Share

04 | Memilih Cincin Pernikahan

Jovanka benar-benar tidak berhenti mengatakan sumpah serapah di dalam hatinya. Karena Ayah-nya benar-benar serius saat mengatakan dia akan menerima lamaran Revan. Padahal Jovanka sudah melakukan banyak cara dalam membujuk kedua orang tuanya supaya mereka berpikir ulang untuk menerima lamaran Revan. Jovanka tidak ingin kembali terjebak dalam pernikahan yang sama. 

Bersama Revan, ia tidak akan pernah bahagia. Pria itu hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup.

Jovanka benci saat ia melihat Revan tepat di depan rumahnya. Pria itu datang menjemputnya untuk mencari gaun pengantin dan membicarakan segala hal tentang persiapan pernikahan mereka. Ini bukan pernikahan yang Jovanka inginkan, sehingga sulit baginya untuk tersenyum. Bahkan sejak tadi, wajahnya tertekuk tidak senang. Jovanka terpaksa ikut dengan Revan karena desakan orang tuanya. Tidak lupa mereka juga melayangkan ancaman yang membuat Jovanka tidak bisa berkutik.

Raut wajah Jovanka sudah masam sejak tadi. Dia masuk ke dalam mobil Revan setelah pria itu membukakan pintu untuknya. Walau Revan bersikap manis seperti itu, tidak cukup baginya untuk meluluhkan hati Jovanka. Hati Jovanka sudah mati sejak dulu, dan itu karena si brengsek itu.

"Apa kamu tidak bisa tersenyum sedikit?" tanya Revan kesal. Dia tidak suka melihat ekspresi Jovanka. Perempuan itu terlihat sekali enggan bersama Revan. "Setidaknya tersenyum lah sedikit walau itu palsu."

"Senyumku terlalu mahal untuk pria brengsek seperti kamu," jawab Jovanka ketus.

Revan merasa tertohok. Apa Jovanka berkata seperti itu karena dia mengetahui jika Revan memiliki kekasih? Mendadak, dia merasakan kekhawatiran.

Revan berdehem canggung. Dia memutuskan untuk tidak memprotes lebih jauh, dari pada membuat perasaan tidak nyamannya kian membesar.

"Kita akan ke toko perhiasan lebih dulu. Kita akan mencari cincin yang pas sesuai selera kamu." Revan memberitahu. 

Sejujurnya dia tidak peduli bagaimana rupa cincin pernikahannya dengan Jovanka. Tapi setidaknya dengan kegiatan mereka kali ini, Revan bisa sekalian memilih cincin pernikahannya bersama Savira nanti.

"Kamu tidak perlu meminta pendapatku. Karena bagiku, apapun yang berhubungan dengan kamu pasti selalu jelek."

"Kamu bisa tidak sih sekali saja tidak membuat ulah?" Revan mulai jengkel. Jovanka tidak bisa diajak kerja sama sedikit pun. "Jika bukan karena Mommy, aku juga tidak akan mau menemani kamu mencari gaun dan cincin."

"Kamu tidak perlu bener-bener melakukan itu." Jovanka menoleh ke arah Revan tanpa ekspresi. Dia sudah menduga jika Revan datang hanya karena suruhan orang tuanya. Karena tidak mungkin pria itu melakukannya karena inisiatifnya sendiri. "Turunkan aku di sini! Dan pergilah! Aku bisa atur semuanya sendiri."

"Kamu-" Revan menatap Jovanka tak percaya.

"Stop!"

Revan menghentikan mobilnya karena kaget dengan seruan Jovanka. Perempuan itu turun dari mobilnya. Dia bahkan menutup mobil Revan dengan kasar hingga membuat Revan berjengit.

"Perempuan itu!" Revan menggeram marah. Dia melepas seatbelt-nya dan segera menyusul Jovanka yang sudah lebih dulu memasuki toko perhiasan.

Saat tangannya ditarik dari belakang, Jovanka tersentak. Dia melihat Revan menatapnya dengan marah. Jovanka hanya mengerjap lugu, dia sudah tidak heran lagi melihat wajah marah pria itu.

"Ada apa?" tanya Jovanka. "Bukankah aku sudah bilang, kamu tidak perlu turun dan menemani aku? Kamu bisa pergi sekarang."

"Apa kamu bener-bener berniat mengusir calon suamimu?" tanya Revan geram. Harga dirinya tersentil karena Jovanka terlihat menolak kehadirannya.

