 LOGIN
LOGINAfter I got pregnant, my husband started driving for Uber after work to help with household expenses. He wouldn't return home until the early hours of the morning. Then, on Valentine's Day, I suddenly felt a sharp pain in my belly. I called an ambulance to take me to the hospital. When I arrived, I saw my husband entangled with another woman. Both of them were being wheeled into the emergency room. "Tsk, these two really have no shame, going at it right out in public," someone muttered. "They probably wrecked the car in the process, don't you think?" another chimed in. "What's even worse," a voice added with a hint of horror, "is that guy has a wife!" The bystanders gasped in unison. "His wife must be devastated." Whether his wife is devastated or not, I don't know. But one thing is certain—he'll be going straight to hell for this!
View More*
Brugh!
Nita terjatuh, aku menoleh ke belakang melihat ia yang sedang memegang lututnya. Aku menepuk jidat sambil memejamkan mata, menetralkan emosi yang mulai memuncak. Betapa malunya diri ini ketika dia menjadi bahan tertawaan orang lain, tak ingin berlama-lama melihatnya, terutama mendengar tertawa mereka yang silih berganti. Jadi, kubiarkan saja dia di situ dan tetap melanjutkan langkah dengan tegap.
Saat ini aku sedang menghadiri acara pertunangan teman kerja. Sebenarnya aku ingin merahasiakan dari Nita untuk hadir, tapi dia malah lebih dulu tau karena diberitahukan oleh orang tuaku. Orang tuaku memang tak mengerti dengan perasaanku yang benar-benar tak dapat digambarkan bagaimana kondisinya saat ini.
Benar-benar menyebalkan, apalagi melihat tingkah lakunya yang seperti kekanak-kanakan.
"Mas, kok ninggalin aku. untung tadi ada Putri teman aku bantuin berdiri, ternyata dia sekarang jadi tukang make up. Dia itu teman sekampung aku waktu dulu, bahagia banget aku bisa ketemu sama dia. Soalnya dia teman satu-satunya yang aku punya." Panjang lebar dia menjelaskan, aku hanya diam tak menghiraukan omongannya.
"Udah ceritanya?" tanyaku dingin. Nita menganggukkan kepala, seperti anak kecil. Mungkin dikiranya itu terlihat imut, padahal sama sekali tidak!
"Kita pulang," ucapku dingin. Karena sekarang semua pandangan mengarah padaku yang berdiri di samping Nita.
"Kok pulang, baru juga sampai nanti aja lah, Mas." Aku tak mendengarkan, kutarik tangannya untuk ke luar dari ruangan ini.
Bunyi tawa mengiringi kepergianku, Nita benar-benar membuatku malu sekarang. Aku mengepalkan tangan dengan kmsangat kencang, suara tertawa mereka benar-benar sangat terdengar mengejek dan itu membuatku sangat marah.
Kubuka pintu mobil dan langsung mendorong Nita untuk masuk ke dalamnya dengan kasar.
"Aw, sakit, Mas." Suara Nita hanya membuat emosiku semakin naik. Aku tak memedulikan keluhannya
Kuatur napas yang mulai tak beraturan dan menoleh tepat ke sampingku, Nita menangis terisak.
"Lemah!" ucapku padanya. Dia menatapku dengan pandangan berkaca-kaca. Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang untuk menuju rumah kami.
****
"Ini hape dan tas kerja kamu, Mas," ucap Nita padaku dengan pandangan menunduk dan tangan yang bergetar. Setelah kejadian semalam, ia tiba-tiba menjadi sangat pendiam. Saat menatapnya pun, Nita langsung memalingkan wajahnya. Entah apa yang ditakutkannya, padahal tadi malam aku hanya sedikit emosi karena melihat semua orang yang begitu menyebalkan.
Tanpa mengucap satu kata pun. Aku langsung mengambil tak kerja dari tangannya. Namun, rasa tak nyaman tiba-tiba menyelinap begitu saja. Jadi kuputuskan untuk menoleh sebentar pada Nita.
"Terima kasih," jawabku lalu bergegas untuk pergi bekerja.
"Mas?!" teriaknya kembali. aku memutar bola mata malas.
"Ada apa lagi?" tanyaku dengan nada dingin dan raut wajah yang datar.
