Jovanka benar-benar tidak berhenti mengatakan sumpah serapah di dalam hatinya. Karena Ayah-nya benar-benar serius saat mengatakan dia akan menerima lamaran Revan. Padahal Jovanka sudah melakukan banyak cara dalam membujuk kedua orang tuanya supaya mereka berpikir ulang untuk menerima lamaran Revan. Jovanka tidak ingin kembali terjebak dalam pernikahan yang sama.
Bersama Revan, ia tidak akan pernah bahagia. Pria itu hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup.
Jovanka benci saat ia melihat Revan tepat di depan rumahnya. Pria itu datang menjemputnya untuk mencari gaun pengantin dan membicarakan segala hal tentang persiapan pernikahan mereka. Ini bukan pernikahan yang Jovanka inginkan, sehingga sulit baginya untuk tersenyum. Bahkan sejak tadi, wajahnya tertekuk tidak senang. Jovanka terpaksa ikut dengan Revan karena desakan orang tuanya. Tidak lupa mereka juga melayangkan ancaman yang membuat Jovanka tidak bisa berkutik.
Raut wajah Jovanka sudah masam sejak tadi. Dia masuk ke dalam mobil Revan setelah pria itu membukakan pintu untuknya. Walau Revan bersikap manis seperti itu, tidak cukup baginya untuk meluluhkan hati Jovanka. Hati Jovanka sudah mati sejak dulu, dan itu karena si brengsek itu.
"Apa kamu tidak bisa tersenyum sedikit?" tanya Revan kesal. Dia tidak suka melihat ekspresi Jovanka. Perempuan itu terlihat sekali enggan bersama Revan. "Setidaknya tersenyum lah sedikit walau itu palsu."
"Senyumku terlalu mahal untuk pria brengsek seperti kamu," jawab Jovanka ketus.
Revan merasa tertohok. Apa Jovanka berkata seperti itu karena dia mengetahui jika Revan memiliki kekasih? Mendadak, dia merasakan kekhawatiran.
Revan berdehem canggung. Dia memutuskan untuk tidak memprotes lebih jauh, dari pada membuat perasaan tidak nyamannya kian membesar.
"Kita akan ke toko perhiasan lebih dulu. Kita akan mencari cincin yang pas sesuai selera kamu." Revan memberitahu.
Sejujurnya dia tidak peduli bagaimana rupa cincin pernikahannya dengan Jovanka. Tapi setidaknya dengan kegiatan mereka kali ini, Revan bisa sekalian memilih cincin pernikahannya bersama Savira nanti.
"Kamu tidak perlu meminta pendapatku. Karena bagiku, apapun yang berhubungan dengan kamu pasti selalu jelek."
"Kamu bisa tidak sih sekali saja tidak membuat ulah?" Revan mulai jengkel. Jovanka tidak bisa diajak kerja sama sedikit pun. "Jika bukan karena Mommy, aku juga tidak akan mau menemani kamu mencari gaun dan cincin."
"Kamu tidak perlu bener-bener melakukan itu." Jovanka menoleh ke arah Revan tanpa ekspresi. Dia sudah menduga jika Revan datang hanya karena suruhan orang tuanya. Karena tidak mungkin pria itu melakukannya karena inisiatifnya sendiri. "Turunkan aku di sini! Dan pergilah! Aku bisa atur semuanya sendiri."
"Kamu-" Revan menatap Jovanka tak percaya.
"Stop!"
Revan menghentikan mobilnya karena kaget dengan seruan Jovanka. Perempuan itu turun dari mobilnya. Dia bahkan menutup mobil Revan dengan kasar hingga membuat Revan berjengit.
"Perempuan itu!" Revan menggeram marah. Dia melepas seatbelt-nya dan segera menyusul Jovanka yang sudah lebih dulu memasuki toko perhiasan.
Saat tangannya ditarik dari belakang, Jovanka tersentak. Dia melihat Revan menatapnya dengan marah. Jovanka hanya mengerjap lugu, dia sudah tidak heran lagi melihat wajah marah pria itu.
"Ada apa?" tanya Jovanka. "Bukankah aku sudah bilang, kamu tidak perlu turun dan menemani aku? Kamu bisa pergi sekarang."
"Apa kamu bener-bener berniat mengusir calon suamimu?" tanya Revan geram. Harga dirinya tersentil karena Jovanka terlihat menolak kehadirannya.
Sementara Jovanka merasa lucu saat Revan menyebutnya sebagai 'calon suami'. Rasanya Jovanka ingin berdecih sinis. Tapi dia tidak mungkin melakukan itu di sini. Dia harus menjaga sikapnya supaya tidak menimbulkan rumor buruk nantinya.
"Baiklah kalau kamu memaksa. Aku tidak keberatan." Jovanka mengendikkan bahunya. Dia berjalan lebih dulu menuju etalase. Melihat jajaran perhiasan yang berkilauan.
