Kriiiing, bel istirahat sudah berbunyi. Tak lama, aku dan teman-temanku bergegas ke kantin, membeli makanan ringan dan beberapa minuman yang sedikit menyegarkan.
Tiba-tiba terdengar suara seseorang berlari mengejar kami, dan ternyata itu adalah Ryan.
“Apa Yan? Ngapain lari-lari?” tanyaku heran kepadanya.
“Kamu belum buka line ku?”
“Ngga, belom. Tar aja pulang sekolah. Kenapa? Penting emang?”
“Oh, yaudah. Nanti aja kalo kamu uda buka. Maaf ya ganggu kalian.” Katanya langsung meninggalkan kami.
“Lah emang pesannya ga kamu buka?” tanya puput kepadaku.
“Ngga, dia nge-chat aku waktu aku mau tidur, ya mana sempet akku buka.”
“Terus, pagi kenapa ga kamu buka?” saut Anggi.
“Pagi sibuk banget, ga nutut lah buat ngebuka hp. Hehe.” Jawabku sambil terkekeh.
Sesampainya di cafe itu kami langsung memesan makanan dan minuman favorit kami, bermain kartu, bercanda, membicarakan orang lain dan saling curhat satu sama lain. Aku terlalu banyak diam hingga dikira sedang tertimpa masalah besar, padahal aku sedang memikirkan pesan apa yang dikirim Ryan kepadaku.
Di rumah, aku langsung memeriksa pesan yang dikirimkan Ryan kepadaku. Pesan itu berisikan bahwa Sabtu ini kami tidak akan jadi pergi menonton dan yang mengejutkan adalah ia mengatakan bahwa ia tidak bersama perempuan itu lagi, sehingga ia meminta untuk kembali kepadaku. Aku? Tentu mengiyakan walaupun temanku tentunya akan menentang hal tersebut.
Perjalanan bersama Ryan tidak pernah semulus itu, ada saja permasalahan. Mulai dari ia meninggalkanku kembali dan aku memutuskan untuk bersama laki lain, ia tetap saja mengganggu.
“Daris, awakmu saiki mbek Rara a yo?” (Daris, kamu sekarang sama Rara ya?) tanya Ryan kepada Daris, lelakiku saat ini.
“Iyo, lapo?” Jawab Daris kepada Ryan dan meninggalkannya begitu saja.
Aku yang mendengar hal tersebut pura-pura tidak tahu ketika Daris menghampiriku ke kelas. Lalu aku dan Daris membicarakan banyak hal dan sangat menyenangkan. Menurutku, Daris berbeda dengan Ryan. Daris lebih mementingkan nilai akademis yang membuatnya mendapat nilai tambah di mataku, tetapi selesai belajar ia langsung bermain game online yang menjadi salah satu kekurangannya. Overall, i love him.
Lalu, bagaimana dengan Rehan dan Ryan? Rehan tetap menjadi sahabatku yang baik. Mendengarkanku, memberiku saran, menyemangatiku dan membuatku merasa bahwa aku tidak akan pernah sendiri di dunia ini. Di balkon kelas, Rehan sedang menyendiri dan kemudian aku menghampirinya sambil membawakan teh kotak.
“Han, aku keknya capek banget deh sama Ryan ini. Kenapa sih ganggu-ganggu aku terus? Kek gaada cewek lain aja.”
“Ya emang kamu juga langka sih, kaya kamu cuma satu di dunia Ra. Siapa yang gamau sama kamu? “
“Apasih, lebay. Aku jadi ngerasa salah gitu sama dia, tapi aku juga jadi kasihan sama Daris, Han.”
“Lah ngapain malah mikir Ryan? Dia keknya juga gitu ke orang lain. Santai aja, hubunganmu sama Daris dijaga yang baik.”
Beberapa bulan setelah perckapan itu, aku dan Daris menyelesaikan hubungan karena pada akhirnya aku tergoda untuk kembali pada Ryan. Iya, memang bodoh. Setelah beberapa kali drama ada. Dia bersama yang lain, tetapi merasa tidak nyaman dan kembali ke aku ketika aku sudah ada lelaki. Ketika aku sudah tidak bersama Daris, ia juga meninggalkanku lagi. Ketika aku kembali bersama Daris, ia datang lagi.
“Ra, udah deh. Jangan kaya gitu, kasian si Daris juga kali kalo kamu kaya gitu.” Tegur Rehan ketika istirahat.
“Hah gimana ya, susah banget sumpah Han buat ngelepas Ryan. Any advice?” Tanyaku balik.
“Maafin Ryan, kamu berhak bahagia tanpa memedulikan dia lagi. Kamu cantik, pinter, baik, tapi kurangmu cuma 1.”
