Share

Bab 1 : Terkabul dengan Kejam

Namanya Arfian Hazil Santoso. Pemuda imut berusia 16 tahun ini sedang duduk di kelas 10 SMA. Sosoknya kecil, tingginya tak lebih dari 165cm. Kulitnya kuning langsat tapi cenderung pucat, dan matanya bulat. Tak sedikit orang yang menganggapnya lemah atau banci, karena ia orang yang tidak kuat berolahraga keras. Namun tak sedikit pula yang menganggapnya imut. Itu karena wajahnya yang baby face dan matanya yang seperti bulan sabit ketika ia senyum.

Ia tak pernah benar-benar merasakan menjalin hubungan dengan gadis. Beberapa kali ia pernah menembak gadis, dan jawaban yang didapatkannya pun beragam.

Ada yang menolaknya mentah-mentah karena ia dianggap terlalu 'imut' untuk disebut laki-laki. Ada juga uang terang-terangan berkata, "Aku kalah cantik sama kamu."

Namun ada juga yang menggantungkan status mereka. Gadis tersebut selalu mengelak dan berkata bahwa ia ingin pendekatan dahulu, sampai akhirnya Arfian sadar bahwa ia ditolak dengan halus. Cowok itu pun mundur.

Ia kenal dengan Luthfi sejak SMP. Bahkan Luthfi sedikit banyak ikut membantu setiap aksinya dalam mendekati gadis. Dan tampaknya ia benar-benar tulus membantu, sampai kadang Arfian jadi baper, kalau boleh jujur.

Mungkin ungkapan "level tertinggi persahabatan adalah dikira homo oleh orang-orang" benar adanya. Bahkan salah satu mantan Luthfi pernah memutuskan hubungan mereka karena Luthfi terkesan lebih dekat kepada Arfian daripada ke gadisnya.

Namun tak lama setelah itu, Luthfi mendapatkan pacar lagi. Tentu saja, Luthfi memang tampan. Tubuhnya yang bidang dan semampai, hampir mencapai 180cm, benar-benar indah dipandang. Kulitnya juga bersih dan cerah, tak terkesan pucat seperti dirinya. Ditambah lagi rambutnya yang lemas dan berkilau, sangat cocok jika berpotongan ala Korea.

Arfian juga ingat banyak gadis yang bilang kalau Luthfi juga punya pesona di jari-jari tangannya. Entahlah, Arfian tak terlalu paham. Ia hanya ingat gadis-gadis berkata bahwa jari tangan Luthfi yang panjang dan berurat merupakan daya tarik utamanya selain tubuh semampai. Tapi Arfian sendiri masih tak dapat paham bagian mananya yang menarik dari tangan berurat.

Yah, mungkin hanya cewek-cewek saja yang paham.

Tapi tak urung, Arfian ikut merasa nyaman juga berada di dekat Luthfi. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berharap Luthfi tak usah mempunyai pacar, agar bisa terus bersamanya.

Seperti saat ini. Motor yang dikendarai Luthfi melaju dengan kecepatan sedang siang itu. Arfian yang terlarut dalam lamunan tak sadar telah berpegangan pada Luthfi dengan erat. Lebih tepatnya, Arfian sedang memeluk punggung Luthfi.

Luthfi berniat menegur Arfian sekilas saat mereka berhenti di lampu merah. Ia membuka kaca helm-nya.

"Ngantuk ya, Ar?"

"Engg... enggak. Cuma haus sih. Mampir di minimarket gimana?"

"Oke."

Maka motor itu berbelok ke sebuah minimarket. Hawa sejuk pun segera berhembus menghilangkan penat Arfian begitu ia masuk.

Saat mereka membayar minuman ringan mereka di kasir, entah kenapa Arfian merasa kalau petugas kasir tersebut berkali-kali mencuri pandang ke arahnya. Arfian sendiri pura-pura tidak tahu saja.

"Eh, Ar. Lu dilihatin terus sama kasirnya, hahaha," Rupanya Luthfi juga menyadarinya saat mereka menuju motor lagi.

"Ngefans kali." Arfian mengedikkan bahunya tak acuh, lalu hendak memakai helm-nya lagi, sebelum Luthfi menahannya.

"Eh, bentar Ar."

