"Oh ya, Pak Adit kenapa nggak datang malah mengutus kamu calon istrinya?" tanya Pak Gading heran, mungkin hanya mengenalku sebagai calon istri Pak Adit. "Pak Adit nggak bisa datang karena ada rapat. Saya sebagai asisten Pak Adit sudah mendapat mandat dari beliau untuk membahas hal perusahaan dengan anda," jawabku tegas. Ya, aku harus bisa menunjukkan wibawa seorang asisten Bos besar. Pak Gading yang awalnya ragu kemudian menghela napas. Dia juga menyerahkan sebuah map, aku mencoba membaca dan mempelajari. Aku mengerinyitkan dahi. "Apa perusahaan anda sudah separah ini?" "Ya, karena itu saya meminta bantuan pada Pak Adit untuk memberi pinjaman modal sebesar sepuluh milyar," jawab Pak Gading tertunduk lesu. "Tapi, kami nggak bisa mempercayai anda begitu saja, Pak!" ujarku menolak. Kini saatnya aku membalikkan ucapannya padaku dulu. "Kenapa? Bukankah modal segitu gampang buat Pak Adit?" tanyanya heran. "Memang gampang, tapi kami nggak percaya begitu saja pada anda. Jadi, maaf kam
"Gimana hasilnya?" tanya Pak Adit setelah aku tiba di kantor. Senyumku mengembang dan duduk di sofa merebahkan tubuh. Pak Adit yang baru siap rapat juga sedang bersantai, lalu berjalan dan duduk di depanku. Aku pun menceritakan dari awal hingga akhir. Tidak tahu apakah Pak Adit menerima sikap dan keputusanku tersebut, karena beliau cuma mengangguk saja. Sambil berpangku kaki dan bersedekap tangan, Pak Adit merenung sejenak. "Apa Pak Adit setuju dengan negoisasi Ayu dengan Pak Gading?" tanyaku harap-harap cemas. "Walaupun seharusnya kamu nggak perlu menyamakan dengan kejadian dulu, tapi itu sudah bagus! Yang penting ada bukti untuk menyelesaikan masalah perusahaan Pak Gading. Saya yakin Pak Gading nggak perlu meminjam dari saya lagi," jawab Pak Adit percaya diri. Lega hatiku mendengar perkataan Pak Adit. Ya siapa tau setelah Pak Gading bisa menyelesaikan masalah, uang itu bisa kembali padanya lagi. Dengan begitu tidak merepotkan Pak Adit. "Kita tunggu saja kabar dari Pak Gading b
"Banyak loh kisah cinta antara Bos dengan asisten atau sekretarisnya. Tapi kulihat, Pak Adit lebih suka kamu daripada sekretarisnya," kilah Desi masih kukuh. Aku menghembuskan napas, sebenarnya aku juga ingin seperti di kisah itu. Tapi, selama Pak Adit tidak mengatakan perasaannya ya aku anggap saja hubungan kami cuma sebatas pekerjaan. Capek kaki berkeliling, aku mengajak Desi duduk di taman dekat perusahaan. Sore gini banyak orang dan pasangan yang sedang menikmati sore di taman. Ada yang sedang bercakap, bermain dan juga olahraga. *** Sesuai janji, aku akan datang ke perusahaan Pak Gading. Untuk menagih syarat yang akan dipenuhi oleh Bos barang impor itu. Aku juga sudah mengatakan pada Desi, dia menyambut senang dengan kedatangan ku. Saat Desi mengajakku ke ruangannya, teman lama yang berpapasan denganku terlihat aneh. Bahkan dari bisikan mereka terdengar ngilu. "Lihat, si Ayu itu ngapain lagi kesini? Apa dia mau melamar kerja lagi disini?" "Entah, kalo aku sih mana mau! Mal
Berita penangkapan Terry dan geng segera viral dan masuk TV. Bahkan ada yang menyiarkan dari internet, mungkin diam-diam karyawan perusahaan Pak Gading merekam kejadian tersebut. Aku menyaksikan dari ponsel karena tidak ada televisi di rumah. Terry menutup wajahnya saat di gelandang polisi. Saat Polisi memberikan keterangan di lapas pada wartawan, membeberkan kejahatan Terry dan komplotannya. Menurut Pak Gading, sidang akan berjalan Minggu depan. Beliau memintaku dan Pak Adit untuk hadir menyaksikan. Aku belum mengkonfirmasi soal ini pada Pak Adit, karena beliau pasti enggan untuk terseret dalam kasus itu. "Gimana, Pak Adit mau hadir dalam persidangan?" tanyaku saat berada dalam kantor. "Saya nggak mau, kamu aja yang datang. Minta temani Desi, jangan sendirian," perintah Pak Adit. "Baik, Pak! Saya akan mengabari Desi nanti," kataku lalu mencatat hal penting dalam buku. Tok, tok, tok Terdengar pintu diketuk, "Masuk!" seru Pak Adit. Sekretaris membuka pintu lalu memberi hormat.
