Share

05 | Hari Pernikahan

Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata. 

Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu.

"Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.

Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang.

"Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.

Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika ucapanmu sampai di telinga penyelenggara pesta, kamu mungkin akan diusir."

"Untuk apa aku takut? Apa yang aku katakan itu benar. Perempuan itu tidak pantas ada di podium. Dia hanya perempuan murahan, dia-"

"Ehem!"

Marissa berhenti bicara, dia dan teman-temannya menoleh ke belakang. Tepat pada seorang pria yang baru saja mengeluarkan deheman yang menginterupsi pembicaraan mereka.

"Tuan Razka?!" pekik Marissa tertahan. Dia berusaha menyembunyikan luapan kegembiraannya saat melihat pria yang sangat ia kagumi itu. 

Siapa yang tidak mengenal Attarazka? Dia adalah seorang pengusaha muda yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini, terutama di kalangan para wanita. Prestasi dan kesuksesannya membuat para wanita terpesona, dan membuat para pria iri. Dia baru memasuki dunia bisnis, tapi kehadirannya mampu menarik perhatian banyak orang.

"Apa kamu memiliki masalah dengan adik saya?" tanya Razka.

Entah hanya perasaannya saja, atau memang suara Razka terdengar lebih dingin dari yang dia ingat?

Marissa mengerjap tidak mengerti, "Siapa?"

Teman-teman Marissa saling melempar pandangan. Mereka memiliki pertanyaan yang sama.

"Tuan, siapa 'adik' yang anda maksud?"

"Perempuan yang baru kalian gunjingkan itu," jawab Razka tegas. Sorot matanya menajam. "Yang kalian sebut sebagai perempuan murahan."

Tubuh Marissa menegang. Dia tidak tahu jika dengan sikapnya yang ceroboh, dia bisa menyinggung pria yang ia kagumi itu. Marissa dalam masalah sekarang.

"Tuan, saya pikir anda salah paham." Marissa berusaha mengelak. Dia tidak ingin citranya menjadi buruk di mata pria idamannya.

Razka menepis kasar saat Marissa hendak menyentuh tangannya.

"Perempuan seperti kamu berani menghina adik kesayanganku? Apa kamu masih mencintai kehidupanmu sekarang? Menghinanya, sama dengan memancing kemarahanku. Memancing kemarahanku, sama dengan mengantarkan hidupmu padaku." Suara Razka terdengar sangat menyeramkan. Tidak satu pun dari mereka yang tidak merinding ketika mendengar ucapannya. "Sepertinya kamu sudah siap menemui kematianmu."

"Tuan Razka, maafkan aku." Marissa menjatuhkan tubuhnya di lantai. Dia bersujud memohon ampun. Tubuhnya terlihat bergemetar ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan jika seandainya Razka benar-benar melenyapkannya.

Razka tidak peduli. Dia menyuruh bodyguard-nya mendekat. Pria itu menunjuk ke arah Marissa yang masih bersimpuh.

"Seret dia! Aku tidak mau ada kecoak yang akan mengacaukan pesta pernikahan adikku."

****

"Ada apa itu?" Jovanka melirik ke arah keributan. Karena pestanya digelar sangat besar, ia jadi tidak bisa melihat dengan jelas setiap sudut pesta. Apalagi dengan statusnya sebagai mempelai wanita, membuatnya harus terus berada di atas podium. Seolah ia ada hanya untuk menjadi tontonan orang-orang yang datang.

"Apa kamu bisa berhenti makan?" Revan berdecak kesal melihat Jovanka memakan kuenya dengan tidak anggun. Lihatlah, dia bahkan tidak peduli dengan cara makannya sendiri walau banyak orang yang memperhatikan.

"Apa kamu bisa berhenti mengomentariku?" balas Jovanka ketus. Dia tidak peduli pada ekspresi keberatan Revan. Jovanka hanya akan melakukan semuanya sesuka hati. "Aku dipaksa menjadi pajangan sepanjang hari. Dipaksa berdiri di sini hanya untuk ditonton banyak orang. Setidaknya, perutku butuh makan."

