Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata.
Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu.
"Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.
Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang.
"Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.
Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika ucapanmu sampai di telinga penyelenggara pesta, kamu mungkin akan diusir."
"Untuk apa aku takut? Apa yang aku katakan itu benar. Perempuan itu tidak pantas ada di podium. Dia hanya perempuan murahan, dia-"
"Ehem!"
Marissa berhenti bicara, dia dan teman-temannya menoleh ke belakang. Tepat pada seorang pria yang baru saja mengeluarkan deheman yang menginterupsi pembicaraan mereka.
"Tuan Razka?!" pekik Marissa tertahan. Dia berusaha menyembunyikan luapan kegembiraannya saat melihat pria yang sangat ia kagumi itu.
Siapa yang tidak mengenal Attarazka? Dia adalah seorang pengusaha muda yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini, terutama di kalangan para wanita. Prestasi dan kesuksesannya membuat para wanita terpesona, dan membuat para pria iri. Dia baru memasuki dunia bisnis, tapi kehadirannya mampu menarik perhatian banyak orang.
"Apa kamu memiliki masalah dengan adik saya?" tanya Razka.
Entah hanya perasaannya saja, atau memang suara Razka terdengar lebih dingin dari yang dia ingat?
Marissa mengerjap tidak mengerti, "Siapa?"
Teman-teman Marissa saling melempar pandangan. Mereka memiliki pertanyaan yang sama.
"Tuan, siapa 'adik' yang anda maksud?"
"Perempuan yang baru kalian gunjingkan itu," jawab Razka tegas. Sorot matanya menajam. "Yang kalian sebut sebagai perempuan murahan."
Tubuh Marissa menegang. Dia tidak tahu jika dengan sikapnya yang ceroboh, dia bisa menyinggung pria yang ia kagumi itu. Marissa dalam masalah sekarang.
"Tuan, saya pikir anda salah paham." Marissa berusaha mengelak. Dia tidak ingin citranya menjadi buruk di mata pria idamannya.
Razka menepis kasar saat Marissa hendak menyentuh tangannya.
"Perempuan seperti kamu berani menghina adik kesayanganku? Apa kamu masih mencintai kehidupanmu sekarang? Menghinanya, sama dengan memancing kemarahanku. Memancing kemarahanku, sama dengan mengantarkan hidupmu padaku." Suara Razka terdengar sangat menyeramkan. Tidak satu pun dari mereka yang tidak merinding ketika mendengar ucapannya. "Sepertinya kamu sudah siap menemui kematianmu."
"Tuan Razka, maafkan aku." Marissa menjatuhkan tubuhnya di lantai. Dia bersujud memohon ampun. Tubuhnya terlihat bergemetar ketakutan. Dia tidak bisa membayangkan jika seandainya Razka benar-benar melenyapkannya.
Razka tidak peduli. Dia menyuruh bodyguard-nya mendekat. Pria itu menunjuk ke arah Marissa yang masih bersimpuh.
"Seret dia! Aku tidak mau ada kecoak yang akan mengacaukan pesta pernikahan adikku."
****
"Ada apa itu?" Jovanka melirik ke arah keributan. Karena pestanya digelar sangat besar, ia jadi tidak bisa melihat dengan jelas setiap sudut pesta. Apalagi dengan statusnya sebagai mempelai wanita, membuatnya harus terus berada di atas podium. Seolah ia ada hanya untuk menjadi tontonan orang-orang yang datang.
"Apa kamu bisa berhenti makan?" Revan berdecak kesal melihat Jovanka memakan kuenya dengan tidak anggun. Lihatlah, dia bahkan tidak peduli dengan cara makannya sendiri walau banyak orang yang memperhatikan.
"Apa kamu bisa berhenti mengomentariku?" balas Jovanka ketus. Dia tidak peduli pada ekspresi keberatan Revan. Jovanka hanya akan melakukan semuanya sesuka hati. "Aku dipaksa menjadi pajangan sepanjang hari. Dipaksa berdiri di sini hanya untuk ditonton banyak orang. Setidaknya, perutku butuh makan."
"Kamu sudah makan lebih dari lima potong kue. Apa kamu masih belum kenyang?" tanya Revan jengkel. Sebenarnya sebesar apa kapasitas perut wanita itu? Kenapa makannya banyak sekali?
"Ini hanya cemilan. Sebanyak apapun kue yang aku makan, tidak bisa membuatku kenyang."
Pengakuan Jovanka membuat Revan menganga tidak percaya. Revan jadi berpikir, apa Jovanka akan berubah jadi gemuk setelah mereka menikah nanti? Melihat porsi makannya yang banyak, berat badan Jovanka pasti akan lebih cepat naik.
Revan bergidik saat membayangkan tubuh gemuk istrinya itu.
"Kenapa kamu melihat ku seperti itu?" tanya Jovanka tak suka.
Sorot mata Revan membuatnya tersinggung. Bagaimana tidak? Pria itu melihatnya seperti melihat gelandang yang kotor.