"Ya?"

"Kok gue baru nyadar yak kalo mata lu warnanya merah?" Tanya Luthfi sambil menatap tepat ke kedua mata Arfian.

"Mataku merah?"

"Bukan... maksudnya bukan putihnya. Tapi bola mata lu Ar. Merah bening gitu. Keren cuy."

"Oh ya?"

Arfian pun bercermin pada spion motor. Benar saja! Kedua manik yang dimilikinya berwarna merah gelap, namun bening.

"Aku juga baru nyadar." Gumam Arfian sambil menerawang. Ia teringat cairan ramuan aneh tersebut.

"Hmm... lu pakai parfum yak Ar? Wangi bener."

"Hah? Enggak tuh. Aku gak nyium bau apa-apa."

Untuk soal wangi tubuhnya ini, ia memang benar-benar tak merasakannya.

"Masa sih? Tapi ini wangi banget lho."

"Udah deh, yuk pulang aja. Keburu capek aku."

"Haha, yaudah."

🌹

Malam itu Arfian bermimpi dalam tidurnya.

Tapi Arfian sendiri tidak yakin apakah ini mimpi atau bukan. Mungkin lebih tepatnya lucid dream, tapi dibilang lucid dream pun juga sepertinya bukan, karena ia tak tahu ia berada di mana dan apa yang harus ia lakukan.

Jadi saat ini ia sedang berada di sebuah lorong yang luas dan lebar, berlangit-langit tinggi, dan gelap. Tubuhnya berdiri menghadap sebuah cahaya putih yang sepertinya merupakan ujung dari lorong ini. Cahaya tersebut sangat lebar dan tinggi, sehingga Arfian merasa tinggi badannya hanya sekitar 10% dari total tinggi langit-langit lorong ini.

Arfian melangkah perlahan menuju cahaya putih tersebut. Suara langkahnya bergema ke seluruh sudut, menandakan bahwa tempat aneh yang sangat luas ini adalah sebuah ruangan tertutup.

Saat ia sampai ke sumber cahaya, tiba-tiba wajahnya membentur sebuah kaca. Ia pun mengaduh dan mengusap hidungnya.

Rupanya ruangan yang gelap dan ruangan yang  putih terang diberi pemisah berupa kaca.

Ia pun meraba-raba kaca itu. Mencari-cari kalau misalnya ada semacam pintu, atau lubang kecil agar salah satu anggota tubuhnya bisa masuk ke dalam.

Tapi tidak ada.

Saat ia memandang ke depan lagi, ia baru sadar kalau ada seseorang tengah duduk di sebuah sofa, membelakanginya.

Mencari apa, bocah?

Sebuah suara menegurnya. Arfian terkesiap.

Hehehe... jangan takut. Aku tidak jahat kok. Sosok itu pun bangkit dari duduknya dan berbalik, menghadap Arfian.

Arfian seketika jadi terpesona.

Sosok itu berwujud wanita dewasa. Ia mengenakan kebaya brukat berwarna merah terang, dengan aksen emas dan perunggu, membungkus tubuhnya yang seperti gitar Spanyol. Jarik yang melilit bagian bawah tubuhnya sangat panjang menjuntai, mengekor hingga beberapa meter di belakangnya. Jarik tersebut juga membelah di sebelah kakinya, menyebabkan sebelah kakinya terekspos hingga setinggi paha.

Sosok tersebut juga mengenakan banyak sekali hiasan di tubuhnya. Yang paling mencolok adalah sekuntum mawar merah raksasa bertahta di kepalanya. Kemudian ia juga memakai selendang dan membawa sebuah kipas tangan dari kayu cendana. Riasan yang begitu tebal menempel di wajahnya yang feminim. Selain itu, kuku-kuku jarinya juga terhias oleh cat kuku berwarna gelap dengan ujung kuku runcing, membuat jari tangannya terlihat sangat lentik dan mengerikan.

Satu hal yang aneh, sosok itu tak terlihat mengenakan sepatu, atau alas kaki lainnya. Tetapi kuku jari kakinya yang dihias serupa dengan kuku jari tangannya sudah cukup membuat kaki tersebut jenjang dan indah, tanpa harus mengenakan sepatu.