"Kamu sudah makan lebih dari lima potong kue. Apa kamu masih belum kenyang?" tanya Revan jengkel. Sebenarnya sebesar apa kapasitas perut wanita itu? Kenapa makannya banyak sekali?

"Ini hanya cemilan. Sebanyak apapun kue yang aku makan, tidak bisa membuatku kenyang."

Pengakuan Jovanka membuat Revan menganga tidak percaya. Revan jadi berpikir, apa Jovanka akan berubah jadi gemuk setelah mereka menikah nanti? Melihat porsi makannya yang banyak, berat badan Jovanka pasti akan lebih cepat naik.

Revan bergidik saat membayangkan tubuh gemuk istrinya itu.

"Kenapa kamu melihat ku seperti itu?" tanya Jovanka tak suka.

Sorot mata Revan membuatnya tersinggung. Bagaimana tidak? Pria itu melihatnya seperti melihat gelandang yang kotor.

"Aku hanya lapar. Setidaknya jadilah suami yang pengertian. Ambilkan aku nasi, dan aku akan berhenti makan." Jovanka menyimpan kembali kuenya, dia duduk dengan cemberut.

Karena ekspresi Revan itu, Jovanka merajuk. Ia tidak ingin kembali makan kue, walau dia masih menginginkannya.

Kue itu terlalu enak.

"Kamu masih ingin makan nasi?" tanya Revan tak percaya. "Apa kamu dari kemarin sengaja menahan lapar?"

Jovanka berdecak jengah, "Bisa tidak kamu berhenti membuat aku tersinggung? Apa kamu tidak tahu? Perempuan paling sensitif saat membahas tentang berat badan."

Revan hanya bisa termangu. Jovanka berkata seperti itu tepat setelah dia menghabiskan hampir tujuh kue. Dan masih meminta sepiring nasi. Dia juga menyalahkan Revan karena telah menyinggungnya. Bukankah seharusnya Jovanka lebih menjaga sikapnya jika dia tidak ingin disinggung oleh orang lain?

Revan bertanya seperti itu karena Jovanka yang tidak menyembunyikan semuanya. Dia bersikap seolah ia tidak peduli pada tanggapan orang lain. Tapi saat Revan mengomentarinya, dia justru tidak terima.

"Itu ... sepertinya kak Razka."

Gumaman Jovanka masih bisa ditangkap dengan jelas oleh Revan, karena posisi mereka bersisihan.

Jovanka mengangkat tangannya dan berseru memanggil pria itu, "Kak Razka!"

Perempuan itu melambai, dengan senyum mengembang.

Revan berdecak melihat ekspresi Jovanka saat ini. Kapan terakhir kali Jovanka seperti itu saat melihat Revan? Bahkan Revan sudah lupa kapan itu terjadi.

Kenapa Jovanka bisa berubah secepat ini? Dia bahkan tidak luluh walau mereka sudah resmi menjadi suami istri.

Revan melihat Razka berjalan ke arah tempatnya. Pria itu selalu menjadi sangat patuh saat berhadapan dengan Jovanka.

"Ada apa, adik kecil?" tanya Razka, mengusap puncak kepala Jovanka.

Jovanka tersenyum menunjukkan giginya yang berjajar rapi, "Bisa tolong ambilkan aku nasi, kak? Aku lapar." Perempuan itu merengek.

Revan yang mendengar itu sontak menoleh kaget, "Jangan! Jangan!" Revan melarang Razka menurutinya.

Jovanka mendelik tidak terima pada Revan.

"Dia sudah menghabiskan tujuh potong kue barusan," ucap Revan mengadu.

"Memangnya kenapa? Aku masih lapar." Jovanka membalas tidak mau kalah.

"Aku tidak mau punya istri gemuk."

"Itu bagus. Kamu bisa menceraikanku saat tubuhku mulai berisi," sahut Jovanka santai.

Revan semakin tidak percaya dengan jawaban Jovanka. Apa dia masih Jovanka yang sama yang mengejarnya dulu?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status