"A-aku mau mencium punggung tanganmu, sekali ini saja." Nita memberikan tangan kanannya, dengan sangat terpaksa kuberikan tangan ini untuknya. Setelah selesai, kulihat lengkungan senyum di bibirnya. Sebegitu bahagianya kah dia, pikirku. Tak ingin berlama-lama larut dalam pikiran, aku lalu bergegas pergi meninggalkannya.
"Assalamualaikum!" teriaknya saat kaki ini mulai melangkah menuju ke mobil.
Lagi, aku harus menoleh ke belakang dan mendapati Nita sedang tersenyum dengan perutnya yang semakin membesar.
"W*'alaikumsalam." Hanya kujawab singkat.
Pak sopir membukakan pintu mobil untukku. Aku sempat melirik ke Nita yang masih menatapku dari balik kaca mobil. Senyuman di bibirnya masih tak kunjung pudar.
'Huft." Aku mengembuskan napas dengan kasar. Akibat balas budi Papa terhadap Ayah Nita yang sudah tiada, kini aku yang harus tersiksa dalam rumah tangga yang tak pernah kuimpikan, bahkan terpaut dalam bayangan aja akan menikah dengan gadis desa yang kuno itu sama sekali tak pernah.
Nita itu benar-benar bukan tipe wanita yang selama ini kuinginkan, tapi kenapa? Kenapa takdir malah mempertemukanku dengan sosok yang benar-benar membuatku pusing hingga kepala terasa ingin pecah. Aku bertemu dengan sosok wanita yang badannya sangat gemuk, berkulit hitam dan ... ya dia manis, tapi walaupun begitu aku tetap tak tertarik pada dirinya.
Padahal tanpa dijodohkan pun sebenarnya masih banyak di luar sana eprempuan yang menyukaiku, anehnya Papa malah langsung menjodohkan begitu saja dengan perempuan yang padahal tak pernah kutemui sebelumnya
Entah kenapa Papa begitu yakin bahwa Nita adalah gadis yang baik untukku. Padahal andai Papa tau bagaimana kondisi rumah tangga kami yang sebenarnya. Pasti dia akan sangat marah, terutama padaku. Karena hampir dua tahun pernikahan, tak pernah sedikitpun muncul rasa cinta untuknya.
Dan sekarang Nita hamil! Ya, saat itu bahkan sempat frustasi mendengarkan apa yang ia katakan. Aku bahkan mengutuk diriku sendiri kenapa begitu ceroboh hingga benihku tertanam di rahimnya. Sempat kusuruh dia untuk menggugurkannya. Tapi apa boleh buat, lagi-lagi kekecewaan yang harus kutelan. Nita sudah memberitahukan kehamilannya pada orang tuaku. Andai tak diberitahukannya, mungkin dari dulu janin itu tak akan terus tumbuh berkembang di perutnya dan tentu saja akan ada banyak cara untuk menggugurkan kandungannya itu.
Jika kalian bertanya kenapa dia bisa hamil? Akan kujawab, bagaimana tidak hamil! Kami tidur sekamar, dan tentunya sebagai lelaki normal aku memiliki nafsu, apalagi dia sudah berstatus sebagai istri sahku. Dan dari situlah perutnya semakin membesar.
Bagaimana mungkin kami yang tinggal dalam satu rumah, tidur sekamar berdua tak melakukan hubungan. Itu mustahil, sangat-sangat tak wajar jika dalam satu kamar tak muncul gairah satu sama lain.. Menurutku wajar-wajar saja, tapi untuk cinta. Aku sama sekali belum terpikir untuk memberikan padanya.
**
Saat sampai di perusahaan, aku langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah tersedia untukku. Banyak karyawan menyapa, hanya kutanggapi dengan anggukan kecil saja.
Klek!
"Selamat pagi, Sayang." Sekretaris yang sudah beberapa bulan ini menjadi pacarku. Rupanya ia sudah lama menungguku di ruangan ini, buktinya dia duduk di atas meja kerja.
"Pagi," jawabku datar dan mulai mengerjakan berkas-berkas yang diberikannya.
