Share

Venomous Rose : Mawar Berbisa
Venomous Rose : Mawar Berbisa
Penulis: knautica

Prolog : Mustika Mawar Berbisa

Pasti setiap sekolah punya setidaknya satu siswa populer, baik laki-laki maupun perempuan. Bisa karena siswa tersebut berprestasi di bidang akademik, atau pandai bergaul, bisa juga karena parasnya yang cantik atau tampan.

Siswa seperti itu juga ada di sekolah Arfian. Uniknya, siswa ini justru populer karena mengklaim dirinya adalah yang paling menarik satu sekolah. Siswi tersebut memang cantik, Arfian mengakui. Namun tak sebanding dengan sifatnya yang terlalu percaya diri. 

Namanya Cindy. Gadis berkulit kuning langsat itu tubuhnya seidikit gempal, tak terlihat terlalu ideal juga. Seragam yang dikenakannya dibuat mengetat membentuk tubuhnya, dengan rok abu-abu panjang yang ketat juga.

Ia bersama geng gadis-gadisnya menjadi pusat perhatian sekolah. Setiap ia lewat di dekat siswa laki-laki, ia akan mengibaskan rambutnya sambil tersenyum simpul. Reaksi yang didapatkannya pun beragam. Ada yang balas menyiulinya, ada juga yang tak acuh. Si gadis malah senang jika dia mendapat siulan dari siswa laki-laki yang digodanya.

Selain siswa populer, ada pula siswa yang jadi korban bully. Itu adalah nasib Arfian sekarang. Tubuhnya yang kurus dan kecil, serta kulit pucat, membuatnya jadi sasaran empuk bagi siswa berperawakan garang seperti preman di sekolahnya.

Seperti pagi ini, Danu dan geng-nya menarik paksa Arfian yang baru saja memasuki area sekolah, kemudian mendorongnya hingga membentur dinding.

Sebelum Arfian tersungkur di lantai, Danu meraih kerah bajunya lagi, sehingga dia terangkat lagi dari lantai. Ia diangkat menjajari tinggi wajah Danu, yang menyebabkan kakinya hampir tidak menyentuh tanah.

"Udah bawa 50 ribunya belom?! Jangan bilang lu kaga bawa?" Desak Danu menagih uang palakannya kepada Arfian.

"Ba...bawa kak," Jawab Arfian terbata karena takut.

"Karena gue kasihan ama lu, nanti aja pas jam istirahat. Sekarang lu bawain tas gue." Perintahnya sambil menurunkan Arfian lagi. Siswa garang bertubuh atletis itu melepas tasnya dan melemparkan ke Arfian. Disusul teman-teman gengnya yang lain.

"Gue juga ya, nih!"

"Tas gue juga ya! Thanks!"

Arfian kewalahan menggotong tas-tas berat tersebut. Terlebih lagi kelas 12 memiliki jadwal sekolah yang lebih padat daripada kelas 10, membuat Arfian sekuat tenaga menggendong tas-tas milik kakak kelasnya.

Untungnya kelas 12 ada di lantai 1, sehingga Arfian bersyukur tak harus naik tangga.

Tubuh Arfian ambruk begitu mencapai depan kelas Danu. Melihat itu bukannya iba, Danu malah terlihat geram.

"Anjing lu! Rusak lah tas gue lu jatuhin begitu! Dasar kaga tau diuntung!" Dengan kasar Danu dan kawan-kawan mengambil lagi tasnya, meninggalkan Arfian yang tersungkur di lantai.

Beberapa siswa baru berani menghampirinya setelah Danu menghilang dari lokasi, karena Danu merupakan siswa yang paling ditakuti di sekolah itu. Mereka mengguncang-guncang tubuh Arfian, tapi yang bersangkutan masih tak sadarkan diri.

Beruntung, salah satu sahabat baik Arfian, Luthfi, segera datang menghampirinya.

"Ar! Ar! Bangun Ar! Lu diapain sama Danu?" Luthfi yang telah hapal apa yang biasanya membuat Arfian jadi tak sadarkan diri begini jadi panik. Tak kunjung mendapatkan respon, Luthfi pun memapahnya dan membawanya ke UKS.

"Maafin gue datang telat, Ar. Segeralah sadar, Ar..." Luthfi duduk di kursi sebelah ranjang UKS tempat Arfian terbaring lemah dan menggenggam sebelah tangannya.

Sesaat kemudian bel masuk pun berdering.