Sementara Jovanka merasa lucu saat Revan menyebutnya sebagai 'calon suami'. Rasanya Jovanka ingin berdecih sinis. Tapi dia tidak mungkin melakukan itu di sini. Dia harus menjaga sikapnya supaya tidak menimbulkan rumor buruk nantinya.

"Baiklah kalau kamu memaksa. Aku tidak keberatan." Jovanka mengendikkan bahunya. Dia berjalan lebih dulu menuju etalase. Melihat jajaran perhiasan yang berkilauan.

Kedua mata Jovanka berbinar memperhatikan setiap barang yang dipajang di sana.

Sementara Revan di sisinya hanya mencebik kesal. 

Meski dia ada bersama Jovanka, tapi perempuan itu bersikap seolah Revan adalah makhluk tak kasat mata. Jovanka hanya bicara dengan pekerja toko itu, tanpa sekali pun meminta pendapat pada Revan. Padahal mereka tengah memilih cincin pernikahan untuk mereka berdua. 

Apa keberadaan Revan benar-benar tidak berguna?

"Aku pilih yang ini saja. Tolong segera bungkus, ya!" Jovanka tersenyum semringah ketika dia telah memutuskan cincin mana yang akan ia pilih.

Revan yang melihat itu segera memprotes, "Kenapa kamu memutuskannya sendiri?"

"Apa?" Jovanka berlagak seolah ia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Kamu seharusnya meminta pendapatku. Itu adalah cincin pernikahan kita!"

"Lalu?" balas Jovanka santai.

Revan mengacak rambutnya kasar. Perempuan itu selalu tahu cara membuatnya kesal setengah mati. "Apa kamu tidak bisa menghargai posisiku? Untuk apa aku di sini jika kamu memutuskannya sendiri?"

"Bukannya kamu yang bersikeras ingin menemani aku memilih model cincin?" balas Jovanka. Dia merasa tidak salah dalam bersikap. Lagi pula, dia sudah menyuruh Revan pergi sejak awal. Pria itu saja yang keras kepala ingin menemaninya. Dia bahkan tidak bersuara sejak tadi. Hanya memperhatikan Jovanka memilih cincin mereka. Dan saat Jovanka sudah menentukan pilihannya, dia justru tidak terima. Sebenarnya apa mau pria itu?

"Jika kamu mau, belilah untuk dirimu sendiri."

Revan tidak manjawab. Dia hanya terdiam dengan tangan mengepal.

"Oh, tapi jangan lupa untuk membayar cincin yang tadi aku pilihkan. Kamu ... calon suamiku, kan?" Jovanka mengerjap lugu. Dia mengingatkan Revan saat pria itu menegaskan dirinya sebagai 'calon suami' Jovanka.

Dan itu membuat Revan menegang kaku.

Apa yang sudah dia lakukan? Seharusnya Revan tidak mengatakan kata-kata seperti itu. Bukankah dia benci saat ia harus menikahi perempuan di depannya ini? Lalu kenapa dia harus marah saat Jovanka terus bersikap mengabaikkannya?

Revan menghela napas kasar. Dia berjalan ke kasir dan segera melakukan pembayaran cincin yang sudah dipilihkan oleh Jovanka. Revan bahkan tidak memiliki minat untuk melanjutkan niat awalnya mencari cincin untuk Savira. Revan mungkin akan melakukannya nanti. 

Sekarang dia hanya ingin pulang dan mengistirahatkan otaknya. Karena Jovanka, pikirannya menjadi kacau. Suasana hatinya berantakan. Calon istrinya itu sangat mahir dalam membuat orang lain emosi.

"Apa kamu juga akan menemani aku memilih gaun pengantin?" tanya Jovanka setelah mereka keluar dari toko perhiasan.

"Menurutmu? Apa kamu ingin ditemani atau tidak?" Revan memutuskan untuk kembali bertanya. Dia ingin mengetahui apakah Jovanka menginginkan kehadirannya atau tidak.

Dan jawaban yang Jovanka berikan membuat Revan tercengang.

Jovanka menggelengkan kepalanya. "Aku lebih suka sendiri. Kamu itu cuman menghalangi. Lebih baik kamu pergi kantor, dan bekerja. Di sini bukannya membantu, kamu justru malah membuat aku risih." Jovanka menatap Revan dengan sinis. "Apa kamu tidak sadar? Selain mengekori aku, kamu hanya berperan sebagai sopir sejak tadi."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status