Hai, hai. Perkenalkan aku Je, semoga kalian suka, ya, dengan cerita yang aku buat. Terima kasih atas dukungannya, jangan lupa untuk vote dan like, yah. With love from the bottom of my heart😘🥰
Mata mereka saling bertatapan, jarak wajah yang hanya tinggal beberapa inci mampu membangkitkan desiran di dalam tubuh. Wajah Dominique makin memerah, ia sudah tidak bisa lagi menahan geloranya. Aubrey yang mengetahui sikap kikuknya Dominique, hanya dapat tersenyum dan senang di dalam hati. "Hei, you are too close," bisik Dominique sambil memperhatikan bibir mungil nan merah milik Aubrey. "I want to be close," balas Aubrey sambil membunyikan bibirnya di udara seperti suara kecupan. Setelah puas bermain-main dengan Dominique, Aubrey kemudian menarik dirinya dan duduk di hadapan Dominique. Dengan santai ia menyilangkan kedua kakinya dan menatap tajam ke arah Dominique. "Katakanlah! Kau mau bicarakan apa?" tanya Aubrey sambil bersandar dan menyilangkan tangannya di dada. Sikap Aubrey yang begitu tenang seperti tidak ada hal yang terjadi sebelumnya membuat Dominique bertanya-tanya, 'apa yang sebenarnya direncanakan wanita dingin ini, men
Fajar menyapa diiringi berjatuhannya rintik-rintik air dari langit. Rasa dingin yang datang menemani bersama dengan setiap tetesan, membuat Aubrey yang tengah terbuai dalam mimpi enggan terbangun dan beranjak dari tempat tidur. Makin dalam Aubrey menenggelamkan tubuhnya bergelung di dalam kehangatan selimut dan alas empuknya. Aubrey mengerjapkan matanya. Seberkas cahaya terik menyinari wajah cantiknya. Ia melihat ke arah luar jendela yang gordennya telah setengah tersibak. Tampaknya sang hujan telah selesai menyapa. Kemudian, ia gegas melangkah ke kamar mandi dan berendam dengan air hangat untuk membersihkan diri sekaligus menghangatkan tubuhnya. Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk mandi, Aubrey keluar dari kamarnya dan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. "Selamat pagi, Nona Aubrey," sapa para pelayan.Aubrey menjawab dan menyambut sapaan mereka dengan tersenyum dan mengangguk. Setelah memesan beberapa me
"Hallo, Beauty. Maukah kau makan malam denganku?" tanya Tony menelepon Aubrey. "mmm ….""Come on. Jangan ada penolakan lagi, oke! Aubrey, kenapa terdiam? Kau keberatan keluar bersamaku? Tenang saja kali ini just only two of us."Aubrey sejenak terdiam, terdengar helaan panjang napasnya. Ia memijat pelan dahinya, lalu menjawab permintaan Tony. "Baiklah. Aku akan bersiap-siap.""Aku jemput pukul 19.00, ya, Beauty.""Tidak us …."Aubrey belum menyelesaikan ucapannya, tetapi Tony sudah mematikan telepon genggamnya sepihak di seberang. Aubrey melangkah dengan malas ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Hanya butuh waktu lima belas menit ia sudah merias dirinya sesederhana mungkin. Setelan yang Aubrey pilih malam itu adalah kaus ketat berwarna putih dipadukan dengan jeans berwarna biru langit, dengan sepatu kets berwarna senada dengan celana jeansnya -- Aubrey menuruni tangga menuju ruang tamu menunggu kedatangan Tony
Dominique menghampiri Aubrey yang tengah melamun memandangi lautan. Ia membuka jasnya dan menutupi tubuh Aubrey. Aubrey yang diperlakukan seperti itu dengan tiba-tiba sontak terkejut dan menoleh. Setelah tahu orang yang melakukan hal tersebut adalah Dominique, ia menolaknya, tetapi Dominique memaksa dan menahan tangan Aubrey. "Dingin, patuhlah. Jangan keras kepala, oke."Aubrey akhirnya menerima dan memakai jas milik Dominique. Ia tahu tidak akan menang mendebat pria itu yang nanti ujung-ujungnya pasti akan bertengkar. Dominique duduk di seberang Aubrey dan memandang wajahnya dengan seksama. Aubrey balas menatap mata Dominique yang tengah memandangnya, kemudian melempar pandangan ke arah lain untuk menghilangkan gugupnya. "Katakanlah," ucap Aubrey tanpa basa-basi. "Kau marah denganku?""Marah kenapa?""Ya, barangkali peristiwa kemarin.""Peristiwa yang mana?"Dominique menunjuk bibirnya kemudian pipi Aubrey.