Luthfi yang mendengar itu dengan ogah-ogahan berdiri. "Baik-baik ya, Ar. Gue ke sini lagi pas jam istirahat."

Cowok berperawakan jangkung dan kurus itu membelai rambut Arfian sekilas, lalu pergi.

🌹

"Semua cowok yang ada di sekolah ini tuh suka sama aku! Gaada yang enggak suka sama aku!" 

Suasana kantin yang ramai membuat suara Cindy tak terlalu menjadi perhatian. Nampaknya murid-murid tengah sibuk mengisi perutnya, sehingga hanya teman-teman gengnya yang memperhatikan gadis tersebut.

Cindy sedang sibuk mengatur rambutnya sambil bercermin saat pasanan makanannya datang.

"Ini non, baksonya." Kata penjual bakso yang mengantarkan makanannya tersebut.

"Oh, thanks, buk!" Ia dan gengnya menghentikan aktivitas bercerminnya dan mulai menyantap bakso pesanannya.

Sesaat kemudian Luthfi datang sambil membawa sepiring nasi goreng.

"Gue duduk di sini, ya? Yang lain penuh, nih!" Tanyanya dan langsung duduk.

"Silakan aja. Bilang aja lu pengen deket-deket gue, ya kan?" Ucap Cindy percaya diri sambil menyilangkan kakinya.

Luthfi melirik sinis ke Cindy. "Apaan sih? Gak usah kepedean lu."

Yah, Luthfi termasuk yang tidak tertarik pada Cindy. Ia malah jijik dengan perilakunya.

Tak berapa lama nasi goreng yang dipesan Luthfi pun habis dan ia segera beranjak.

Tak disangka, Cindy juga ikut mengejarnya. "Luthfi!" Ia pun berdiri di depan cowok jangkung itu, menghadang jalannya.

"Apaan sih?"

"Nanti mau jalan gak sama aku?"

Luthfi memutar matanya. "Lu suka sama gue? Maaf banget nih, gue lagi gak mau pacaran dulu ya. Thanks. Permisi."

Ia pun berlalu meninggalkan Cindy yang terkejap tidak percaya.

Tiara dan Gina menghampirinya.

"Tumben amat lu nembak orang dengan cara gitu," Tanya Tiara.

"Apa jangan-jangan lu beneran suka lagi sama si Luthfi?" Gina juga tak kalah heran.

"Menurut kalian Luthfi gimana? Ganteng ga? Kalo menurutku sih ganteng." Cindy menatap Gina dan Tiara bergantian.

"Wah, gilak! Lu bisa jatuh cinta juga ternyata, Cin," Gina mengguncang bahu Cindy.

"Tapi setahuku udah punya pacar deh," Tiara menerawang. Namun begitu ia mendapat lirikan tajam dari Cindy, Tiara pun cengengesan. "Semoga aja engga! Semoga aja belom punya. Hehehe...."

"Oke, gapapa kalau dia punya pacar. Kujamin bakal langsung putus! Dan Luthfi bakal klepek-klepek sama gue. Lihat aja nanti, Luthfi."

Sebuah kilatan amarah pun terpancar di bola mata Cindy.

🌹

Mata Arfian mengerjap perlahan. Hal pertama yang dilihatnya adalah Luthfi yang menatapnya khawatir sambil menggenggam tangannya. Ia pun menarik tubuhnya perlahan untuk duduk.

"Fi..." Panggil Arfian lemah. "Berapa lama aku pingsan?"

"Sekarang udah jam pulang, Ar..." Luthfi membantu Arfian untuk duduk.

Arfian pun menghela napas. "Sumpah, aku lemah banget, Fi. Aku gakpernah pingsan selama ini kan, Fi? Ini pertamakalinya aku pingsan sampe jam pulang sekolah...."

"Sssstt... sudah. Ayok pulang aja. Besok aku anterin aja deh, biar gak digangguin Danu lagi."

"Makasih, Fi..." Arfian tersenyum tulus.

Danu dan gengnya tepat melewati koridor UKS saat mereka keluar.

Arfian yang terkaget, segera berlindung di balik Luthfi. Badannya bergetar ketakutan.

"Eh, cecunguk! Mana 50 ribu nya??"

"Mau ngapain lu?" Ketus Luthfi membalas Danu.

"Kaga usah ikut-ikut lu! Ini bukan urusan lu!"

"Lu sendiri ngapain meras Arfian, hah?! Ngajak ribut lu?"

"Gua ga ada urusan sama lu ya. Sekarang minggir!"