Namun satu hal yang pasti, sosok itu serupa dengan sosok yang berkelebat dalam bayangan sepersekian detik waktu itu!

Oh, jadi kamu laki-laki, ya.

Arfian tetap mematung, ia tak tahu harus membalasnya bagaimana.

Santai saja. Tak perlu menyapaku dengan formal.

Cowok itu terkesiap. Apakah... orang ini... bisa membaca...

Oke. Hal pertama yang kurasa kau harus mengetahuinya adalah, aku bisa membaca pikiranmu, nak.

Arfian membelalak tak percaya.

"Be... benarkah? Lalu, anda siapa? Dan saya ada di mana?"

Pertanyaan basi yang bagus sekali, hehehe. Aku akan memperkenalkan diriku secara perlahan kepadamu, tenang saja. Tapi intinya adalah, aku... adalah 'mawar' yang kau minum waktu itu, bocah.

Mustahil! Jadi waktu itu yang ia minum adalah... makhluk hidup?

Hmm... secara teknis, bukan juga. Mungkin lebih tepatnya, bukan hal yang tepat untuk menanyakan hal itu kepadaku.

"Lalu, kepada siapa aku harus mencari tahu?"

Kita akan bicarakan itu nanti. Yang jelas sekarang adalah, pertama, aku adalah 'mawar' yang kau minum tadi. Kedua, aku bisa membaca pikiranmu. Lebih tepatnya, aku telah menyatu dengan pikiranmu. Ketiga, secara otomatis aku juga tahu isi rencanamu. Dan keempat, kau bisa menemuiku di sini, kalau kau ingin mengobrol denganku.

Wanita tersebut pun berjalan mendekat. Lekuk tubuhnya dan gaya busananya yang demikian membuat langkahnya terlihat lenggak-lenggok secara alami.

Saat ia sudah sangat dekat dengan Arfian, hanya terhalang oleh kaca besar, napas laki-laki itu pun tercekat.

Wanita itu sangat tinggi. Mungkin hampir dua meter.

Setelah itu ia berlutut dan tersenyum hangat, menampilkan deretan gigi yang putih dan rapi di balik bibir merahnya. Kini ia lebih rendah dari tinggi Arfian, membuat Arfian jadi sedikit menunduk untuk memandangnya.

Kau ingin balas dendam terhadap orang-orang yang menjahatimu kan, sayangku? Tenang saja, aku akan membantumu.

"Ba-bagaimana caranya?"

Serahkan semuanya saja padaku. Kau tinggal beraktivitas seperti biasa. Biar aku yang mengurusnya.

Arfian bergeming. Ia masih tak paham.

Tidak apa-apa kalau kau tak paham, sayang. Karena sepertinya ini akan jadi menarik... dengan tubuh laki-lakimu.

🌹

Arfian seketika terlonjak dari tidurnya. Napasnya tersengal.

Itu tadi... mimpi?

Semoga cuma mimpi... walaupun terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi. Dan terlalu... mengerikan.

Mimpi macam apa itu tadi??

Maka pagi itu ia berjalan memasuki sekolahnya dengan wajah tegang. Keringat dingin mulai merembes dari pori-pori kulitnya, walaupun tadi ia sudah mandi air hangat.

Kenapa kalimat 'dengan tubuh laki-lakimu' terdengar begitu mengerikan?

Arfian tidak tahu apa maksudnya... tapi firasatnya mengatakan bahwa itu bukanlah hal sepele...

Ia berjalan gontai menuju kelasnya, dengan perasaan berkecamuk yang intinya ingin mengenyahkan kalimat 'dengan tubuh laki-lakimu' itu dari otaknya. Sial! Kenapa tidak bisa?!

Tiba-tiba sebuah senggolan di bahu kanannya membuat lamunannya buyar.

Adalah Kak Reno. Ketua OSIS yang juga termasuk salah satu anak populer di sekolahnya. Menyenggol bahunya. Dan mengedipkan sebelah matanya sambil nyengir lebar. Kemudian langsung berlalu dengan cepat.

Setahu Arfian dia hampir tak mengenalnya, tapi kenapa tiba-tiba ia menegurnya? Apalagi dengan cara seperti itu??

