Aku tersenyum mencoba bersikap ramah. "Tante Fitri, ada apa pagi-pagi kesini?" tanyaku. "Halah, nggak usah pura-pura kamu Ayu! Kamu pasti sudah merayu suamiku agar memberikan perusahaan ini padamu kan!" kata Tante Fitri dengan keras. Tanpa tendealing, Tante Fitri langsung mengamuk. Aku yang merasa malu dilihat banyak orang pun mengajak Tante masuk ke kantor untuk berbicara baik-baik. "Tante, bisa kita bicara di kantor? Agar nggak mengganggu yang lain bekerja," ajak ku sambil melangkah. Akan tetapi, langkahku di cekal. "Kenapa? Kamu malu kalo yang lain tau bahwa sebenarnya kamu orang miskin yang sudah merayu suami orang, hah!" hardiknya. Mendengar suara Tante Fitri mulai banyak pasang mata yang melihatnya. Aku bukannya malu terhadap diriku tapi malu dengan kelakuan Tante Fitri. Bisa saja aku memanggil satpam untuk menyeretnya keluar tapi selama masih berhubungan dengan Om Seno, aku pun harus sabar. Setidaknya menjaga image baik Om Seno didepan orang. "Terserah Tante mau bilang ap
"Dasar pencuri! Sana pergi, bawa ibumu yang miskin itu keluar dari rumah ini!" hardik Ratna, mertuaku yang sombong. "Besan, sungguh saya nggak mencuri kalung. Dari tadi saya ada di belakang bersama Inem," ungkap ibu cemas. "Nggak usah bohong kamu, dari awal saya nggak suka dan nggak percaya kamu masuk ke rumah ini. Ayo, ambil dan buka tas kamu!" hardik mertua. Aku yang melihat ibu diseret mertua segera mencegah dan melerai mereka. "Ma, apa yang Mama lakukan pada ibuku?" "Tanya aja sama ibu kamu!" "Yu, Ibu nggak tau! Ibu nggak ada mencuri kalung besan, sungguh nggak melakukannya," isak ibu menangis. Aku memeluk Ibu, kasihan. Kenapa mertuaku semakin beringas, tanpa rasa belas kasihan sama sekali. "Sudah, Tante! Kita periksa aja tasnya biar lihat langsung," hasut Maya mengompori mertua. Aku menatap tajam Maya, dia orang luar tapi seenaknya saja ikut campur. Mertua lalu merampas tas dan membuka isinya dengan kasar. Lalu saat mengeluarkan tangannya bersamaan dengan kalung yang dic
Bab 2 : Menyimpan bukti rekaman "Apa kamu bilang, Yu? Seenaknya aja kamu main lapor," sergah mertua tidak terima. "Ya, seharusnya Maya dan Mama ditangkap. Maya yang sudah memfitnah dan sebagai pelaku pencurian serta Mama yang sudah menyeret serta menendang ibuku sampai luka. Rekaman itu cukup untuk memasukkan kalian ke penjara," jeritku menantang mereka. Maya dan mertua serta Mas Lucky menciut nyalinya. Mereka yang awalnya angkuh dan zolim terlihat lemas dan tak berdaya. Mereka semua terdiam cukup lama seraya saling memandang satu sama lain tanpa bicara. "Ayu, begini aja! Kita lupakan aja masalah ini. Mama akan maafkan ibumu dan nggak mengusirnya tapi terserah ibumu masih mau tinggal di sini atau nggak!" ucap mertua akhirnya angkat bicara dan melunak. "Iya, Yu! Jangan laporkan Mama ya sayang. Mama sudah tua apa kamu nggak kasihan padanya," rayu Mas Lucky memegang tanganku. Aku menatap aneh pada Mas Lucky, selama ini tidak pernah memanggilku sayang. Akan tetapi, demi merayu agar
Bab 3 : Tamu spesial"Apanya yang nggak ada? Apa Mas mau melihat siapa yang jadi maling sebenarnya? Yakin Mas nggak terkejut nanti atau Mas udah tau?" tanyaku menjebaknya. "Eh, eng-nggak kok! Mungkin memang benar rusak. Ya udah, nggak usah dibahas lagi. Mas mau mandi dulu," katanya sambil masuk ke kamar mandi. Aku tertawa dalam hati, terus sajalah kamu membohongiku Mas. Satu bukti sudah ada di tanganku, tinggal mencari bukti perselingkuhan kalian. Sengaja aku masih menyuruh ibu tinggal di sini untuk memuluskan rencanaku. Ya, aku punya rencana untuk menghancurkan mereka. Jangan mereka pikir selama ini aku diam mengalah itu karena takut. Aku hanya mencari waktu yang tepat dan ibulah yang membuat rencanaku berjalan. Mas Lucky tidak pernah tau siapa aku sebenarnya. Karena sebelum menikah aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Namun, baru beberapa bulan bekerja karena fitnah seseorang membuatku dipecat. Setelah dipecat, aku membantu ibu berjualan