"Enak aja. Mau ribut sama gue sini. Ga akan gue biarin Arfian lu bikin pingsan lagi!"

Arfian yang melihat Luthfi akan dikeroyok oleh Danu dan gengnya pun segera melerai. 

"Sudah, Luthfi! Ini 50 ribu yang lu minta, Danu," Si cowok kecil yang pucat itu pun menyodorkan selembar uang ke cowok lain yang bertubuh kekar. Dan setelah Danu merampasnya dari tangannya, Arfian pun segera menarik Luthfi berlari meninggalkan Danu.

Mereka berdua terus berlari di sepanjang jalan raya sampai cukup jauh dari lokasi sekolah mereka berada.

"Hah... hah... kok lu mau aja sih dipalakin si Danu? Mentang... hah... hah... mentang-mentang badan kek gorilla seenaknya jadi preman..." Gerutu Luthfi sambil terengah-engah mengatur napasnya.

Arfian tidak menjawab. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus menjawab apa.

🌹

"Cin! Yakin lo?!" Tiara membelalak tak percaya.

Cindy mengangguk yakin. "Gue yakin! Ini emang cara paling ampuh!"

"Waduh, tapi enggak gini juga kali..." Gina menimpali. "Lagipula lo itu udah cantik! Pasti banyak yang suka sama lo. Ngapain sih ngejar-ngejar yang enggak suka sama elo? Di luaran sana masih banyak kali yang mau ama lo."

"Tapi gue penasaran sama dia! Baru kali ini gue ditolak mentah-mentah sama orang." Cindy menghentakkan kakinya. "Gue udah mantep! Gue akan pakai cara ini."

Setelah berkata begitu Cindy pun berlalu meninggalkan kedua temannya. Di tangannya ia membawa sendok bekas makan Luthfi yang ia bungkus dengan plastik.

Kedua gadis yang lain saling berpandangan, lalu segera menyusulnya.

Mereka bertiga melangkahkan kaki melewati sebuah jalan setapak yang tak terawat. Jalan itu juga berlokasi cukup jauh dari jalan raya. Di sisinya hanya terlihat tanah lapang ditumbuhi rumput-rumput tinggi dan pepohonan pisang. Untungnya siang itu sangat terik sehingga mereka tak merasa parno atau ketakutan dengan kesunyian jalan pelosok tersebut.

Sampailah mereka di sebuah gubuk kecil di ujung jalan setapak berpaving yang buntu. Si gadis pun mengetuk pintunya.

"Permisi, Nek." Cindy mengucap salam.

Terdengarlah suara sayup-sayup dari seorang nenek yang berada di dalam gubuk. "Iya? Masuk."

Cindy pun membuka pintunya.

Gubuk itu kecil dan reyot. Hanya memiliki dua ruangan utama, ruang yang difungsikan untuk menyambut tamu dan ruangan yang difungsikan untuk kamar tidur. Di sisi belakang kamar tidurnya ada sebuah sekat untuk membatasi area yang digunakan untuk mandi.

Nenek itu mengenakan kebaya kutubaru berwarna ungu dan berbahan satin. Wajahnya terhias oleh makeup tebal dengan perona bibir yang begitu merah, meskipun kerutan keriput telah menggerogoti usianya. Rambutnya dicat hitam pekat, dan dibiarkannya menjuntai panjang, dengan hiasan berbagai bunga berkelopak besar sebagai mahkota rambutnya.

Beliau duduk di tengah ruangan penyambut tamu yang dialasi oleh dipan bambu selebar ruangan tersebut dan setinggi lutut. Di hadapannya ada sebuah bola kristal berwarna hitam pekat dan sebuah mangkuk dari tanah liat yang berisikan dupa yang terbakar menyala.

Meskipun siang hari ini sangatlah terik tanpa awan setitikpun, di dalam sini terlihat gelap dan pengap. Itu karena semua jendela di gubuk ini ditutup oleh kain berwarna hitam, dan sebagai gantinya, sebuah lampu bohlam kuning yang remang-remang menyinari gubuk ini.

Seberkas cahaya yang silau ikut melesak memenuhi ruangan begitu Cindy membuka pintunya.

"Selamat siang, Nek. Saya mau minta ajian." Cindy melepas sepatunya, diikuti kedua gadis yang lain.

"Silakan duduk, Nok." Sambut si Nenek dengan ramah.

"Iya Nek... Umm, teman saya boleh masuk?"

"Boleh, denok-denokku yang cantik. Masuk saja." Sang Nenek tersenyum lebar, tetapi karena penampilannya yang demikian, senyumnya malah terlihat sedikit mengerikan.

