Tetanggaku Luar Biasa
Bab 7
Terdengar Siska menutup pintu dengan kasar. Lalu terdengar suara tangisan Oliv. Mungkin bayi itu kaget mendengar suara pintu dibanting. Sebenarnya tak tega mendengar tangisan Oliv, tapi aku tetap masuk ke rumah sambil memeluk Fia dalam gendongan. Leni mengurungkan niatnya pulang.
"Mbak, sabar, ya. Aku baru tahu, loh kalo Mbak Siska kasar gitu ke anak," ujar Leni sambil menyerahkan segelas air putih padaku.
"Makasih, Len." Aku meminum air mineral itu hingga tandas. Kemudian mengambil satu gelas lagi dengan gelas yang berbeda, dan memberikan pada Fia, agar lebih tenang.
"Iya, Len. Hampir setiap saat kami mendengar teriakan Siska ke anak-anak. Sebenernya kasihan. Cuma, ya, gitu, deh. Dia suka keenakan kalo aku bantu ngasuh anaknya."
Terdengar suara 'kriuk' dari perut Fia. Bocah yang sudah lebih tenang itu menatapku dengan pandangan memelas. Membuat siapapun yang melihat akan iba.
"Fia, belum mamam?" tanyaku sambil mengusap air mata gadis kecil itu. Fia menggeleng sambil mengucek matanya. Kuminta Fia duduk di kursi ruang makan. Bocah itu menurut dan duduk manis. Cepat kuambil nasi beserta lauk pauk, kemudian duduk di samping Fia, dan menyuapi bocah itu. Dengan lahap mengunyah makanan yang aku suapkan.
"Tuh, Len. Lihat sendiri, kan? Nggak sekali dua kali dia kayak gini. Aku sih, nggak apa-apa. Toh, cuma makanan. Dimakan sama sodara sendiri pula."
"Tapi, Mbak. Siska pernah bilang kalo kedua anaknya susah makan. Ini-itu nggak doyan."
"Gimana anak-anaknya mau makan, Len. Udah tau anaknya masih pada kecil gitu, dia kalo masak selalu pedes. Nggak mau repot misahin buat dia sama anak-anak."
"Oh, pantesan atuh."
Aku mengedikkan bahu.
"Len, aku minta tolong, bisa?"
"Apa, Mbak?"
"Kamu mau jemput Carisa?"
Leni mengangguk.
"Maaf banget, sekalian nitip Alisha, ya."
"Oh, siap, Mbak."
"Makasih, Len."
"Iya, Mbak, sama-sama."
Tak lama kemudian Leni pamit pulang. Sebentar lagi dia harus menjemput Carisa, anak sulungnya yang juga teman sekelas Alisha.
***
"Loh, Fia masih di sini?" tanya Mas Reyhan saat pulang kerja, dia melihat Fia sedang anteng nonton tivi sambil makan camilan.
"Dari siang," jawabku ketus sambil membereskan baju-baju dagangan yang baru datang sore tadi.
"Kenapa nggak dianterin?"
"Nanti salah lagi, dikira nggak mau bantu saudara yang kerepotan," jawabku masih dengan nada ngambek mode on.
"Bukan maksud ayah nyalahin ibu. Cuma …."
"Cuma, ibu nggak boleh ngomel kalo diminta tolong jaga anak orang sampe berjam-jam dan ibunya masih nggak terima!"
Mas Reyhan tak menjawab omelanku, dan memilih ke dapur untuk mengambil minum. Kuikuti dia, karena aku pun harus menyiapkan makan malam. Sedangkan kedua anakku sudah pergi mengaji.
"Apa ayah tau, Fia di sini dari jam berapa? Tuh, Arif udah pulang dari tadi juga nggak ada pikiran buat ngambil anaknya di sini. Heran! Suami istri sama saja?"
Suamiku masih diam, tak menjawab. Ia hanya duduk di kursi sambil memainkan gelas bekas minumnya sendiri.
Aku juga sudah tidak berselera melanjutkan omelan. Mending menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anak, serta diriku. Ternyata ngomel itu bikin lapar.