Bab 4 : Kehilangan barang "Mas nggak menonton TV?" tanyaku. Mas Lucky yang baru saja masuk kaget melihatku. Lalu dengan pura-pura menguap melanjutkan langkahnya menuju kamar. "Nggak, Mas mau tidur udah ngantuk! Kamu nggak tidur?" tanyanya balik. "Ayu blom ngantuk, ya udah Mas dulu tidur sana!" ucapku bohong lalu menoleh kembali ke TV. Padahal aku penasaran kemana tadi Mas Lucky keluar setelah sholat. Lima menit, sepuluh menit hingga setengah jam sengaja aku menunggu agar Mas Lucky tertidur. Masuk ke kamar, aku pura-pura akan tidur dan mengetes Mas Lucky. Menggoyang tubuhnya tapi Mas Lucky tidak bangun juga. Segera aku sambar kunci mobil di meja dan menutup pintu kamar dengan pelan. Tiba di garasi, memasukkan kunci lalu pintu mobil terbuka gegas aku masuk ke dalam. Mengambil kotak coklat dan membukanya dengan berdebar. Lalu saat melihat isinya, aku terkejut dan mulut mendadak kelu. Kotak besar itu berisi pakaian seksi wanita, sebuah lingerie hitam. Begitu cantik dipadu celana da
Bab 5 : Pengakuan "Sudah dapat blom, Ky?" tanya mertua berjalan mendekat. Mas Lucky menggeleng frustasi, lalu mertua menatap ibu tajam. "Pasti ibu Ayu yang mengambilnya!" Spontan ibu terkejut bila kejadian kemarin terulang kembali. "Tunggu, sebenarnya apa yang kalian cari sampai menuduh ibuku?" kataku berpura-pura marah. "Mas kehilangan barang di mobil dan itu sangat penting buat Mas," jawab Mas Lucky berang. "Mas, apa kamu nggak lihat kalo ibu aja susah berjalan bagaimana mungkin bisa mengambil barang di mobil. Lagian kunci mobil 'kan Mas yang simpan. Sebenarnya barang apa sih?" Aku terus merongrong agar Mas Lucky mau bicara.Mas Lucky tetap tidak mau jawab, aku akan menjebaknya. "Apa barang itu untuk Maya?" tanyaku ketus. "Bu-bukan! Ya udah kalo kamu nggak tau," ujar Mas Lucky. "Tunggu, Ky! Sebaiknya kita geledah kamar ibu Ayu," seru mertua sukses membuat mata ibu membulat sempurna. Sedangkan Bi Inem yang berdiri di sudut dapur mulai gemetar. "Mas, jangan sampai kamu masuk k
"Maafkan Ayu, Bu! Kalo suatu saat nanti kita nggak berada di rumah ini lagi?" "Maksud kamu?" tanya Ibu tak mengerti. "Ibu masih ingat kan wanita yang kemarin udah memfitnah Ibu?" tanyaku menatap Ibu dalam. "Ya, memang kenapa dengan dia?" "Wanita itu yang akan menjadi istri kedua Mas Lucky, Ayu nggak menyangka Bu kalo Mas Lucky mengkhianati Ayu. Dia udah nggak cinta Ayu lagi!" ujarku sesenggukan. Ibu lalu iba dan memeluk, dielusnya punggungku lembut. "Ayu, Ibu udah tau walaupun kamu nggak ngomong apa-apa. Dari perilaku mereka semua itu sudah menampakkan mereka nggak suka sama kita. Jadi, mau kamu bagaimana Ibu akan tetap mendukungmu." Aku terharu mendengarnya, ah Ibu ternyata dirimu peka dan terus memberi semangat. Oleh karena itu membuatku semakin sayang dan ingin memberi kebahagiaan pada Ibu. Diusianya yang sudah tua aku harus mengurusnya dengan baik. Tetapi bagaimana? Aku belum menemukan caranya. Kalo pergi sekarang juga bisa saja tapi aku tidak mau balik ke kampung lagi. Lag
"Sudah sana pergi jangan kebanyakan bacot, ambil tas kalian dan pergi dari sini!" hardik mantan mertua dengan kasar mendorongku. Aku membawa Ibu ke kamarnya untuk mengambil tas. Bi Inem menangis melihat kami akan pergi. "Non, mau kemana?" tanyanya sedih. "Bi, Ayu sudah ditalak Mas Lucky jadi sekarang juga kami akan pergi! Bibi harus jaga kesehatan dan baik-baik disini," kataku sambil memeluknya. Sedikit tidak rela meninggalkan Bi Inem. Tetapi dia dan aku harus melanjutkan hidup masing-masing. Aku janji dalam hati kalo suatu saat nanti kaya aku akan mencari Bi Inem. "Non, gimana cincin itu?" ujar Bu Inem berbisik. "Bibi simpen dulu, besok saat Bibi akan belanja ke pasar Bibi bawa dan kita ketemu disana. Kalo Ayu bawa sekarang ntar mereka akan menggeledahnya lagi," titah ku, Bi Inem mengangguk mengerti. Selesai membereskan tas Ibu, aku melanjutkan ke kamarku. Tidak banyak barang yang kubawa, hanya baju tanpa perhiasan. Ya perhiasan yang aku punya hanya cincin nikah. Sebelum keluar