Ketiga gadis itu pun duduk bersimpuh di atas dipan bambu menghadap sang Nenek, dengan Cindy yang berada di tengah.

"Silakan ceritakan masalah apa yang menimpa denok."

"Umm... jadi begini Nek..."

Cindy pun berceloteh penjang lebar. Nenek itu menyimaknya dengan seksama.

"Oh, jadi begitu..." Sang Nenek mengangguk pelan setelah mendengarkan cerita Cindy. "Jadi denok ingin memikat hati seorang lelaki bernama Luthfi...."

Cindy mengangguk cepat.

"Hmm... kebetulan aku telah meramu suatu ramuan baru yang tidak perlu dimasukkan sesuatu dari target yang ingin dipikat, bahkan tumbal pun tidak perlu..."

Si gadis yang mendengar itu langsung berbinar. "Saya mau, Nek! Ramuan seperti apa itu?"

"Tapi sebelumnya aku mau tanya dulu, jadi denok ingin ajian yang mana? Mau ajian untuk memikat seorang saja atau yang menjadi menarik bagi banyak lelaki?"

Cindy menimbang-nimbang.

"Hmm.. yasudah, saya mau yang bisa memikat banyak orang saja deh, Nek! Tetapi benar kan tidak perlu tumbal apa-apa?"

"Tidak perlu. Karena ini hanya sekedar membuat orang tertarik untuk memandang denok saja. Kalau mau memikat hati seseorang kan orang itu bisa gila ketika denok tidak berada di dekatnya, nah kalau ini tidak sampai seperti itu. Bagaimana?"

"Hmm... oke Nek, tidak apa-apa."

Maka sang Nenek tersebut segera mempraktekkan ritualnya meramu sebuah ramuan. Tangannya mengambil salah satu bunga dari atas kepalanya, yaitu adalah bunga mawar merah, kemudian dimasukkan ke dalam pot tanah liat berisi dupa tersebut.

Setelah melakukan berbagai atraksi dan merapalkan berbagai mantra, ramuan tersebut pun telah selesai dibuat. Sang Nenek menciduk hasil dari ramuan yang berupa cairan tersebut ke dalam sebuah botol kecil, dan ditutupnya menggunakan spons padat.

"Ini adalah ajian baruku, Denok. Namanya Venomous Rose, atau Mawar Berbisa. Aku telah meramunya semaksimal mungkin agar tak perlu menggunakan sesuatu dari target yang ingin dipikat, karena ini pada dasarnya adalah untuk memikat setiap orang yang memandang, terutama laki-laki. Kamu akan menarik sekali bagi kaum laki-laki." Jelas Si Nenek sambil memberikan botol kaca sekecil genggaman tangan kepada Cindy.

Cindy menatap botol di tangannya. Cairan tersebut berwarna merah hati yang pekat, dengan butiran-butiran emas yang berkilau ketika tersinari cahaya. Mirip seperti cat kuku.

"Bagaimana cara pakainya, Nek?"

"Diminum. Cukup setetes saja bisa membuat denok jadi menarik selama beberapa minggu. Kemudian kalau dirasa denok tidak menjadi pusat perhatian lagi, denok bisa pakai lagi setetes. Yang penting jangan rakus. Jangan langsung dihabiskan."

Cindy mengangguk-angguk paham.

"Apakah ada pantangannya, Nek?"

"Tidak ada. Semua wanita yang sudah pubertas boleh memakainya. Asal jangan dipakaikan ke laki-laki saja."

"Mengapa begitu, Nek?"

"Karena hasilnya akan... lebih mengerikan." Nenek itu membelalakkan matanya ke arah para gadis, seakan menekankan bahwa perkataannya tersebut bukan main-main.

"Baik Nek, saya mengerti. Kalau sudah habis apakah saya boleh meminta ramuannya lagi?"

"Silakan saja, Nok. Mungkin pun ramuanku sudah lebih baik ketika denok datang lagi."

"Makasih banyak, Nek. Jadi semuanya berapa?"

Maka Cindy pun membayarnya, sebelum mereka bertiga berpamitan untuk pulang.

"Eh, Cin. Lo tau dari mana sih, ada tempat dukun kayak begini?"

"Gue pernah denger dari tante gue. Katanya sih beliau pernah pakai jasanya si dukun itu."

"Anjirlah ngeri amat yak tante lu..."