***
Sampai kami selesai makan malam, baik Siska maupun Arif tak ada yang berinisiatif menjemput Fia. Aku juga malas mengantarkan bocah itu, toh dia anteng di sini. Sejak siang tidak menangis mencari ibunya. Tidak seperti kalau di rumahnya, sebentar-sebentar menangis. Sekarang malah sedang ikut Alisha dan Andra belajar. Sedangkan aku sedang memisahkan beberapa baju yang merupakan pesanan orang.
"Bu, ada suara mobil berhenti," ujar Mas Reyhan yang sedang menonton televisi.
Aku menoleh ke arah pintu, memang benar terdengar suara mesin mobil dari luar.
"Tamu Ibu, bukan?" tanya Mas Reyhan sambil bangun dari duduknya.
"Nggak, ibu nggak ada janji sama siapa-siapa, kok. Tamu Ayah kali."
Mas Reyhan berjalan ke ruang tamu dan terdengar membuka pintu. Karena penasaran, aku pun menyusulnya.
"Siapa, Mas?"
"Kayaknya Mama. Itu mobilnya ada tulisan travel dari Cilacap."
Kami berdua ke luar. Benar saja, tampak Mamaku sedang membayar ongkos travel pada sopir. Lalu seorang laki-laki tampak membawa beberapa kardus, koper, dan tas ke teras.
Di saat yang bersamaan, terlihat Arif dan Siska ke luar dari rumah mereka dan berjalan ke arah kami.
"Mama, mau ke sini, kok, nggak bilang-bilang." Aku meraih tangan wanita umurnya selisih dua puluh tahun denganku itu.
"Sengaja. Mama kangen cucu."
Mas Reyhan juga menyalami Mama.
"Ma, ini kenalin, saudara Reyhan, yang tinggal di rumah sebelah."
Mama menyalami Arif dan Siska bergantian. Juga Oliv yang digendong oleh Siska. Sebenarnya aku masih malas bersikap manis pada Siska. Akan tetapi, karena ada Mama, aku terpaksa pura-pura ramah pada mereka. Apalagi Arif membantu Mas Reyhan membawa barang-barang Mama ke dalam rumah.
Tak ingin berramah tamah pada Siska dan Arif, aku bergegas ke dapur, membuat minum untuk mereka semua. Sementara Mama sedang menemui anak-anak.
Saat aku membawa minuman ke luar, tampak Mama sedang bercengkrama dengan anak-anakku dan anak-anak Siska. Siska, Arif, dan Reyhan juga ada di sana. Mama memangku Oliv yang terlihat senang. Mungkin dia menyangka, Mamaku itu neneknya.
"Mbak Ajeng sama A Reyhan itu sering manjain anak-anak saya, Bu. Makanya anak-anak saya betah di sini. Sebenarnya saya nggak enak kalo mereka di sini lama-lama. Tapi, gimana lagi, pada nggak mau pulang," tutur Siska, membuatku muak. Mana sok akrab lagi dengan Mamaku. Padahal ini pertama kalinya mereka bertemu.
"Ya, namanya juga anak-anak, Mbak Siska. Biarin aja, toh, ini bukan rumah orang lain. Ya, kan, Jeng?"
Aku terpaksa pura-pura tersenyum. Sementara Arif dan Mas Reyhan tampak salah tingkah. Tanpa rasa malu, Siska semakin sok akrab dengan Mama. Yang membuatku semakin dongkol, keluarga itu tidak juga pamit pulang. Padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lebih. Bahkan Fia sudah tertidur di atas karpet. Oliv juga tertidur di pangkuan Mamaku.
"Alisha, Andra, ayo tidur. Ngobrol sama Mbah Putri dilanjutkan besok lagi, ya. Lagian, Mbah Putri juga pasti capek, habis melakukan perjalanan jauh."
Aku sengaja meminta kedua anakku untuk tidur, dengan maksud menyindir Siska dan Arif. Karena, aku juga sudah mulai mengantuk. Akan tetapi, rupanya sindiranku tidak mempan. Siska dan Arif tak juga berpamitan, sampai jam sepuluh lebih. Padahal Mama, Mas Reyhan, dan aku sudah berkali-kali menguap. Duh, masa iya aku harus mengusir mereka secara langsung.