Tapi ia jadi sadar juga, kalau hari ini beberapa pasang mata siswa mencuri-curi pandang ke arahnya. Mungkin bukan beberapa lagi, tapi sudah banyak. Dan semuanya... laki-laki?!

Ia berusaha menenangkan dirinya. Mungkin hanya perasaannya saja. Positif thinking, Arfian... Positif thinking...

Maka ia pun berjalan di sepanjang koridor dengan banyak pasang mata mengikutinya. Beberapa hanya menatap dengan terdiam, tapi ada juga yang... bersiul ke arahnya?

Sepertinya ini memang bukan perasaannya saja. Terbukti beberapa orang memanggil namanya sekilas. Oh My God, bahkan Arfian sendiri tidak tahu siapa nama orang-orang yang memanggilnya. Ia akhirnya memilih cuek saja ketika ia mengetahui kalau menoleh ke arah si pemanggil hanya akan membuat orang itu bersiul tanpa alasan ke arahnya.

Dan lagi-lagi kesemuanya adalah... laki-laki!

Ia risih. Sangat risih. Ia introvert yang tak suka jadi pusat perhatian, secara tiba-tiba dipelototi oleh banyak orang seperti ini.

Tiba-tiba ia merasa takut bertemu dengan...

Luthfi!

Panjang umur... pemuda itu menampakkan dirinya tepat di saat Arfian baru saja memikirkan tentangnya. 

"Hei, Ar!" Sapanya dan segera berjalan menjejeri Arfian.

Arfian tersenyum sekilas, lalu meneguk ludahnya. Apakah Luthfi akan bersikap seperti orang-orang lain juga?

Semoga tidak... semoga tidak...

Saat mereka akan menaiki tangga menuju koridor kelas 10, mereka (lebih tepatnya Arfian) berpapasan oleh mimpi buruknya.

Danu dengan ekspresi wajah garangnya seperti biasa. Arfian pun juga berekspresi wajah takut seperti biasanya. Dan Luthfi, juga bersiap untuk melindungi Arfian seperti biasanya.

Tapi kali ini Danu tak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya menatap tajam ke arah Arfian. Maka Luthfi pun menariknya perlahan meninggalkan Danu.

Saat Arfian berlalu melewati Danu, Danu mencium semerbak wangi dari tubuh Arfian. Harum sekali. Danu yang tak pernah benar-benar menyukai wewangian sebelumnya, baru kali ini ia merasa terpikat hanya karena sebuah bau harum.

Tapi tidak hanya itu saja. Wajah Arfian pun sekarang entah kenapa jadi 'berbeda'. Jadi lebih menarik untuk dipandang. Serta lirikan matanya yang... memancingnya...

Itulah sebabnya kenapa Danu hari ini tiba-tiba jadi terdiam memandang Arfian. Tidak seperti biasanya yang tanpa ba-bi-bu langsung melampiaskan amarahnya ke Arfian.

Dia jadi merenung sendiri. Apakah selama ini ia terlalu fokus menghajarnya sampai tak terlalu memperhatikan wajahnya yang ternyata begitu... cantik?

Ah, ia jadi ingin memandang Arfian lagi. Ia harus bertemu dengannya lagi sesegera mungkin!

Kembali ke Arfian...

Begitu mereka berdua sampai ke kelas, Luthfi bertanya.

"Kok hari ini banyak yang ngeliatin lu yak, Ar?"

"Gak tau, Fi..."

Luthfi pun menoleh ke Arfian. Seketika ekspresi mukanya seperti terkejut.

"Lu pakai... makeup yak, Ar??"

"Hah? Enggak kok..."

"Masa?"

Luthfi pun meraih wajah Arfian dengan kedua tangannya. Diusapnya mata, pipi dan bibir Arfian. 

"Engga pakai ya? Tapi kek makai makeup, sumpah..." Gumamnya sambil terkekeh simpul. "Hari ini tuh lu kayak beda aja gitu. Bersih, wangi banget, kek pake makeup pula... Hmm, nah kan. Wanginya sama kek kemaren gue nganterin pulang lu." Luthfi mendekatkan wajahnya ke bahu kiri dan kanan Arfian secara bergantian.