"Kenapa sih, pagi-pagi kok murung gitu. sini cerita sama aku," ucapnya mendekat dan mengambil tas kerja di tangan, dan langsung memeluk lenganku.
"Ngga papa lagi badmood aja," ucapku lalu memijat kening yang berdenyut.
"Oh, pasti gara-gara istri kamu yang jatuh itu ya?" tanyanya sambil bergelayut manja.
"Kok kamu tau?" tanyaku menatapnya bingung.
"Kan videonya udah tersebar di mana-mana?" jawabnya diiringi kekehan kecil. Aku menepis tangannya dengan kasar karena mulai meraba wajahku.
Aku meradang setelah mendengar ucapan Sarah barusan.
'Kurang ajar! Siapa yang berani menyebarkan video Nita.' batinku, kukepalkan tangan ini dengan napas yang memburu.
"Kamu kenapa sih?" tanya Sarah yang seperti heran melihat sikapku.
"Jika kamu sudah selesai, silakan ke luar dari ruanganku, Sarah," ucapku padanya.
"T-tapi ...." Aku langsung mengangkat tanganku padanya, mengisyaratkan agar dia tak berbicara lagi dan mengikuti perintahku.
Sarah ke luar ruangan dengan wajah yang kesal, serta kakinya yang sengaja dihentakkan. Sebenarnya aku tak pernah mempunyai rasa padanya, dia hanya kujadikan sebagai pelampiasan saja saat aku mulai jenuh dengan rumah tangga yang sedang kuhadapi.
Jadi, Angga psajandia hanyalah untuk main-mainku saja. Kini pikiranku kembali ke video Nita yang mulai tersebar, katanya.
Siapa orang yang tega menyebarkan video itu, benar-benar keterlaluan.
'Akan kucari siapa pelakunya, ke ujung dunia sekalipun.' gumamku pelan dengan rasa marah yang mulai tak terkontrol.
****
Saat di kantor pikiranku tak karuan, aku memutuskan untuk pulang dan menemui Nita di rumah ditemani Aryo.
"Sabar, Bro. Nita nggak salah apa-apa." Aryo mengusap belakangku.
"Diam, lo! Lo nggak tau apa-apa, Yo!"
Aku bergegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Nita.
"Nita!!"
"Nita!!"
Aku berteriak sekeras mungkin. Agar dia mendengar dan tahu bahwa sekarang aku dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
"Iya, Mas. Kamu udah pulang?" tanya Nita dengan lembut. Ia tergopoh-gopoh datang dari dapur, entah apa yang sedang dikerjakannya.
Aku langsung melempar ponsel ke atas sofa. "Kau lihat video itu!"
Aku membentaknya.
Nita duduk lalu mengambil ponselku dengan wajah takut.
Matanya membulat sempurna, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kau memalukan. Kau membuatku malu, Nita! Kau benar-benar sangat memalukan. Enyahlah dari hadapanku!!!" bentakku lagi tanpa menghiraukan ia yang terkejut, lalu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Selalu seperti itu. Aku tak peduli lagi bagaimana dengan raut wajahnya itu, bahkan dengan perasaannya. Amarah benar-benar sudah menguasai hati dan setelahnya aku memutuskan untuk langsung pergi meninggalkannya sendirian di rumah.
Di KBM udah bab 2. Bantu subscribe ya
I never saw Ian again.I figured my words had frightened him enough to make him flee the city overnight.But it was pointless. I had already hired someone to track him. Wherever he went, whatever he tried, it all ended in failure. Even washing dishes turned into a disaster, leaving his employers too spooked to keep him.Just as I was settling into the idea of tormenting him for the rest of his life, the person following him reported something unusual—Ian had a serious nosebleed that wouldn't stop. Lacking money to see a doctor, he hastily bought some over-the-counter medicine, hoping it would work.And it did, for a while. The bleeding stopped, but then came a relentless fever. Unable to move much anymore, he had no choice but to call his parents for help. They rushed to his side, taking him to the hospital.The diagnosis? HIV.When I heard the news, the glass I was holding slipped from my hand, shattering on the floor. A chill swept through me, climbing from the soles of my feet
Ian's mother had carelessly uploaded a video, which unexpectedly went viral. Meanwhile, I invested in a professional operations team, meticulously planning every detail of my own video. It didn't take long for my video to dominate the trending charts that day.Public opinion on the internet shifted almost instantly. The crowd that had previously been hounding my father's company dispersed like a receding tide, now redirecting their fury toward Ian's mother. Some even turned up at her home, demanding answers.I closed my phone with a quiet indifference, ignoring the flood of apologies that filled my notifications. Across the table, Ian's face was ashen as he stared at me. "Do you have to drive me into a corner?" he asked.I didn't answer. Instead, I slid the divorce agreement across the table toward him.This time, there wasn't the slightest hesitation. He signed his name with a calm resolve, then looked up at me. "Now can you take the video down?"Raising an eyebrow, I stood.
