Pantaskah Revan bersama Jovanka?
Savira nyaris frustasi karena Revan tidak bisa dihubungi. Semua perubahan Revan yang makin tampak jelas itu membuat kekhawatiran Savira semakin besar. Dia yakin, ini semua pasti karena Jovanka. Status mereka yang sudah berubah ternyata berpengaruh banyak pada hubungan yang kini Savira dan Revan jalani. Kehadairan Jovanka di tengah-tengah mereka dan statusnya yang kuat sebagai istri Revan membuat Savira perlahan tersingkirkan. “Aku harus mencari cara. Jika dibiarkan terus seperti ini, Revan pasti akan segera meninggalkanku,” ucap Savira menggigit jarinya cemas. “Revan bahkan belum membicarakan tentang menikahiku. Bagaimana aku bisa diam saja saat posisiku sudah terancam?” Berhubungan dengan Revan lumayan menguntungkan. Pria itu sangat royal padanya. Apapun yang Savira minta, pasti akan berusaha dia kabulkan. Revan tidak pernah berpikir ulang untuk membelikan sesuatu untuk Savira. Hal itulah yang membuat Savira senang akan pria itu. Dengan Revan, Savira tidak perlu bekerja terlalu kera
Savira merasa marah saat ia mengetahui jika Revan tengah menghabiskan waktu dengan Jovanka. Savira tanpa pikir panjang langsung menghampiri tempat mereka. Jovanka tampaknya adalah orang pertama yang menyadari tentang kehadiran Savira. Karena dia jugalah yang meminta Revan berbalik supaya mengetahui keberadaan Savira di sana. “Revan,” panggil Jovanka. Ekspresi Revan terlihat sangat terkejut ketika melihat Savira. Savira tidak menyukai itu. Rasanya seperti, Revan tidak senang akan kedatangannya. “Sa-savira?” ucap Revap kaku. Siapa yang menduga kekasihnya itu akan menghampirinya di saat Revan tengah bersama Jovanka saat ini? “Kenapa kamu ada di sini?” Revan bertanya dengan suara pelan. Dia ragu-ragu untuk bertanya karena ada Jovanka bersama mereka. Akan tetapi sekecil apapun suara Revan, Jovanka tetap mendengarnya. “Aku mencarimu,” jawab Savira jujur. Dia melirik Jovanka sekilas, yang masih belum menunjukkan reaksi apapun. “Kamu sangat sulit dihubungi.” “Maafkan aku. Tadi, aku men-si
Setelah Revan mengantar Savira ke rumahnya, Revan bergegas melajukan kendaraannya untuk pulang. Walau kekasihnya itu awalnya memaksa Revan untuk tetap tinggal sebentar, Revan menolak dengan alasan dia masih memiliki urusan yang harus diselesaikan. Dan masalah itu adalah tentang Jovanka. Walau tidak tahu harus berkata apa dia nanti, Revan rasa dia perlu bicara dengan Jovanka perihal Savira. Tidak lama, mobilnya sampai di gedung apartemen. Revan turun dari mobilnya setelah ia memarkirkan mobilnya. Segera Revan berjalan menuju unit apartemennya yang ia tempati bersama Jovanka. Setelah di sana, Revan merasa heran akan suasana apartemen yang sepi. Padahal dia sudah menduga akan menemukan Jovanka mengamuk emosi, atau setidaknya menangis sendu. Ini tidak seperti yang dibayangkan. Revan pun memutuskan untuk memeriksa ke kamar istrinya. Lampu di sana tampaknya sudah dimatikan. Revan mulai bertanya-tanya, apakah Jovanka sudah tertidur? Karena tidak ingin hanya berdiri seperti orang bodoh di
Razka berjalan menuju satu ruangan petinggi perusahaan. Tidak sembarangan orang yang diijinkan untuk masuk ke sana. Tapi tidak ada yang berani menghentikan Razka, karena semua orang sudah mengenal siapa pria itu.“Ayah!” Razka langsung berseru ketika dia membuka pintu. Tampak seorang pria paruh baya yang ia kenali duduk di meja kerja berkutat dengan berkas-berkas perusahaan.“Razka.” Ayahnya yang bernama Danial itu menaikkan kaca matanya dan melirik ke arah Razka dengan sorot penuh peringatan. “Biasakan untuk mengetuk pintu sebelum masuk.”Putra sulungnya itu memiliki kebiasaan yang buruk. Tapi anehnya, Razka seperti tidak mau mendengarkan setiap nasehatnya. Putranya itu terlalu keras kepala.“Ayah, ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Razka serius.Lihatlah, dia bahkan mengabaikan teguran Danial untuk yang ke sekian kalinya. Memang seseorang yang sudah dewasa akan sulit mengubah karakternya karena sudah terlanjur terbentuk.Danial hanya bisa menghela napas berat melihat sikap Razka.