Seketika Arfian teringat lagi oleh 'Mawar'. Apakah ini yang dia  maksud sebagai 'membantu balas dendam'? Apakah dengan cara menarik perhatian hampir semua laki-laki seperti ini? Bagaimana dengan Danu? Bagaimana dengan Luthfi? Apakah Luthfi juga akan ikut 'tertarik'? Entah kenapa ada rasa di hatinya yang mengatakan bahwa ia tidak ingin Luthfi ikut terkena 'efek' dari 'Mawar'.

🌹

Arfian sedang sibuk mencatat tulisan di papan tulis saat sebuah suara muncul di otaknya.

Arfian.

Ia refleks menoleh kesana kemari dengan cepat.

Ini aku, Mawar. Tak perlu panik begitu.

Ternyata yang ia alami semalam bukan mimpi! Ini nyata!

M...mawar?

Hehehe, maaf mendadak. Tapi aku ingin kau meninggalkan ruangan ini dan bertemu dengan Danu, sekarang.

Apa? Bertemu dengan pembully-nya lagi? No, thanks.

Geez, aku sudah bilang bahwa aku akan membantumu, bukan?

Kenapa harus sekarang? Kan nanti ada jam istirahat.

Oh, tidak. Aku tak ingin menyita waktu istirahatmu. Sekarang saja, percayalah padaku. Aku tahu yang terbaik.

Memang aku harus apa agar bisa keluar kelas? Ijin ke toilet? Kalau lama nanti akan dimarahi.

Hmm, kau akan kubuat sakit saja ya. Sebentar... saja.

Hah? Tu-tunggu-

Belum selesai dengan perkataan dalam hatinya, tiba-tiba ia terbatuk hebat. Seluruh kelas terkaget ke arahnya, termasuk seorang guru yang sedang mengajar di depan kelas.

Melihat Arfian yang tiba-tiba terbatuk pun membuat Guru tersebut menghampirinya.

"Kamu kenapa, Ar?"

Arfian tak sempat mengambil nafas untuk sekedar menjawabnya. Si Mawar keparat itu tak memberinya jeda untuk sekedar mengatur nafas.

Apa? Keparat? Mulai berani ya, kau.

Batuknya pun semakin menjadi. Sang Guru yang semakin panik, segera menyuruh beberapa murid untuk mengantarnya ke UKS.

Arfian baru berhenti terbatuk ketika memasuki ruang UKS, dengan dipapah kedua teman sekelasnya.

Apa-apaan itu tadi, Mawar????

Sama-sama.

Hah? Kok sama-sama, sih? Mau kamu apa coba??

Sekarang temui Danu, dia lagi mau menuju kelasmu. Kemungkinan bakal lewat sini juga. Bersiaplah dulu di depan pintu, dan keluar sesuai perintahku.

Huhh!! Dengus Arfian kesal.

Maka dengan segan Arfian pun berdiri lagi, yang semula dibaringkan oleh temannya di ranjang UKS.

Oke. Sekarang keluar dan beloklah ke kiri. Dia ada di dekat tangga. Setelah itu biar aku saja.

Maka Arfian pun mau tak mau menurut, dengan hati yang berdebar-debar hebat... karena takut.

Selangkah demi selangkah membawanya ke tempat yang dimaksud Mawar... dan benar saja. Danu baru saja akan menaiki tangga. Ia membelakangi Arfian, jadi ia masih belum tahu keberadaan Arfian di belakangnya.

Pejamkan matamu.

Arfian pun memejamkan matanya. Matanya terasa sedikit perih, namun hanya sepersekian detik.

Sekarang bukalah.

Ia pun mengerjap lagi. Hei, ini aneh. Tiba-tiba ia merasa pandangannya menjadi begitu jelas daripada biasanya dan... ia jadi lebih percaya diri! 

Dan saat itu pula, Danu tepat menoleh ke arahnya.

"Arfian?" Panggil Danu sambil mendekat ke arahnya.

Mawar? Aku harus bagaimana?

Tidak ada jawaban. Melainkan, tubuhnya bergerak sendiri!

Arfian bergerak mundur perlahan, hingga punggungnya menempel dinding di balik tangga. Sisi ini sungguh strategis, karena tak akan terlihat dari sudut manapun, kecuali jika seseorang memang berniat ke arah sini.