Ian's cheek twitched as his eyes bore into mine, unblinking and intense. I caught the faintest tremor in his hand as it began to rise, his intent unclear but unmistakable. I let out a derisive laugh and asked, "What's this supposed to mean? You planning to hit me?"He froze mid-motion, the reality of his action dawning on him. Slowly, he withdrew his hand, his gaze softening into a pitiful, sorrowful plea. Once upon a time, I had loved those eyes of his—eyes that seemed to hold nothing but me in their reflection. But now, looking into them, all I could see was a hollow imitation of sincerity, a revolting layer of deceit wrapped in faux regret.Bracing myself on my arms, I pushed upright and reached for the car door. My movement startled him. He hadn't expected it, and his hand shot out to grab my arm. "What are you doing?" he demanded, panic creeping into his voice.I didn't answer. Instead, I drove my knee hard into his groin. His guttural scream pierced the silence inside th
The pain of the procedure was excruciating—unbearably so. Especially during the final stage, when the remains hadn't been completely cleared, and they had to perform a dilation and curettage. My entire body was drenched in cold sweat, my hands clenching so tightly that my nails dug into my palms, leaving deep, bleeding crescents.I lost track of time. Somewhere in the haze, I heard the doctor finally say it was over.Struggling to open my eyes, I searched for a glimpse of my child. "I want to see…" My voice, weak and trembling, reached out to the nurse. I tugged at her sleeve, my words spilling out in desperation, "Please… let me see my baby…"Just once. Even if it was only for a moment. Let me see him one last time.The nurse sighed softly, hesitated, and then lowered her head. She gave me a glimpse of the tiny, fully-formed child.One look. That was all it took. Tears streamed uncontrollably down my face, the ache in my chest twisting and wrenching until it was unbearable. M
I woke up to the sound of voices murmuring in my ears.Opening my eyes, I saw my uncle gripping Ian by the collar, shoving him toward the door with an unmistakable command to leave. My uncle used to be a sanda coach, and lifting Ian was as easy for him as picking up a chicken. No matter how much Ian struggled, there was no escaping his grip.Ian's eyes darted to mine, and in that instant, his expression grew agitated. "Honey, are you okay?" he called out, his voice trembling.I didn't respond. Instead, I raised my gaze to meet my uncle's. He caught my meaning immediately. Without hesitation, he dragged Ian toward the door, tossed him out, and slammed it shut with a resounding bang.Sitting down beside me, my uncle looked at me with a mix of sorrow and tenderness. "You've been through a lot," he said, pulling the blanket over me with care. "Don't worry, your parents will be here tonight. When they arrive, we'll make sure to settle this properly."Tears welled up in my eyes, blurrin
He didn't need to bring it up. The moment he did, tears started streaming down my face, unstoppable. Summoning every ounce of strength I had, I raised my hand and slapped him hard across the face. His head snapped to the side under the force of the blow.A bitter laugh escaped my lips. "You've outdone yourself. Cheating on me and not even springing for a motel. A whole month, holed up in your car like a rat."Ian's face shifted, turning shades of blue and purple, his lips pressing into a thin line. "You don't have to be so harsh with your words," he said, his voice tight.I sneered. "No matter how harsh my words, they'll never be filthier than your actions." My eyes bore into him with pure disgust. "There's nothing left to say. Let's just get a divorce."His expression shifted immediately, panic flickering in his eyes. I didn't give him a chance to recover."You've always complained about my family's money insulting your so-called dignity, haven't you? Well, you won't have to worr












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Comments