“Apa tuh satunya?”
“Bodoh soal percintaan. Sadar kali Ryan udah kurang ajar, ga jelas, mainin kamu. Kamu tuh ya jadi pilihan terakhir Ryan kalo gaada lagi yang mau sama dia. Ayolah, kamu berhak dapet yang jadiin kamu nomor satunya.” Jawabnya sambil menggunakan nada yang.. sedikit emosi.
“Okay-okay okay.. santai bosss.”
“Udah siapin ujian kenaikan kelas? Abis ini loh.”
“Iya, uda nyicil dikit-dikit. Kamu juga kan?”
“Iya, udah juga. Aku ke anak-anak dulu.” Katanya sambil mengelus kepalaku dan meninggalkanku di balkon sendirian.
Ketika ujian akan dimulai, seperti biasanya. Ayah akan menjadi sosok yang over-protektif. Tidak memperbolehkanku kemanapun selain ke tempat les, tidak boleh makan-makanan berminyak dan.. ya begitulah.
“Ujian kenaikan kelas, yang bener. Nilainya yang bagu. Awas aja malu-maluin ayah!.” Katanya sambil mengantarkanku ke sekolah. Aku hanya mengiyakan perkataannya.
Ujian akan segera dimulai, teman-temanku yang lain membaca rangkumannya lagi, membaca soal-soal prediksi, menyiapkan alat tulis atau bahkan mengenyangkan isi perut agar ketika ujian tidak merasa lapar dan haus.
“Goodluck Ra.” Kata Rehan sambil memasuki kelasnya. Perasaanku agak sedikit tenang ketika ia memberikan support seperti itu.
Hari demi hari, aku melakukan ujian dengan baik dan pada hari terakhir, aku menghubungi Rehan untuk menanyakan bagaimana perasaannya ketika ujian kenaikan ini berakhir.
“Hey, gimana? Puas gakk?”
“Heloooo, kemana andaaa?”
“Ih tau gaksi bunganya lucu gaaa? (sambil mengirimkan foto bucket bunga)”
“Eh Han, kemana sih? Sibuk kahh?”
Aku berusaha mengiriminya pesan tiap beberapa jam sekali. Ia tidak pernah begini biasanya, dia selalu menjawab pesanku sangat cepat seolah-olah ia selalu memgang handphonenya setiap saat dan tidak melakukan aktivitas lain.
Setelah berhari-hari aku mencoba untuk menghubunginya, hasilnya nihil. Ia hanya membaca pesanku dan tidak menjawab. Apakah aku melakukan kesalahan padanya? Apakah dia sedang ada masalah? atau mengapa? Kenapa dia tidak becerita apapun?
Hingga pada akhirnya aku mengetahui alasannya. Ia meninggalkanku karena ia memiliki teman yang lebih famous, hits dan ia akan menjadi sallah satu bagian penting dari sebuah event provinsi yang sangat bergengsi. Oh baiklah, semoga dia bahagia.
Kehilangannya sungguh lebih berat dibandingkan dengan lelaki yang singgah di hatiku. Kehilangannya berarti aku tidak memiliki lagi teman yang mampu mendengarkan, memberi nasihat dan menenangkanku dengan sangat-sangat baik.
“Rara, maafin aku ya. Boleh gak kita mulai lagi dari awal?” Begitulah pesan yang ditulis oleh Ryan. Hah? Gila kali ya orang ini, bisa-bisanya. Ga sadar apa dia gimana? Gak ah! Kali ini aku sudah benar-benar muak dengannya. Aku sudah tidak akan mudah terbujuk dengan kata rayunya.
“Sorry, sudah cukup.” Jawabku dan langsung memblokirnya.
Kehilangan Rehan dan kembalinya Ryan adalah hal yang sama sekali tidak aku inginkan, mengapa semua tidak sesuai rencanaku, Tuhan? Mengapa selalu begini?