Tetanggaku Luar BiasaBab 8Selama tiga hari Mama menginap, selama itu pula Siska dan anak-anaknya hilir mudik di rumahku. Tanpa merasa bersalah atau malu padaku karena insiden pemukulan pada Fia. Karena Siska bersikap biasa saja, aku pun memilih tidak membahas atau mengungkit kejadian itu."Yah, Mama, kok, pulang sih." Siska bahkan ikut memanggil dengan sebutan 'mama' pada ibuku. Dan, sekarang dia sedang menggerutu, merengek, atau apalah saat tahu ibuku pulang malam ini."Iya, kasihan Mbah Kakung, sendirian di rumah." Mama menjawab sambil menata beberapa oleh-oleh yang tadi kami beli. Sebenarnya Bapakku tidak sendirian di rumah. Ada Bi Tanti dan suami serta anak-anaknya yang menemani. Karena letak rumah kami dan Bi Tanti yang bersebelahan. Mungkin jawaban Mama tadi, hanya basa-basi saja.&nbs
Tetanggaku Luar BiasaBab 9Semua mata menatap penuh tanya padaku. Aku menghela napas, untuk sedikit mengurangi rasa kesal pada Siska. Lalu, tersenyum semanis mungkin pada empat ibu-ibu di depanku termasuk Siska."Oh, soal tambahan modal. Gini, ya, Bu-Ibu. Saya itu, sewaktu keluar kerja, kan, punya sedikit uang, dari tabungan sama tunjangan dari pabrik. Nah, karena takut habis nggak jelas, saya pake uang itu, buat beli sawah. Nah, sawahnya, diurus sama saudara di kampung. Tiap panen, bagian saya dijual, uangnya dikirim ke sini sama ibu saya. Nah, sama saya, uang itu, dipakai nambahin stok barang, gitu. Jadi, bukan ibu saya ngasih tambahan modal, bukan."Mereka kompak mengucapkan kata 'oh' saat aku selesai bercerita. Kulihat wajah Siska tampak keruh, mungkin malu atau juga tidak suka dengan keterangan yang kubeberkan. Da
Tetanggaku Luar BiasaBab 10"Yah, kalo kalian mau makan dulu, aku gimana? Kalo ikut, uangku tinggal tiga puluh ribu, mana cukup buat makan kami bertiga," sela Siska.Rasa kesal yang semakin menggunung, membuatku diam saja."Bu, gimana?" tanya Alisha, mungkin dia tidak sabar mendengar jawabanku.Aku menghela napas. "Pulang aja!" jawabku ketus."Yah, Ibu, mah! Katanya tadi pengen makan di luar," gerutu Alisha."Pulang aja. Kita masak mie rebus!" jawabku ketus.Kalau sudah seperti ini, suami dan anak-anak tidak akan ada yang berani membantah. Mereka paham, aku sedang marah."Iya, mending pulang aja. Lagian
Tetanggaku Luar BiasaBab 11"Mang Ali bilang, dari kemarin, mereka nggak pulang ke sana." Mas Reyhan menyahut dengan suara pelan.Aku mengerutkan kening, agak terkejut. Kalau tidak pulang kampung, terus Siska dan Arif ke mana? Padahal, saat meminjam mobil kemarin, Siska bilang mau pulang kampung. Kalau memang mau pinjam mobil dua hari bilang saja, tidak apa-apa. Jujur, saja. Kalau seperti ini, aku jadi khawatir terjadi apa-apa sama keluarga kecil Siska. Karena sejak kemarin tidak bisa dihubungi, dan tidak memberi kabar."Ya sudah, Ayah sama Alisha berangkat pakai sepeda motor. Ibu sama Andra naik ojek atau angkot, nggak apa-apa," usulku.Mas Reyhan menyetujui usulku. Tak lama kemudian, pria yang jarang marah itu, berangkat bersama anak sulung kami. Mudah-mudahan dia tidak terlambat sampai k