Setelah selesai mengantar Aubrey. Dominique melanjutkan perjalanan menuju perusahaan. Sesampainya di perusahaan, Ia melangkah melewati lobi depan dengan ekspresi dingin. Kaki-kaki gagahnya mengeluarkan suara hentakan yang membuat nyali ciut setiap karyawan yang mendengarnya. Bukan Dominique namanya, jika menyapa dengan sebuah senyum. Wajahnya yang selalu terlihat kaku dan datar sudah biasa dinikmati para karyawan perusahaan. Namun, bagi mereka tidaklah penting, yang terpenting fasilitas yang perusahaan berikan tidak sekaku dan sedatar wajah bosnya. Dominique sampai di ruang kerjanya, setelah melewati beberapa lantai dengan menggunakan lift. Ia membuka pintu dan melihat Tony sedang duduk di sofa. Dominique membuka kancing jas dan meletakkan bokongnya tepat di samping Tony duduk. Tony tanpa basa-basi langsung menanyakan kepada Dominique apa yang hendak ingin ia katakan. Sudah semalaman Tony merasakan kegelisahan dan hanya bisa menebak-nebak saja. Oleh kar
"Ini kamar Dominique, Tante tinggal, ya? Coba kamu ketuk saja," ucap Bella setelah mengantar Aubrey ke depan kamar Dominique. "Baik, Tante. Aku akan menyelesaikannya dari sini." Aubrey menjawab dengan yakin. Aubrey mengetuk pintu kamar Dominique berulang kali. Meskipun, Dominique mendengar tetapi ia tidak ingin membuka pintu. Ia tidak ingin Aubrey melihat kondisinya saat ini. Apalagi kalau sampai tahu ia berkelahi dengan Tony gara-gara Aubrey. "Open it, damn Dominique. I want to talk to you! Aku tidak akan pergi dari sini sampai urusan kita selesai, oke!" teriak Aubrey. Pada akhirnya, Dominique mengalah dan membuka pintu. Benar saja tebakan Aubrey, Dominique memiliki memar yang sama seperti Tony. Pasti hal ini ada hubungannya dengan tindakan gila Tony di galeri. "Apa yang terjadi pada kalian? Kalian bertengkar, seperti anak kecil saja," cerocos Aubrey. "Kalian?" Dominique mengernyitkan dahi. "Ya, kau dan Tony."
Hari sudah mulai gelap. Matahari telah tenggelam meninggalkan kehangatan dan menyisakan dingin malam. Aubrey masih berkutat dengan sketsanya. Ada dua lukisan pesanan pelanggannya yang menjadi prioritas. Memang lukisan itu belum sempat diambil karena si pemilik sedang keluar kota. Kini, Aubrey harus mengulang semua. Sebenarnya Aubrey sudah sangat lelah, tetapi mau bagaimana lagi, itu semua adalah tanggung jawabnya. Telepon Aubrey berbunyi. Ternyata Dominique yang menghubunginya karena khawatir. Setelah tahu Aubrey masih berada di galeri, Dominique langsung memutuskan teleponnya dan menuju ke galeri untuk menemani Aubrey. "Kok diputus. Tidak jelas, nih, Dom," gumam Aubrey. Saat di tengah kesendiriannya dan asyik menggambar, ada suara ramai di depan galeri. Aubrey lantas langsung meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke depan untuk memeriksa apakah yang tengah terjadi. Sudah banyak orang berkumpul, rata-rata para penyewa bangunan di sekitar galeri milik Aubr
Pagi telah datang menyapa. Aroma bekas hujan menguar dan menerobos dari balik jendela yang dibuka. Aubrey menggerakkan tubuh dan memperhatikan tubuhnya, kemudian, terdengar hela pendek napasnya. Di sana sudah ada pelayan yang biasa merapikan kamarnya. Aubrey memang ketika tidur tidak pernah mengunci kamar dan dia menunjuk salah satu pelayan untuk membersihkan kamar dan sekaligus membangunkannya. "Selamat pagi, Nona Aubrey," sapa pelayan wanita keluarga Calandre. "Morning," balas Aubrey sambil mengucek matanya. "Tampaknya anda begitu lelah, Nona?" tanya pelayan tersenyum sambil merapikan gorden kamar Aubrey. Aubrey mengernyitkan dahinya, seperti berpikir dari mana pelayannya tahu? Sang pelayan menunjuk ke arah tubuh Aubrey dan ia mengikutinya. "Oh, i see!" seru Aubrey. Ternyata Aubrey belum sempat mengganti pakaiannya dengan piama. Ia tertidur masih dengan pakaian yang kemarin ia pakai ke galeri."Ada permintaan khu