"Eh, tapi gue agak takut nih pakainya. Besok aja deh." Ujar Cindy sambil mengacungkan botol itu ke udara. Kemudian menerawang isinya.

🌹

Arfian dan Luthfi berpapasan dengan Cindy dkk saat menuju ke kantin siang itu.

"Eh, Luthfi. Hai, Fi..." Sapa Cindy ramah.

"Apa?" Luthfi membalas sekenanya, lalu langsung berlalu sambil menarik Arfian. Tetapi Cindy menahannya.

"Fi! Bentar dong, gue kan belom ngomong."

"Apaan??" Luthfi mendengus tak sabar. "Keburu laper gue."

"Nanti nonton sama aku mau ga?"

"Maaf, engga. Permisi."

Singkat, padat, dan jelas. Setelah itu Luthfi meninggalkan Arfian sendirian di meja kantin untuk memesankan makanan untuk mereka berdua.

Cindy dan gengnya ikut duduk di dekat Arfian, berniat menunggu Luthfi juga.

Mendapati Arfian tengah memperhatikannya, si gadis pun melirik sewot.

"Apa lu? Gue gak tertarik sama elu ya."

Arfian terkikik sekilas.

"Eh, ketawa ni anak! Lihat diri lo sendiri. Kecil, kurus, pucet, muka doang imut, tapi sama aja malah kek muka cewek."

Tiara dan Gina terkesiap. Menurut mereka perkataan itu sedikit... keterlaluan.

Dan benar saja... raut wajah Arfian sontak berubah. Ia terdiam seribu bahasa. Mukanya ditundukkan sambil memainkan kain celana seragam sekolahnya.

Tapi dalam hati Arfian, ia ikut mengutuk diri sendiri juga. Kenapa ia tak mampu membalas perkataan Cindy?

Beberapa saat kemudian Luthfi pun datang membawa dua buah mangkuk di kedua tangannya. Namun ketika ia lihat Arfian yang tertunduk menahan tangis dan Cindy yang menatap tajam ke arah cowok itu, Luthfi pun sontak bertanya pada si gadis.

"Eh Cin, Arfian lu apain?"

"Gaada, gaada apa-apa." Cindy menggeleng cepat.

"Gue gak percaya. Mending lo minggir aja deh, lo gak lihat mukanya si Arfian habis lu apa-apain?"

"Tapi... Fi...."

"Minggir. Atau kita yang minggir." Tekan Luthfi.

Tiara yang pertama bangun dari duduknya, disusul Gina. Kedua gadis pun serempak menarik-narik Cindy untuk pergi. Mereka tak ingin salah paham ini meluas. Jadi mereka merasa lebih baik menjauh saja.

Cindy ogah-ogahan, tapi akhirnya pergi juga.

"Kok si Luthfi protektif banget yak sama si Arfian? Apa jangan-jangan mereka homoan kali yak?" Ujarnya sambil melipat tangan ke dada. Tetap dengan cara berjalan yang sengaja dilenggak-lenggokkan seperti biasanya ia lakukan.

Tiara menepuk jidatnya. "Waduh! Udah deh Cin. Gue kira lu cuma tebar pesona doang. Jadi takut gue kalo lu tiba-tiba jadi fanatik juga."

"Hehe... tenang aja. Kan gue udah punya mustika ajaib."

🌹

Saat bel pulang berbunyi, Luthfi meminta Arfian untuk menungguinya di depan sekolah sembari Luthfi mengambil motornya di parkiran dekat sekolah mereka. Maka Arfian pun membeli jajanan di depan sekolah.

Usai menyantap jajanan yang ia beli, seseorang yang jadi mimpi buruknya pun datang lagi. Trio preman sekolah bertubuh kekar yakni Danu, Aji, dan Tian.

Tubuhnya sedikit bergetar namun ia mencoba untuk bersikap biasa. Ia memilih pura-pura tidak memperhatikan dan cepat-cepat menghabiskan jajanannya agar tidak diminta Danu. Untungnya ia datang tepat saat suapan terakhir Arfian tersantap. Arfian pun langsung membuang bungkus plastiknya ke tong sampah.

"Enak banget nih." Danu berbasa-basi.

Arfian mengerling sekilas.

"Udah kemaren main kabur, eh sekarang enak-enak jajan."

Arfian terus mencoba tak bergeming.

"Mana si bodyguard lu? Tumben gak kelihatan?"

Arfian tetap diam.

"Denger gak sih lu?!" Tangan kekarnya menarik kerah baju Arfian hingga terangkat dari duduknya, membuatnya menjajari tinggi wajah Danu.

