Aku menarik gagang pintu rumah, dan tiba-tiba sudah terbuka dengan sendirinya.

Siapakah yang sudah di dalam? Pasti tak lain dan tak bukan ialah Mas Tedy. Tapi, kenapa jam segini sudah pulang?

"Assalamu'alaikum!"

Pekikku dan Dio. Kami berdua memasuki rumah. Ternyata Mas Tedy sudah berada di rumah.

"Mas Tedy? Kok sudah pulang jam segini?"

Aku terkejut serta terheran melihat Mas Tedy duduk dengan santai sambil menonton televisi.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya singkat.

Mas Tedy tersenyum tipis dengan mulut yang penuh makanan ringan. Kakinya yang sedang menyilang di atas meja, ia turunkan. Kemudian berkata sesuatu yang jarang sekali aku dengarkan.

Dio memeluk papanya, begitupun Mas Tedy membalas pelukannya.

"Aku, bekerja demi kalian. Wajar saja toh kalo aku minta cuti atau libur. Sudah, jangan memancing perdebatan gini, Ma"

Mas Tedy lalu beranjak menuju kamarnya dengan Dio. Dengan sigap, aku menyusulnya dan menarik pergelangan tangannya.

"Sudahlah, Pa. Gitu aja ngambek. Nggak biasanya kamu suka ngambek gini. Ayo, sini-sini cerita kok bisa pulang cepet? Apa besok kamu libur?"

Aku menarik lengan suamiku, dan membimbingnya kembali duduk di sofa hangat itu. 

Dio tampak kesal melihat kami berduaan, akhirnya ia masuk dalam kamarnya sendiri.

Kemudian dengan lembut aku menyuapkan beberapa keripik ke dalam mulut suamiku. Ia menurut dan mengunyahnya perlahan, tanpa ada sedikitpun rasa curiga padaku.

"Aku mengajukan cuti selama seminggu. Jadi tujuh hari ke depan, aku bisa bersantai di rumah. Kalau kamu mau menginap di rumah nenek Dio, boleh-boleh saja. Aku bisa tetap di rumah saja. Gimana menurutmu?"

Netraku mengerjap, tak biasanya Mas Tedy betah di rumah. Biasanya ia paling tak kuat bila berkutat di rumah terus-menerus. Benar, ini pasti ada apa-apanya.

Aku melempar senyum kecut pada Mas Tedy, kusadari apa yang telah ia katakan adalah blunder untuknya. Pelan-pelan aku harus memasang perangkap di rumah ini. 

"Oh, tujuh hari ya, Pa. Baiklah, aku akan menginap di rumah orangtuaku selama tiga hari saja. Sisanya, ayo kita berlibur saja."

Tanganku masih mengelus betis Mas Tedy, meremas-remasnya dengan kuat. Setidaknya, hanya dengan itu aku bisa melampiaskan sedikit emosiku. 

"Hemm, gitu ya?" Bola mata Mas Tedy menerawang ke langit-langit rumah. Ia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang entah apa itu.

"Bagaimana, Pa. Tumben kamu mikirnya lama. Sudahlah, iyain aja. Lagian nggak mungkin aku tiga hari penuh ninggalin kamu sendiri di rumah. Kan aku juga kangen sama kamu, Pa."

Celotehku membuat Mas Tedy berbalik mengamatiku, dia melontarkan senyumnya yang datar. 

"Pa, kemarin waktu aku tidur. Kamu ke mana?"

Mas Tedy terkesiap setelah mendengar pertanyaanku. Mimik wajahnya sangat mudah di baca, gelisah hingga memerah.

"E-emang kenapa, Ma?" 

"Nggak. Sebenarnya kamu kenal gak sih ama Sita. Tetangga sebelah kita itu?" 

"Emm, nggak lah, Ma. Aku nggak kenal kok. Lagian ngapain sih dia malam-malam tidur di rumah kita?" 

"Ooh. Hati-hati saja dengan dia ya, Pa. Dia itu serigala berbulu domba," ungkapku sambil mengisyaratkan cakar serigala di jariku. 

"Ah, Mama. Jangan berburuk sangka dulu. Dia sepertinya baik," sanggah Mas Tedy.

Kepalaku memanas mendengar ucapan suamiku. Sepertinya ia telah di rasuki iblis dari tubuh Sita.

Aku mengangguk-angguk lalu membuang muka. Menahan emosi yang hampir lepas dari tempatnya, kemudian mengelus-elus dada.

"Oke, nanti sore aku akan berkemas. Dan segera ke rumah orang tuaku. Sudah lama aku tak pulang."

"Baik, Sayang. Kamu mau di antar atau pulang sendiri?" tawar Mas Tedy. Sungguh suamiku kian bodoh juga setelah berkenalan dengan wanita bodoh sebelah rumah itu.

"Aku bisa naik motor sendiri. Lagian rumah ibu kan dekat."

Mas Tedy mengulurkan jempolnya kepadaku. Boleh saja ia membiarkanku sekarang. Tapi nanti malam lihat saja, apa yang aku lakukan di sini.

Bersambung...

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status