Sidang kasus Terry atas penggelapan uang dan barang akhirnya digelar. Ditemani Desi aku hadir dan duduk dibarisan saksi. Tampak hadir Om Haris dan Tante Mona juga yang membuatku tak percaya mantan mertua dan mantan suami serta istri barunya. Saat mereka semua melihatku juga tak kalah kaget. Namun, aku hanya diam saja sambil memberi senyum. Mantan mertua dan Maya mencibir membalas senyumku. Tidak dengan Mas Lucky yang terus menatapku. Maya yang tau dengan sikap suaminya menjadi kesal dan menyenggol Mas Lucky. Lelaki yang dulu pernah menyematkan cincin di jariku hanya kikuk lalu menoleh ke arah Maya. Sidang dimulai, masing-masing pengacara kedua pihak memberi argumen. Terry mendapatkan pengacara pasti Pak Haris yang menyewa dengan pinjaman uang Pak Adit. Aku hanya kasihan melihat keadaan mereka. Akhirnya setelah mendengar semua argumen, JPU dari Kejaksaan Negeri menuntut Terry hukuman lima tahun penjara. Hakim menerangkan beberapa pasal diantaranya: Pasal 374Penggelapan yang di
Kasus Pak Gading akhirnya mereda dan lama-kelamaan tenggelam. Semua orang sudah dapat jatah ujian hidup masing-masing. Pak Gading akhirnya bisa mendapatkan kembali uangnya dan perusahaannya bisa berjalan lagi. Sedangkan perusahaan Pak Haris yang jatuh ke tangan Pak Adit pun sudah berjalan. Pak Adit menunjuk dan mengangkat staf dari pusat untuk mengurusnya. Lalu bagaimana dengan diriku? Masih tetap sebagai asisten Pak Adit sambil terus belajar. Pak Adit sering mengajak bertemu klien hingga beberapa bos sudah mengenal diriku. Pekerjaanku pun semakin stabil di kantor. Hingga suatu hari, kejadian yang tak disangka aku alami. Pagi itu seperti biasa aku datang kerumah Pak Adit, lalu saat mengetuk pintu muncul sosok wanita modis. Menatapku kaget karena langit masih gelap sudah bertamu. "Kamu siapa?" tanyanya heran. "Saya asisten Pak Adit, Bu! Saya kerja disini," jawabku sopan. "Asisten? Maksud kamu pembantu gitu? Kenapa Adit nggak ada cerita," katanya belum percaya. "Kalo gitu apa saya
"Mama bilang nggak ya nggak! Pembantu itu makanya di belakang bukan dengan majikan. Ngerti kamu, Ayu!" hardik Tante Ria. Aku mengangguk dan senyum kecut saat menatap Pak Adit yang juga tak percaya Mamanya akan seperti itu. Dari sorot matanya, Pak Adit ingin meminta maaf atas sikap Mamanya. Aku hanya diam tak tau harus buat apa. "Pak! Kalo gitu, Ayu ke atas dulu menyiapkan baju," ijinku lalu Pak Adit mengangguk. "Eh, saya kan udah bilang tadi jangan ke atas. Kamu ngeyel ya!" pekik Tante Ria melarang. "Ma, itu udah tugas Ayu tiap hari. Mama jangan larang Ayu!" balas Pak Adit membelaku. "Nanti dia mengambil barang kita diam-diam seperti pembantu yang dulu. Lagian kamu kan bisa mengambil baju sendiri seperti biasanya," kukuh Tante Ria tetap tak setuju. Pak Adit terlihat gusar, aku masih berdiri menunggu keputusan Pak Adit. Tanpa di duga, Pak Adit berdiri lalu mengajakku naik bersama. "Ayo, kita keatas!" "Adit, kamu kok ninggalin Mama makan sendiri. Jangan karena pembantu itu membu
Tiba di kantor, Pak Adit yang baru masuk disuguhi laporan dari sekretaris. Dewi memberikan beberapa map, kemudian keluar. Aku yang sedang mengganti baju kantor di ruangan pribadi Pak Adit pun keluar. "Ada pekerjaan apa hari ini, Pak?" tanyaku lalu duduk berhadapan. Pak Adit yang masih serius memeriksa dokumen, belum menjawab. Aku menunggu sambil menyiapkan buku dan pulpen untuk mencatat hal penting. Pak Adit terlihat mengerutkan keningnya. "Ada apa, Pak?" tanyaku heran. "Ada perusahaan asing yang ingin bekerjasama." "Wah, bagus itu Pak!" pekik ku senang. "Tapi, skalanya terlalu besar. Saya blom berani memutuskan," jawab Pak Adit. "Memangnya mengenai apa?" tanyaku ingin tau. "Perusahaan asing itu ingin kerjasama dengan kita membangun sebuah pusat perbelanjaan. Selain modal yang besar, kita juga membutuhkan ijin pemerintah setempat untuk meminta surat izin mendirikan bangunan," jelas Pak Adit. "Apa sulit untuk dapat surat IMB itu, Pak?" "Tentu saja banyak kendalanya, salah satu