Tanpa menunggu respon Arfian lagi, Danu segera menyeret tangannya ke toilet terdekat dari gerbang utama. Ia lalu masuk ke toilet perempuan dan membuka salah satu biliknya.

"Jadi lu mau jual mahal ke gue? Oke! Gue bakal bikin lu mahal banget sampe-sampe lu gak akan bisa ditemuin orang!"

Dengan hentakan keras ia mendorong Arfian ke dalam salah satu bilik toilet perempuan tersebut, dan segera menguncinya dari luar.

Toilet perempuan ini walaupun lokasinya dekat dengan jalan menuju keluar area sekolah, entah kenapa begitu masuk suasananya sungguh berbeda dengan di luar. Suara hiruk pikuk jam pulang sekolah justru terdengar samar-samar dari dalam sini. Apalagi penerangannya juga hanya sebuah lampu remang-remang di tengah area toilet tanpa satupun ventilasi. Dan mungkin seberapa keras Arfian berteriak minta tolong sambil menggedor-gedor pintu, tak ada yang benar-benar mendengarnya.

Danu sungguh kejam... ia sengaja menguncinya di bilik toilet perempuan paling belakang yang tak tertembus suara, juga susah mendapatkan sinyal ponsel...

Arfian tanpa sadar menangis. Ia juga membenci dirinya snediri yang terlalu lemah sebagai laki-laki. Setidaknya, itu jadi membuatnya memiliki suatu tekad untuk membalas perbuatan Danu.

Ya. Dia akan balas dendam suatu saat nanti. Nanti saja memikirkan caranya. Yang penting ia nekad dulu.

Entah sudah berapa lama yang ia sendiri merasa seperti tidur-tidur ayam, beberapa sayup suara masuk ke dalam toilet. Seperti beberapa orang tengah bercakap-cakap.

Arfian mengerjapkan matanya. Mencoba memfokuskan proses otaknya dalam menangkap suara, dan memastikan kalau itu bukan di dalam mimpinya.

"Cin, beneran mau lu pakai?"

"Ya iyalah! Udah beli mahal-mahal jugak."

"Aduh sumpah deh Cin, lu tuh nekad banget. Lu itu udah cantik Cindy sayangku... gak usah pakai gitu-gituan segala."

"Iya tuh Cin. Ntar kalau lu kenapa-kenapa gimana? Kan gaada yang bisa ngejamin kalau barang beginian aman dipake."

"Dihh kalian tuh deh! Gue jadi parno kan..."

"Yaudah makanya gausah aja."

"Ihh malah tambah ngelarang. Diem dulu ngapa, kan gue cuma nyoba, kalau gak berkerja dengan baik yaudah enggak gue terusin."

Benar, ini bukan mimpi! Ada orang masuk ke sini juga.

Dengan perlahan Arfian pun mengetuk pintu bilik dari dalam. "Maaf, ada orang?"

Seketika ketiga gadis mematung dengan ngeri.

"Ehm... maaf kak, aku kekunci di dalem. Bisa minta tolong bukain?"

Untuk sesaat ketiga gadis saling berpandangan, kemudian Tiara membalasnya.

"Siapa? Oke, sebentar ya."

"...i-iya kak..."

Siswi cantik berjilbab itu pun menarik tuas kunci, lalu mendorong pintu bilik perlahan.

Tampaklah seorang siswa yang benar-benar diluar perkiraan mereka. Arfian!

Seketika napas mereka tercekat.

"Kok... kamu bisa kekunci di dalem toilet cewek?" Tanya Gina beberapa saat kemudian.

"Engg... Danu, kak. Aku dikunci di dalem sama Danu." Arfian menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Danu? Si... urakan itu..." Gina berkata kepada dua teman gadisnya yang lain.

"Iya kak... te-terimakasih banyak kak... aku mau pamit..." Arfian pun melangkahkan kakinya pelan, hendak melewati para gadis yang berdiri di dekat pintu utama toilet.

Tiba-tiba Cindy terpikirkan sesuatu.

"Eh, bentar deh!" Ujar Cindy sambil menahan lengan Arfian.

"Iya, kak?"

"Lu pasti tadi ngedengerin omongan kita, kan?"

Arfian tercekat. "Engg... enggak kak..."

"Jangan bohong lu! Gak mungkin elu gak denger!"

Yang lain ikut menimpali, "Iya nih, apalagi elu deket sama Luthfi, pasti elu bakal ngadu kan ke dia?!"