Tetanggaku Luar BiasaBab 12"Kalian apakan Alif?"Kedua anakku saling pandang. Kulihat kaca-kaca di mata polos keduanya. Jujur, sebagai ibu, aku tidak tega melihat mereka ketakutan seperti ini. Akan tetapi, aku juga tidak akan membiarkan mereka melakukan kekerasan pada orang lain, jika bukan untuk membela diri."Alisha! Bisa kamu jelasin sama ibu?"Alisha mengangkat wajahnya. Ada garis memanjang berwarna merah dari samping alis sampai pipi pada wajah yang serupa dengan Mas Reyhan itu. Aku mengerutkan kening, dan menajamkan penglihatan untuk memperjelas melihat luka di wajah Alisha."Ini, kenapa?"Alisha tak lagi bisa membendung tangisnya. Begitu pula Andra. Sebagai ibu, tak ada pilihan lain, kecuali me
Tetanggaku Luar BiasaBab 13"Sudah, bubar! Bubar! Tanpa mengurangi rasa hormat, saya mohon, yang tidak berkepentingan, untuk meninggalkan tempat ini, terima kasih!" seru Pak RT pada orang-orang yang masih berkerumun di depan rumahku dan rumah Siska.Sungguh tak kusangka, keributan ini ternyata mengundang perhatian banyak orang. Setelah ini, mungkin, aku akan menjadi bahan gunjingan orang-orang sekompleks. Duh, dasar Siska. Ada-ada saja."Mbak Siska, Mbak Ajeng, saya rasa, ini cuma masalah sepele, dan salah paham. Dan, saya sebagai ketua RT di sini, berharap, kita sudahi saja masalah ini. Jangan diperpanjang lagi. Namanya juga anak-anak. Wajar kalo mereka berantem. Ntar juga, akur lagi. Kita, sebagai orang tua, sebaiknya jangan terlalu ikut campur. Anak-anak, mah, berantem sekarang, nggak sampai satu jam j
Tetanggaku Luar BiasaBab 14"Aku, kan, udah bilang! Kalo bisnis kamu itu bikin kamu keteteran ngurus dan lalai mengawasi anak-anak, hentikan!"Aku sedikit terkejut mendengar bentakan Mas Reyhan. Selama aku mengenalnya, baru kali ini, aku melihatnya semarah itu."Mas, ini cuma masalah sepele, anak-anak berantem itu wajar. Kenapa jadi bawa-bawa bisnisku?"Wajah Mas Reyhan memerah, dia menatap tajam ke arahku. "Bikin anak orang babak belur, kamu bilang sepele, hah?"Lagi-lagi aku beristighfar. Alisha dan Andra mempererat pegangan mereka pada lenganku."Mas, istighfar! Minum dulu, biar tenang. Kita ngomong baik-baik, bisa?"Mas Reyhan memejamkan mata, ia terlihat me
Tetanggaku Luar BiasaBab 15"Selama ini, aku selalu berusaha menutupi semua kelakuan saudaramu yang luar biasa menyebalkan itu! Apa perlu aku beberkan satu persatu tingkah saudaramu itu? Hm? Nggak, kan? Tapi, dengan kejadian tadi, saudaramu itu membuka sendiri aibnya. Membuka sendiri kedoknya! Sekarang, semua orang di sini tahu, sifat dia yang sebenarnya! Aku tidak perlu repot-repot menambah dosa dengan menceritakan keburukan saudaramu itu! Semua udah terbongkar! Semua tahu bahwa selama ini, kita bertetangga dengan saudaramu yang super duper menyebalkan! Dan, kamu? Masih mau menyalahkan anak dan istrimu demi membela saudaramu itu? Oh, ya jelas! Saudara, kan, harus dibela? Ya, kan?" Mas Reyhan diam saja mendengar ocehanku. Suruh siapa menyulut api di bara yang belum sepenuhnya padam.Aku yang merasa pembicaraan kami sia-sia, segera meninggalkan ruangan ini. Pintu kamar kubanting keras, lalu dikunci dari dalam. Biar saja Mas Reyhan tidur di sofa atau kamar tamu. Aku tidak peduli.***