Tanpa sepengetahuanku, ternyata Fian masih saja kembali ke sekolah melalui pintu belakang yang sudah tidak dijaga oleh satpam. Aku yang sudah merasa tenang karena ia tidak ada di sekolah, tidak membuka ponsel sama sekali. Untungnya, waktu itu aku membuka ponsel karena akan mengabari bunda bahwa hari ini aku pulang agak terlambat karena Mas Raja masih ada urusan di sekolah."Lana ngapain telfon?" tanyaku dalam hati."Halo? Lan?" tanyaku ketika Lana sudah mengangkat telfonnya."ARA! FIAN BALIK KE SEKOLAH!" ucapnya sambil teriak.Seketika itu aku langsung berlari menuju ruang guru dimana Mas Raja ternyata sudah tidak ada disana. Aku langsung berlari dan menghampiri satpam untuk membantuku mencari dimana Fian dan Mas Raja.Tiba-tiba Lana menghubungiku,"Lan? Fian sama Mas Raja gatau dimana" ucapku."Aku otw sana. Di jalan kecil belakang ruang komputer," ujarnya. Lalu aku segera berlari kesana, setelah memastikan disana ada mereka, aku pun
Keesokan harinya, aku sudah berencana bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi kunci penyelesaian masalahku dengan Fian.“Minta tolong ya, mas,” ucapku kepadanya.“Iya. Arabella, semangat ya!” ujar lelaki tersebut.Setelah itu aku baru masuk ke kelas. Kalia seperti terkejut melihatku datang lebih siang daripada biasanya.“Mas Raja jemputnya telat, Ra?” tanyanya.“Engga kok,” jawabku sambil tersenyum.“Terus kenapa? Ada masalah kah?” tanya Kalia.“Hmmm.. gini” jawabku kemudian menjelaskan apa yang akan terjadi.“Lah. Kamu mau gimana?” tanya Kalia.Pertama, menurut Lana aku harus bertemu dengan beberapa orang yang akan dihasut Fian untuk bergabung bersamanya. Aku sudah bertemu satu diantara enam yang akan diajak Fian. Orang tersebut adalah Mas Fajar, ia tidak diterima bukan karena Mas Raja yang terlalu bagus, justru menurutnya Raja adala
Aku yang mengetahui sumber suara tersebut langsung menghampiri dan menyeretnya keluar dari tribun.Sesampainya di luar, ia tidak terima karena aku menyeretnya keluar.“Apa maksudmu ngomong kaya gitu, hah?” tanyaku.“Gaterima?” tanyanya.“Ya engga lah! Berani-berani ngehujat, emang kamu bisa kaya dia?” tanyaku.Kemudian ia terdiam dan aku langsung bergegas kembali ke dalam barisan tribun bersama teman-temanku. Untungnya saat aku kembali, lagu untuk merayakan kemenangan itu baru saja diputar.Teman-temanku langsung bertanya kepadaku kemana Fian setelah kuseret keluar. Aku pun hanya mengatakan tidak tahu karena aku hanya menegurnya lalu aku kembali takut ketika Mas Raja mencariku ternyata aku tidak ada disana.Setelah pertandingan tersebut selesai, kami memutuskan untuk membeli makan di salah satu restoran cepat saji, tetapi ternyata disana sangat ramai sehingga kami memutuskan untuk makan di salah sat
Aku yang terkejut langsung menarik Mas Raja kembali masuk ke dalam bioskop.“Mana sih, Ra?” tanya Mas Raja.“Itu loh!” jawabku dengan suara yang bergetar.“Ara, bukan,” ucapnya sambil mengelus kepalaku.“Bukan ayahmu itu. Cuma mirip aja,” imbuhnya.Aku pun menghela nafas panjang dan kami pun berjalan keluar dari bioskop. Ketika akan pulang, aku dan Mas Raja mampir ke salah satu restoran yang menjual makanan korea. Untungnya, Mas Raja bukan tipe pemilih dan dia mau-mau saja kuajak makan disana. Kamipun segera memesan makanan.Setelah selesai makan, aku dan Mas Raja pun segera kembali karena sore ini Mas Raja ada tambahan pelajaran. Di perjalanan, Mas Raja bertanya kepadaku tentang latihannya kemarin.“Latihanku gimana, Ra?” tanyanya.“Udah bagus. Tim nya juga udah mendingan daripada latihan sebelumnya. Gatau lagi, sih,” ucapku.“Iya emang aku ju