"Maaf kak... enggak kak, ampun, aku enggak akan ngadu..."

"Gak mungkin elu gak akan ngadu! Elu kan kemana-mana lengket mulu ama si Luthfi. Awas lu ya, gue kasih pelajaran buat lu..."

Maka Arfian pun terpojokkan lagi. Kali ini oleh tiga orang gadis.

Gejolak amarah telah memuncak dalam suhu tubuh Cindy. Ia tak bisa membendungnya lagi. "Elu mau tau ini apa?? Oke, gue persilakan lu untuk pakai duluan. Kebetulan gue sendiri belum pakai mustika ini... jadi sekalian gue mau tau gimana reaksinya saat seseorang minum ini..."

Ia mengacungkan botol kecil itu tepat di depan mata Arfian. Sedangkan Arfian yang tidak mengetahui apa-apa, hanya bisa membelalak ngeri.

"Guys, pegangin dia." Perintah Cindy.

Tiara dan Gina sontak menahan masing-masing tangan Arfian. Posisi tubuhnya pun mereka buat berlutut sedemikian rupa agar kakinya tak melawan.

Setelah itu Cindy mengapit pipi Arfian dengan satu tangan. Ia menekan jari-jari tangannya ke kedua pipi Arfian agar mulutnya membuka.

"Cobain yah... gue penasaran gimana rasanya." Katanya sambil membuka tutup spons botol tersebut sampai berbunyi 'plop'.

Entah apa yang merasuki Cindy, gadis itu bukannya menuang setetes cairan tersebut, ia malah menuangnya banyak. Sangat banyak. Sepertinya semua ia tuangkan ke mulut Arfian.

"Eh, Cindy!! Cukup setetes aja! Apa yang lu lakuin?!" Pekik Gina.

Namun Cindy tak menggubrisnya. Amarah benar-benar telah menguasainya.

Arfian memejamkan matanya rapat-rapat tatkala cairan tersebut melesak ke rongga mulutnya. Cairan itu wangi, sewangi bunga mawar. Namun bukan wangi yang tepat untuk jenis benda yang bisa dimakan. Maka tenggorokan Arfian pun dengan cepat menolak benda asing tersebut.

Ia tersedak hebat, sampai-sampai belenggu gadis-gadis di kedua tangannya terlepas. Ia terus membatukkan cairan tersebut keluar dari dalam tubuhnya. Kedua tangannya hanya bisa membantunya mencengkeram lehernya sendiri, sementara kakinya menendang-nendang ke segala arah.

Tiara dan Gina segera berdiri dan bergabung bersama Cindy. Mereka bertiga mundur perlahan, tetap mematung dengan ngeri memandang reaksi yang ditimbulkan ketika seseorang meminum ramuan mawar berbisa buatan Nenek Dukun tersebut.

Arfian terus tersedak-sedak tanpa henti. Pandangannya berkunang-kunang, yang membuatnya menyaksikan batang-batang tanaman mawar perlahan tumbuh dari seluruh sudut toilet perempuan. Dari garis-garis lantai, atas dinding, langit-langit, nampak sulur-sulur berduri dari tanaman mawar mencuat dan menuju ke arahnya. Namun yang paling membuatnya ngeri adalah sulur yang paling besar di antara semuanya. Sulur itu datangnya dari sebuah mawar berwarna merah pekat berukuran raksasa tepat di hadapannya.

Arfian dengan tangan yang sangat bergetar menunjuk sulur itu. "Apa itu?? Singkirkan dariku!! Jangan dekati aku...!"

Ketiga gadis ikut menoleh ke sekeliling toilet. Tidak ada apa-apa di toilet tersebut. Semuanya bersih.

Namun Arfian terlihat sangat tersiksa dengan tangannya yang sibuk tergerak di sekujur tubuhnya, seperti menyingkirkan sesuatu yang tak kasat mata.

Rupanya semua itu merupakan ilusi bagi Arfian.

Masih berjuang dengan ramuan aneh yang entah kenapa semakin melesak ke organ pencernaannya tak peduli seberapa keras ia memuntahkannya, sulur raksasa itu berhasil meraih ujung kakinya. Terus merayap hingga melilit tubuhnya. Duri-durinya tertancap ke dalam kulit Arfian, membuatnya menjerit sejadi-jadinya.

"AAAAAAARGGHHHH!!!"

Cindy, Tiara dan Gina yang terkejut ikut memekik, kemudian langsung berlari terbirit-birit meninggalkan Arfian sejauh mungkin.