Kedua mata Jovanka berbinar memperhatikan setiap barang yang dipajang di sana.
Sementara Revan di sisinya hanya mencebik kesal.
Meski dia ada bersama Jovanka, tapi perempuan itu bersikap seolah Revan adalah makhluk tak kasat mata. Jovanka hanya bicara dengan pekerja toko itu, tanpa sekali pun meminta pendapat pada Revan. Padahal mereka tengah memilih cincin pernikahan untuk mereka berdua.
Apa keberadaan Revan benar-benar tidak berguna?
"Aku pilih yang ini saja. Tolong segera bungkus, ya!" Jovanka tersenyum semringah ketika dia telah memutuskan cincin mana yang akan ia pilih.
Revan yang melihat itu segera memprotes, "Kenapa kamu memutuskannya sendiri?"
"Apa?" Jovanka berlagak seolah ia tidak melakukan kesalahan apapun.
"Kamu seharusnya meminta pendapatku. Itu adalah cincin pernikahan kita!"
"Lalu?" balas Jovanka santai.
Revan mengacak rambutnya kasar. Perempuan itu selalu tahu cara membuatnya kesal setengah mati. "Apa kamu tidak bisa menghargai posisiku? Untuk apa aku di sini jika kamu memutuskannya sendiri?"
"Bukannya kamu yang bersikeras ingin menemani aku memilih model cincin?" balas Jovanka. Dia merasa tidak salah dalam bersikap. Lagi pula, dia sudah menyuruh Revan pergi sejak awal. Pria itu saja yang keras kepala ingin menemaninya. Dia bahkan tidak bersuara sejak tadi. Hanya memperhatikan Jovanka memilih cincin mereka. Dan saat Jovanka sudah menentukan pilihannya, dia justru tidak terima. Sebenarnya apa mau pria itu?
"Jika kamu mau, belilah untuk dirimu sendiri."
Revan tidak manjawab. Dia hanya terdiam dengan tangan mengepal.
"Oh, tapi jangan lupa untuk membayar cincin yang tadi aku pilihkan. Kamu ... calon suamiku, kan?" Jovanka mengerjap lugu. Dia mengingatkan Revan saat pria itu menegaskan dirinya sebagai 'calon suami' Jovanka.
Dan itu membuat Revan menegang kaku.
Apa yang sudah dia lakukan? Seharusnya Revan tidak mengatakan kata-kata seperti itu. Bukankah dia benci saat ia harus menikahi perempuan di depannya ini? Lalu kenapa dia harus marah saat Jovanka terus bersikap mengabaikkannya?
Revan menghela napas kasar. Dia berjalan ke kasir dan segera melakukan pembayaran cincin yang sudah dipilihkan oleh Jovanka. Revan bahkan tidak memiliki minat untuk melanjutkan niat awalnya mencari cincin untuk Savira. Revan mungkin akan melakukannya nanti.
Sekarang dia hanya ingin pulang dan mengistirahatkan otaknya. Karena Jovanka, pikirannya menjadi kacau. Suasana hatinya berantakan. Calon istrinya itu sangat mahir dalam membuat orang lain emosi.
"Apa kamu juga akan menemani aku memilih gaun pengantin?" tanya Jovanka setelah mereka keluar dari toko perhiasan.
"Menurutmu? Apa kamu ingin ditemani atau tidak?" Revan memutuskan untuk kembali bertanya. Dia ingin mengetahui apakah Jovanka menginginkan kehadirannya atau tidak.
Dan jawaban yang Jovanka berikan membuat Revan tercengang.
Jovanka menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka sendiri. Kamu itu cuman menghalangi. Lebih baik kamu pergi kantor, dan bekerja. Di sini bukannya membantu, kamu justru malah membuat aku risih." Jovanka menatap Revan dengan sinis. "Apa kamu tidak sadar? Selain mengekori aku, kamu hanya berperan sebagai sopir sejak tadi."