Ketika pelajaran di sekolah hari ini usai, Mei langsung menghampiriku dan mengajakku untuk segera pergi ke GOR. Namun, Mei mengajakku keluar untuk membeli makanan terlebih dahulu karena ia sudah bosan membeli makanan di kantin.“Nah kita beli ini pake apa?” tanyaku.“Pake mobil Kafi,” katanya sambil menunjukkan kunci mobil.“Eh, aku belum kabarin Mas Raja. Takutnya nanti dicari sama Mas Raja,” ucapku.“Aku udah kabarin Kafi. Santai,” ucapnya sambil mengajakku masuk ke dalam mobil Mas Kafi.Setelah itu aku dan Mei pun keluar dari sekolah dan membeli makanan khas Jepang yang tidak jauh dari sekolah. Mei pun memesan banyak makanan yang katanya nanti dibagikan kepada tim basket saat istirahat.“Saya mau yang paket A dua ya mas,” ucapku kepada kasir tersebut.“Loh Ra gausa,” ucap Mei.“Aku uda pesen buat semua kok, kamu juga udah,” ujarnya.&l
Tidak lama kemudian, guru pengajar mata pelajaran selanjutnya datang.Sial. Aku tidak bisa menghampiri Mas Raja.Ting! Mas Kafi mengabariku bahwa guru kesiswaan sudah pergi dari sana.“Kal, aku ke UKS ya. Mau ke Mas Raja,” ucapku kepada Kalia dengan pelan.“Iya. Ati-ati,” ujarnya.“Kalo ada apa-apa kabarin ya, Kal. Makasih,” ucapku.Setelah itu aku izin ke guru pengajar untuk ke kamar mandi, tetapi aku berlari turun dan segera bergegas ke UKS untuk menghampiri Mas Raja.Sesampainya disana ada empat pasang sepatu. Ternyata di dalamnya ada Mas Kafi, Mas Raja dan Fian. Satu diantaranya adalah sepatu perempuan. Benar saja, disana ada Nana yang menemani Fian. Ketika aku melihat Mas Raja tergeletak dan ada beberapa luka di wajahnya sangat membuatku terkejut dan aku langsung menghampirinya.“Mas....” ucapku lirih dan tidak sadar aku menitikkan air mata.“Lo
Aku yang baru saja membuka ponsel setelah bersenang-senang dengan Raja langsung down ketika membaca pesan dari Mei.“Ra, Fian berulah lagi,” ujar Mei dengan mengirimkan screenshot sebuah video ayah yang hampir saja menamparku karena Mas Raja sudah menahan tangan ayah. Keterangan video yang sudah dipublikasikan oleh Fian adalah “Waw, kapten basket sekarang jadi jagoan juga ya? Eh tunggu dulu, itu pacarnya kan ya? Kok bisa sih sama cewek yang ayahnya kaya preman?”Aku yang tidak bisa berkata apapun hanya bisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Mei.“Ra? Kenapa?” tanya Mas Raja ketika melihat wajahku yang terkejut.Aku masih belum bisa menjawab pertanyaannya hingga ia mengambil paksa ponsel yang sedang kugenggam.“ANJING YA ORANG INI!” ucapnya sambil emosi.“Ara, tenangin dirimu ya. Abis sholat isya langsung tidur ya,” ucapnya sambil memelukku.Pelukan yang dib
Mas Raja merasakan bahwa aku sedang memikirkan sesuatu sehingga bertanya kepadaku.“Kenapa, Ra?” tanyanya sambil menengok kepadaku.“Gapapa, mas,” jawabku.“Kalo gapapa juga ga diem aja kali. Biasanya langsung tanya ke aku boleh apa ngga nyalain radio. Sekarang kok engga?” tanyanya penasaran.“Iya kenapa-kenapa tapi nanti aja kasih taunya. Kalo timingnya udah pas,” jawabku.“Boleh nyalain radio, ngga mas?” imbuhku.Setelah itu, radio pun sudah dinyalakan Mas Raja dan kami langsung bernyanyi bersama karena lagu yang dipopulerkan Jaz ini sangat menggambarkan kami berdua.“Kalo ada apa-apa langsung kabarin ya, Ra,” ucap Mas Raja.“Jangan ditahan-tahan. Aku pasti pasti pasti bakal mendengarkan dan sebisa mungkin bantu kamu. Okay?” imbuhnya.Aku pun mengangguk sambil tersenyum.Setelah itu Mas Raja bercerita bahwa ia tadi menungguku di
Di perjalanan, aku dan Mas Raja seperti biasanya. Mendengarkan radio dan bernyanyi bersama.“Mau beli cemilan dulu gak?” tanyanya.“Mauuu!” jawabku dengan semangat.Setelah itu, mobil pun berjalan dengan sangat kencang. Mas Raja dan aku pergi ke salah satu supermarket.Sesampainya disana, Mas Raja mengambil troli belanjaan.“Lah ngapain ambil ini mas?” tanyaku.“Ya kan biar gausa bawa-bawa, Ara,” jawabnya sambil menyandarkan tangannya di troli dan menengok ke arahku dengan senyumannya yang menawan.“Kaya mau belanja banyak aja,” ucapku.Aku dan Mas Raja menyusuri satu persatu lorong untuk mencari letak makanan ringan.“Ra, ini Ra,” ujarnya sambil menunjukkan sabun mandi.“Mas?” tanyaku dengan heran.“Beli aja, warna pink lo! Wanginya juga kaya wangimu,” ucapnya sambil mencium aroma dari sabun tersebut. Aku hanya