Mereka terus berlari meninggalkan gerbang utama sekolah. Saking ngerinya bahkan ketika mereka berpapasan dengan Luthfi yang berada di atas motornya pun, mereka tak menggubrisnya.

Luthfi mengernyit heran menatap gadis-gadis yang nampak tergesa-gesa, namun kemudian meneruskan kegiatannya lagi menghubungi ponsel Arfian. Lagi-lagi tak ada jawaban, setelah sekian kalinya.

"Aduh! Kenapa malah ngilang si Arfian."

Ia turun dari motornya dan masuk ke area sekolah, berniat menyusul Arfian.

Di lain tempat, Cindy yang habis berlarian berusaha mengatur napasnya.

"Kalian inget gak kata si Nenek Dukun yang bilang kalo yang minum cowok bakal jadi mengerikan?"

"Ya iyalah mengerikan, elu gak berperasaan sih ngasihnya. Elu tuang semua gitu, jelas tersedak lah dia."

"Eh, Cin. Apa sebaiknya kita balik lagi ke Nenek itu?"

"Hah?! Enggak lah. Yang ada gue malah dimarahin nanti gegara menyalahgunakan. Ntar aja lah, beberapa minggu lagi baru kita datang lagi."

🌹

Setelah melewati saat-saat menyiksa bak sakaratul maut tersebut, Arfian akhirnya bisa bernapas lega. Dalam sekejap semua halusinasinya menghilang, ia pun bisa bangkit lagi.

Cowok itu memeriksa sekujur tubuhnya sendiri. Bajunya lusuh dan penuh keringat, namun anehnya, tak ada bekas apa-apa di seluruh tubuhnya. Bersih. Sakit di tenggorokannya yang ditimbulkan oleh wangi dari cairan tersebut pun tidak terasa lagi. Hilang tak bersisa. Satu-satunya yang ia rasakan saat ini adalah kedua matanya yang sedikit perih, serta napasnya yang sedikit terengah. Ia pun menggosok matanya yang gatal dan perih tersebut.

Saat menggosok matanya, tiba-tiba beberapa kelebat bayangan asing membias dalam pikirannya.

Cairan seperti tinta merah menetes ke dalam air putih. 

Sebuah kelopak mawar yang jatuh dari tangkainya. 

Sesosok wanita cantik yang memejamkan mata. 

Angin berhembus.

Pergelangan tangan yang diborgol oleh tangkai berduri.

Suara desahan.

Berlangsung hanya selama sepersekian detik.

Arfian terlonjak dan segera berdiri.

Ia bahkan bisa berdiri dengan cepat tanpa merasa sakit apa-apa.

Apa itu tadi?

Kemudian matanya menangkap sebuah benda kecil di sudut toilet. Botol kecil yang tadi Cindy gunakan untuk mencecoki Arfian. Ia pun meraih botol itu. Isinya masih setengah, yang tak bisa keluar sebab diameter mulut botol yang tak cukup lebar untuk cairan kental tersebut menetes keluar.

Ditutupnya lagi benda itu dan digenggamnya erat. Arfian sudah lelah jadi korban bully! Ia pasti akan membalasnya! Tunggu saja kau, Cindy!!

Perlahan ia keluar dari toilet tersebut. Diikuti oleh keajaiban indah yang sangat diharapkannya. Luthfi tepat menuju ke arahnya!

Pemuda jangkung itu sedikit tergesa menghampirinya.

"Kok lama sih? Elu gakpapa Ar?"

Arfian tersenyum pahit. "Aku... tadi... Eh, gakpapa. Aku... pingsan di kamar mandi."

"Kok bisa??"

"Engg... aku didorong sama Danu."

Luthfi menghela napas gusar.

"Maaf... harusnya gak gue tinggal tadi. Mananya yang sakit?"

"Udah gakpapa Fi. Ehm... aku gak kenapa-kenapa kok." Jawab Arfian yang juga heran karena tak ada rasa sakit yang bersisa dari sewaktu di toilet barusan.

Entah kenapa Arfian juga tak merasa ingin menceritakan soal perlakuan Cindy dan segala yang dialaminya barusan kepada Luthfi.

"Yaudah, yuk pulang."

"Yuk."

Tanpa disadari, sebuah nasib yang berbanding terbalik dengan nasibnya semula telah menunggu di depan matanya. Arfian, siap tidak siap, harus menghadapi takdir yang bisa dibilang sial sekaligus beruntung nantinya berkat sebuah mustika bernama Venomous Rose.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status