****
Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata. Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu."Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang."Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika
"Aku gak mau seranjang sama kamu!" pekik Jovanka.Mereka kini berada di kamar pengantin. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu tidak membuat suasana hati sepasang pengantin baru itu berbunga-bunga. Mereka justru malah bersitegang di malam pengantin mereka.Revan melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar. Dia cukup lelah, dan kini masih harus menghadapi sikap menyebalkan istrinya."Kamu tidak perlu membuat keributan di malam pengantin kita," ucap Revan geram. Dia sedang tidak ingin bertengkar. Dia hanya ingin beristirahat. "Untuk malam ini saja, tolong jangan mempersulit keadaan. Aku lelah." Revan menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi.Tapi ucapan Jovanka membuat langkahnya berhenti."Kamu tidur di sofa. Dan aku akan tidur di ranjang.""Jovanka!""Aku tidak mau tidur denganmu. Dan aku juga tidak mau jika harus tidur di sofa." Jovanka merebahkan tubuhnya di ranjang, bersiap untuk tidur. Jovanka tidak peduli pada kemarahan Revan saat ini. "Jadi kamu yang harus mengalah."****
Revan keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Kantung hitam dengan jelas menghiasi kedua matanya. Revan berjalan dengan lelah, aura suram mengelilinginya, hingga tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyapanya.Hingga dia tiba di ruang makan. Di mana keluarganya dan keluarga istrinya sudah berkumpul untuk sarapan."Pagi.""Pagi," balas mereka semua. Mereka sama-sama menyimpan tanda tanya karena ekspresi Revan yang tidak biasa."Kakak terlihat lelah," cetus Adik Revan, bernama Venetta. Gadis berusia 17 tahun itu biasa dipanggil dengan sebutan Netta."Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Revan. Pria itu menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap. Dia masih belum cukup tidur, tapi hari ini ia harus mau bangun pagi. Pekerjaannya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi Revan sudah memiliki seorang istri sekarang."Begadang, kak?" Netta menaik turunkan alisnya, berniat menggoda Revan. Tapi dia justru malah dihadiahi sentilan di dahinya.Netta mengaduh, dia cemberut pada ayahnya y
Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p
"Kamu seharusnya menungguku, bukannya memilih diantar oleh seorang pria asing."Jovanka memegangi pelipisnya. Dia pusing mendengar Revan yang mengikutinya sambil mengoceh. Apa pria itu masih belum puas mengeluarkan kekesalannya? Apa Revan tidak tahu jika Jovanka sama sekali tidak peduli dengan rasa keberatan Revan?"Cerewet!" Jovanka berbalik, menatap Revan dengan tajam. "Yang penting sekarang aku sudah berada di rumah. Untuk apa kamu masih mengomel?""Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak mengulangi kesalahanmu itu," ucap Revan.Jovanka tertawa sembari mengibaskan tangannya tidak percaya. "Apa kamu yakin? Apa kamu akan benar-benar menghampiri aku saat aku sedang kesusahan?""Tentu saja. Bagaimana pun juga, kamu itu istriku," jawab Revan mantap."Istri terpaksa." Jovaka bergumam mencibir. Dia tahu Revan tidak pernah sepenuh hati mengakuinya. Bahkan dulu, pria itu tidak sudi menyebut Jovanka sebagai istrinya.Jika dulu Jovanka akan berusaha menjadi istri yang baik supaya Revan bisa
"Kamu masih marah?" Savira tidak menjawab. Dia sibuk memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang. Tapi Revan tampaknya tidak menyerah, pria itu masih mengikuti Savira dari belakang. Ini salah Revan. Dia yang melupakan janjinya hingga membuat Savira menunggu selama dua jam di depan kantor dengan sia-sia. Seharusnya jika tidak bisa datang, Revan mengabarinya, bukan membiarkan Savira menunggu. Revan tidak tahu begitu malunya Savira harus berdiri di sana waktu itu, diperhatikan oleh orang yang lalu lalang, dengan pandang bertanya-tanya. Jika bukan karena berpikir Revan akan segera menjemputnya, Savira tidak mungkin bertahan di sana. "Sayang," panggil Revan. Dia menahan tangan Savira supaya tidak lagi menghindarinya. Untungnya Savira lekas berhenti, dan berbalik menatap Revan dengan wajah masam. "Kamu mengecewakan aku, Revan." "Aku minta maaf." Revan mengusap wajah Savira dengan lembut. Dia benar-benar lupa akan janjinya dengan Savira. Karena berurusan dengan Jovanka kemarin, Revan ha
Revan pulang dengan senyum yang tak memudar dari wajahnya. Dia akan menanti ekspresi seperti apa yang akan Jovanka tunjukkan, kata-kata seperti apa yang akan istrinya itu katakan. Revan tidak sabar menyaksikan semuanya untuk mendapat apa yang ia inginkan. Tapi, semua tak sesuai ekspektasinya. Kala Revan sampai, dia melihat Jovanka tengah duduk tenang di ruang santai sembari menonton televisi. Dia menoleh sesaat ketika menyadari kehadiran Revan, tapi sikapnya sangat acuh tak acuh. Dia melanjutkan acara menontonnya tanpa peduli pada Revan sama sekali. Bukan ini yang Revan inginkan! "Jo," panggil Revan. Dia tidak mengerti kenapa Jovanka masih bersikap biasa. Padahal Revan tahu jelas, istrinya itu baru saja memergokinya bersama perempuan lain. Tapi, apa Jovanka memang tidak mengetahui jika seseorang yang ia temui itu adalah Revan? Rasanya mustahil. Karena mereka berhadapan kala itu. Tapi, kenapa Jovanka bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi? Revan tidak mengerti. "Kamu di