"Aku hanya lapar. Setidaknya jadilah suami yang pengertian. Ambilkan aku nasi, dan aku akan berhenti makan." Jovanka menyimpan kembali kuenya, dia duduk dengan cemberut.
Karena ekspresi Revan itu, Jovanka merajuk. Ia tidak ingin kembali makan kue, walau dia masih menginginkannya.
Kue itu terlalu enak.
"Kamu masih ingin makan nasi?" tanya Revan tak percaya. "Apa kamu dari kemarin sengaja menahan lapar?"
Jovanka berdecak jengah, "Bisa tidak kamu berhenti membuat aku tersinggung? Apa kamu tidak tahu? Perempuan paling sensitif saat membahas tentang berat badan."
Revan hanya bisa termangu. Jovanka berkata seperti itu tepat setelah dia menghabiskan hampir tujuh kue. Dan masih meminta sepiring nasi. Dia juga menyalahkan Revan karena telah menyinggungnya. Bukankah seharusnya Jovanka lebih menjaga sikapnya jika dia tidak ingin disinggung oleh orang lain?
Revan bertanya seperti itu karena Jovanka yang tidak menyembunyikan semuanya. Dia bersikap seolah ia tidak peduli pada tanggapan orang lain. Tapi saat Revan mengomentarinya, dia justru tidak terima.
"Itu ... sepertinya kak Razka."
Gumaman Jovanka masih bisa ditangkap dengan jelas oleh Revan, karena posisi mereka bersisihan.
Jovanka mengangkat tangannya dan berseru memanggil pria itu, "Kak Razka!"
Perempuan itu melambai, dengan senyum mengembang.
Revan berdecak melihat ekspresi Jovanka saat ini. Kapan terakhir kali Jovanka seperti itu saat melihat Revan? Bahkan Revan sudah lupa kapan itu terjadi.
Kenapa Jovanka bisa berubah secepat ini? Dia bahkan tidak luluh walau mereka sudah resmi menjadi suami istri.
Revan melihat Razka berjalan ke arah tempatnya. Pria itu selalu menjadi sangat patuh saat berhadapan dengan Jovanka.
"Ada apa, adik kecil?" tanya Razka, mengusap puncak kepala Jovanka.
Jovanka tersenyum menunjukkan giginya yang berjajar rapi, "Bisa tolong ambilkan aku nasi, kak? Aku lapar." Perempuan itu merengek.
Revan yang mendengar itu sontak menoleh kaget, "Jangan! Jangan!" Revan melarang Razka menurutinya.
Jovanka mendelik tidak terima pada Revan.
"Dia sudah menghabiskan tujuh potong kue barusan," ucap Revan mengadu.
"Memangnya kenapa? Aku masih lapar." Jovanka membalas tidak mau kalah.
"Aku tidak mau punya istri gemuk."
"Itu bagus. Kamu bisa menceraikanku saat tubuhku mulai berisi," sahut Jovanka santai.
Revan semakin tidak percaya dengan jawaban Jovanka. Apa dia masih Jovanka yang sama yang mengejarnya dulu?
****
"Aku gak mau seranjang sama kamu!" pekik Jovanka.Mereka kini berada di kamar pengantin. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu tidak membuat suasana hati sepasang pengantin baru itu berbunga-bunga. Mereka justru malah bersitegang di malam pengantin mereka.Revan melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar. Dia cukup lelah, dan kini masih harus menghadapi sikap menyebalkan istrinya."Kamu tidak perlu membuat keributan di malam pengantin kita," ucap Revan geram. Dia sedang tidak ingin bertengkar. Dia hanya ingin beristirahat. "Untuk malam ini saja, tolong jangan mempersulit keadaan. Aku lelah." Revan menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi.Tapi ucapan Jovanka membuat langkahnya berhenti."Kamu tidur di sofa. Dan aku akan tidur di ranjang.""Jovanka!""Aku tidak mau tidur denganmu. Dan aku juga tidak mau jika harus tidur di sofa." Jovanka merebahkan tubuhnya di ranjang, bersiap untuk tidur. Jovanka tidak peduli pada kemarahan Revan saat ini. "Jadi kamu yang harus mengalah."****
Revan keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Kantung hitam dengan jelas menghiasi kedua matanya. Revan berjalan dengan lelah, aura suram mengelilinginya, hingga tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyapanya.Hingga dia tiba di ruang makan. Di mana keluarganya dan keluarga istrinya sudah berkumpul untuk sarapan."Pagi.""Pagi," balas mereka semua. Mereka sama-sama menyimpan tanda tanya karena ekspresi Revan yang tidak biasa."Kakak terlihat lelah," cetus Adik Revan, bernama Venetta. Gadis berusia 17 tahun itu biasa dipanggil dengan sebutan Netta."Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Revan. Pria itu menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap. Dia masih belum cukup tidur, tapi hari ini ia harus mau bangun pagi. Pekerjaannya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi Revan sudah memiliki seorang istri sekarang."Begadang, kak?" Netta menaik turunkan alisnya, berniat menggoda Revan. Tapi dia justru malah dihadiahi sentilan di dahinya.Netta mengaduh, dia cemberut pada ayahnya y
Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p
"Kamu seharusnya menungguku, bukannya memilih diantar oleh seorang pria asing."Jovanka memegangi pelipisnya. Dia pusing mendengar Revan yang mengikutinya sambil mengoceh. Apa pria itu masih belum puas mengeluarkan kekesalannya? Apa Revan tidak tahu jika Jovanka sama sekali tidak peduli dengan rasa keberatan Revan?"Cerewet!" Jovanka berbalik, menatap Revan dengan tajam. "Yang penting sekarang aku sudah berada di rumah. Untuk apa kamu masih mengomel?""Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak mengulangi kesalahanmu itu," ucap Revan.Jovanka tertawa sembari mengibaskan tangannya tidak percaya. "Apa kamu yakin? Apa kamu akan benar-benar menghampiri aku saat aku sedang kesusahan?""Tentu saja. Bagaimana pun juga, kamu itu istriku," jawab Revan mantap."Istri terpaksa." Jovaka bergumam mencibir. Dia tahu Revan tidak pernah sepenuh hati mengakuinya. Bahkan dulu, pria itu tidak sudi menyebut Jovanka sebagai istrinya.Jika dulu Jovanka akan berusaha menjadi istri yang baik supaya Revan bisa
"Kamu masih marah?" Savira tidak menjawab. Dia sibuk memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang. Tapi Revan tampaknya tidak menyerah, pria itu masih mengikuti Savira dari belakang. Ini salah Revan. Dia yang melupakan janjinya hingga membuat Savira menunggu selama dua jam di depan kantor dengan sia-sia. Seharusnya jika tidak bisa datang, Revan mengabarinya, bukan membiarkan Savira menunggu. Revan tidak tahu begitu malunya Savira harus berdiri di sana waktu itu, diperhatikan oleh orang yang lalu lalang, dengan pandang bertanya-tanya. Jika bukan karena berpikir Revan akan segera menjemputnya, Savira tidak mungkin bertahan di sana. "Sayang," panggil Revan. Dia menahan tangan Savira supaya tidak lagi menghindarinya. Untungnya Savira lekas berhenti, dan berbalik menatap Revan dengan wajah masam. "Kamu mengecewakan aku, Revan." "Aku minta maaf." Revan mengusap wajah Savira dengan lembut. Dia benar-benar lupa akan janjinya dengan Savira. Karena berurusan dengan Jovanka kemarin, Revan ha
Revan pulang dengan senyum yang tak memudar dari wajahnya. Dia akan menanti ekspresi seperti apa yang akan Jovanka tunjukkan, kata-kata seperti apa yang akan istrinya itu katakan. Revan tidak sabar menyaksikan semuanya untuk mendapat apa yang ia inginkan. Tapi, semua tak sesuai ekspektasinya. Kala Revan sampai, dia melihat Jovanka tengah duduk tenang di ruang santai sembari menonton televisi. Dia menoleh sesaat ketika menyadari kehadiran Revan, tapi sikapnya sangat acuh tak acuh. Dia melanjutkan acara menontonnya tanpa peduli pada Revan sama sekali. Bukan ini yang Revan inginkan! "Jo," panggil Revan. Dia tidak mengerti kenapa Jovanka masih bersikap biasa. Padahal Revan tahu jelas, istrinya itu baru saja memergokinya bersama perempuan lain. Tapi, apa Jovanka memang tidak mengetahui jika seseorang yang ia temui itu adalah Revan? Rasanya mustahil. Karena mereka berhadapan kala itu. Tapi, kenapa Jovanka bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi? Revan tidak mengerti. "Kamu di
Razka urung melangkah saat dia melihat siluet seseorang yang tak asing baginya. Mata Razka menyipit, berusaha melihat dengan jelas sosok yang ia perhatikan itu. "Revan?" gumam Razka. Razka memutuskan untuk melangkah mendekat. Dia harus memastikan jika orang yang ia lihat itu adik iparnya atau bukan. Sayangnya, dia terlambat. Karena pria itu lebih dulu masuk ke dalam mobil bersama seseorang yang bicara dengannya sejak tadi. Razka termenung di tempat. Pertanyaan besar bersarang di otaknya sejak dia melihat pria tadi. "Revan bersama siapa?" **** "Kenapa kamu sering marah-marah akhir-akhir ini?" Revan mengeluh tepat setelah ia tiba di sebuah restoran bersama Savira. Dia bahkan sengaja menunda perdebatan mereka sepanjang jalan, karena ingin menyelesaikan masalah mereka dengan tenang di restoran ini. Kekasihnya itu memasang wajah masam. Dia mana mungkin mau mengalah untuk Revan? Savira hanya selalu menuntut untuk dimengerti. Padahal Revan tidak pernah mudah menebak apa yang diinginkan