Danu ikut mendekat ke arahnya. Kali ini sorot matanya sedikit... lembut. Ia terus mendekat hingga hanya tersisa beberapa sentimeter di antara mereka.

"Ya?"

"Ehmm... aku..."

"Apa?"

"Ehmm... mau minta maaf udah nyakitin kamu selama ini."

"Uhm."

"Eh, ngomong-ngomong... mata kamu ternyata merah ya warnanya?"

"Oh, masa sih? Kamu suka?"

Sumpah, ini semua bukan dari diri Arfian sendiri! 'Mawar' sedang menguasai tubuhnya!

Tapi setidaknya, Arfian jadi lebih paham satu hal lagi.

"Aku baru sadar kalau aku selama ini ngapa-ngapain kamu karena..."

"Hm?"

"Karena aku... suka sama kamu."

Arfian, yang saat ini sedang dikuasai oleh 'Mawar', terkikik sekilas.

"Ketawanya bagus." Gumam Danu, nyaris tak terdengar.

"Apa?"

"Enggak apa-apa."

"Wah, ternyata kamu bisa minta maaf juga, ya."

"Eh, iya, hehe..."

"Bagus deh kalau gitu. Mau imbalan?"

"Betapa beruntungnya aku bisa dapet imbalan dari malaikat imut kek kamu."

Arfian terkikik lagi.

"Iya dong. Kamu kan sangar..." Ujarnya sambil menyentuh lengan atas Danu yang berotot dengan lembut, lalu mengusapnya pelan, dengan tujuan utama memberikan sugesti 'sensual'.

Danu meraih tangan itu, lalu membawanya mendekati bibirnya. Ia pun mengecup telapak tangan Arfian.

Arfian, yang wajahnya jadi merona, menundukkan wajahnya.

Alhasil itu sukses membuat Danu jadi lebih gemas, Ia pun meraih dagu Arfian dengan sebelah tangannya lagi. Membuat wajah Arfian terangkat untuk beradu pandang dengan Danu.

"Kata-kata kamu tadi harus dapet jawaban, nggak?" Tanya si cowok imut.

"Pengennya sih dapet jawaban."  Danu melepas kedua tangannya, membimbing kedua tangan Arfian agar memeluk bahunya, lalu menumpukan tangannya sendiri ke dinding di belakang Arfian. Menguncinya agar tak bisa kabur.

Jarak di antara mereka pun terhapus seluruhnya. Danu menciumnya dengan lembut.

Jari-jari Arfian mencengkeram pelan bahu Danu.

Sementara cowok yang lebih kekar, yang daritadi terus menerus mencium semerbak harum dari tubuh Arfian, berusaha agar tak terlalu agresif. Tapi ia tidak tahan juga. Semerbak itu sukses membuat pikirannya semakin buta.

Danu melepas ciuman itu. Ia menatap Arfian dengan gusar.

Arfian balas menatapnya, seakan bertanya 'kenapa?'.

Kemudian tangannya semakin erat memeluk bahu Danu. Dengan senyum simpul, seolah-olah berkata, 'tidak apa-apa, lakukan saja'.

"Sial!" Umpat Danu sambil memukul dinding di belakang Arfian. Lalu kembali mencium cowok manis di dalam kunciannya, kali ini lebih ganas.

Arfian mendesah dalam ciumannya ketika Danu semakin menuntut. Lidahnya seakan memakan seluruh isi mulut Arfian, dan mengabsen setiap deretan giginya, membuatnya mengerang. 

Ciuman panas itu membuat tubuh Arfian lelah. Perlahan pelukannya di bahu Danu melepas, dan ia merasa akan merosot.

Danu yang juga merasakan Arfian semakin lemas dengan sigap memeluk pinggangnya dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain mengunci belakang kepala Arfian, tak membiarkannya lepas sedetik pun. Ia harus memastikan Arfian benar-benar terbakar dalam dominasinya.

Arfian semakin mengerang. Sedangkan Danu malah semakin terangsang dengan erangan itu. Ciumannya turun ke leher Arfian, menyesap dalam-dalam sumber semerbak yang mengganggu akal sehatnya tersebut.

"Nnhh... ah..." Desah Arfian.

Desahannya terdengar begitu merdu di indera pendengaran Danu. Ia ingin mendengar suara itu lagi dan lagi. Maka Danu pun menggigit leher Arfian dengan keras, memberi tanda kepemilikannya.

"Aaaahhh... Danu... Nnnghh, sakit...."

Kemudian Danu melepasnya beberapa saat kemudian. Napas mereka terengah-engah, sedangkan Arfian yang tak kuat lagi berdiri, merosot terduduk di lantai.

Libido Danu telah memuncak, tapi ia bingung bagaimana harus melepaskannya dalam keadaan di tempat seperti ini.

Maka Danu pun mengeluarkan ponselnya, memotret Arfian yang terduduk lemas di lantai dengan belahan leher yang terekspos menampilkan tanda gigitan Danu, lalu masuk ke kamar mandi terdekat. Ia menggunakan foto Arfian untuk melepaskan hasratnya yang tak terbendung.

Arfian yang kini sendirian masih berusaha mengatur pandangan dan tulang-tulang kakinya.

Mawar, Aku lelah... apa-apaan itu tadi?!

Kedua matanya terasa perih sepersekian detik lagi, sebelum suara di otaknya menjawabnya.

Biarkan saja dia puas dulu, Arfian. Ini baru langkah awal.

Hah? Langkah awal?? 

Arfian tak merasa siap dengan semua yang terjadi tiba-tiba ini. Ia tak tahu apakah harus merasa beruntung, atau mungkin malah sial.

Cepat benahi pakaianmu, bel istirahat akan berdering sebentar lagi.

🌹

Arfian baru saja jatuh ke dalam tidurnya malam itu saat ia mendapati dirinya berada di dalam lorong hitam putih itu lagi.

Maka dengan malas pun ia berjalan ke kaca pembatas.

Tapi sosok yang ditujunya sedang tidur pulas di atas sofa putih, di sisi putih lorong itu. Mahkota mawarnya tergeletak di lantai sampingnya.

"Mawar?"

Tidak ada jawaban. Dengkurannya malah semakin keras.

"Mawar... bangun!"

Hmmm.

"Aku tidak tahu cara pergi dari sini, selain bangun dari tidur. Setidaknya ajari aku dulu cara pergi dari sini. Apakah itu artinya setiap aku tidur aku akan ke tempat ini terus?"

Sosok itu bangkit perlahan. Lalu berjalan mendekati Arfian.

Bahkan berjalan biasa pun sudah membuatnya terkesan seksi.

Nnggh... Mawar meregangkan kedua tangannya tepat di depan Arfian. Memamerkan buah dadanya yang besar tertutup kebaya brukat.

Arfian, sebagai cowok yang masih ada rasa tertarik terhadap kaum hawa, mengerling parno. Kemudian memilih untuk membuang pandangannya ke samping dan bawah, karena merasa mukanya memanas melihat aksi Mawar barusan.

Mawar yang melihat wajah Arfian memerah pun terkekeh senang. Menurut Mawar, wajah merah Arfian itu sangat imut.

Ada apa, Arfian?

"Aku yang justru tanya kenapa. Apakah itu artinya aku harus mengunjungimu terus setiap aku tidur?"

Tidak selalu. Lebih tepatnya, kau hanya akan 'disuruh' ke sini menemuiku ketika kita diharuskan untuk mendiskusikan sesuatu.

"Disuruh oleh siapa?"

Oke. Besok waktu pulang sekolah, aku akan membawamu ke tempat orang yang membuat ramuan itu.

"Hm, baiklah. Oh iya, Mawar."

Iya, sayang?

"Apakah... Luthfi juga akan ikut 'terkena'?"

Hm... kau menyukainya?

"Tidak, maksudku... iya. Eh, tidak... ehm, maksudnya, aku menyukainya. Tapi karena aku nyaman berada di dekatnya, dan bukan karena nafsu. Kau paham maksudku?"

Aku paham maksudmu, anak manis. Baiklah, aku bisa membuat pengecualian untuknya jika kau minta.

Seberkas senyuman merekah di bibir Arfian. Melihat itu Mawar juga ikut tersenyum.

Sekarang tidurlah. Besok kita ke tempat si pembuat ramuan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

to be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status