Revan keluar dari apartementnya dengan emosi. Dia masuk ke dalam kendaraannya yang terparkir di basecamp. Revan bahkan membanting pintu mobil saat menutupnya. Dia meraup wajahnya dengan kasar. Saat mendengar Jovanka bicara, Revan merasa kalut. Perasaannya menjadi tidak karuan. Dia seperti tidak terima kala Jovanka berkata tentang penceraian. Pernikahan mereka bahkan baru seumur jagung. Bagaimana mungkin mereka secepat ini mengakhiri semuanya? Menjalani pernikahan bukan hal mudah, bukan hal sepele. Hal itu melibatkan dua keluarga besar. Dan sumpah di hadapan Tuhan, belum catatan hukum yang dianggap sah oleh Negara. Seharusnya Jovanka mempertimbangkan semuanya sebelum meminta penceraian pada Revan atas pernikahan yang belum genap dua bulan mereka jalani. “Apa yang harus ku lakukan?” Revan khawatir jika dia menikahi Savira, Jovanka justru semakin memiliki alasan kuat untuk bercerai darinya. Terlebih, Jovanka mulai berani membawa nama ayahnya untuk mengancam Revan. Revan benar-benar d
Revan melihat keributan yang terjadi. Dia sedikit melebarkan matanya saat menyadari jika yang tengah terlibat adu cek cok itu adalah istri dan kekasihnya. Dengan segera, Revan melangkah mendekati tempat mereka."Jo!" Revan memutuskan untuk mendekati istrinya karena di sana juga ada Razka. Revan tidak ingin membuat kakak iparnya itu curiga.Namun ketika Revan menarik tangan Jovanka, istrinya itu justru menghempaskannya dengan kasar."Apa yang kamu lakukan?" tanya Revan."Diamlah, dan jangan ikut campur!" ucap Jovanka kesal. Dia kembali memusatkan perhatiannya pada Savira. Pandangan Jovanka menghunus perempuan itu dengan tajam. "Aku tidak peduli jika kamu mau berhubungan atau bermesraan dengan suamiku. Tapi saat kamu mendekati kakakku, aku tidak akan membiarkannya!"Perempuan itu sama memuakkannya dengan Revan. Mereka seolah tidak puas hanya dengan satu pria dan wanita. Setelah mendapatkan Revan, Savira masih dengan tidak tahu dirinya menggoda kakaknya.Seperti Revan yang sudah memiliki
Ini gila. Revan bahkan tidak tahu alasan apa yang membuatnya tiba-tiba mencium Jovanka. Dia hanya merasa marah dengan kata-kata yang diucapkan istrinya itu. Sehingga yang ingin Revan lakukan hanya membungkam mulut istrinya dan menunjukkan padanya jika ia hanya milik Revan. Sebuah ciuman tampaknya adalah hukuman yang tepat untuk istrinya yang pembangkang. Tapi, setiap detik yang dilewati, Revan justru terbuai dengan permainan yang ia mulai sendiri. Revan juga tidak mengerti. Dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Terlebih, saat Revan menyadari Jovanka berhenti memberontak dan mulai membalas setiap sapuan bibirnya. Permukaan bibirnya yang lembut dan rasa manis yang ia kecap membuat Revan hampir gila. Ia bahkan tidak bisa menahan hasratnya untuk melakukan hal yang lebih. Revan membawa Jovanka masuk ke dalam mobilnya, dan membaringkannya di jok belakang. Ia kembali melanjutkan kegiatan panas itu lebih leluasa. Revan mungkin bisa melanjutkannya di rumah mereka. Tapi jika dijeda terlal
Jovanka keluar dari mobil dengan wajah kusut. Dia membanting pintu mobil dengan kuat sebelum berjalan cepat meninggalkan Revan.Di belakangnya, Revan tampak menyusul dengan segera. Dia tidak bisa membiarkan Jovanka marah padanya lebih lama. Ini memang disebabkan olehnya. Tapi Revan rasa, ia tidak salah sama sekali. Hanya Jovanka saja yang merasa tidak terima dengan apa yang Revan lakukan.“Pergi, brengsek!” maki Jovanka. Dia tahu Revan berjalan mengekorinya. Jadi dia berteriak untuk membuat pria itu berhenti melakukan sesuatu yang membuat Jovanka semakin marah.“Jo, kenapa kamu harus marah?” Revan tidak mengerti, memang apa yang salah dari kejadian tadi? Bahkan sejak awal Revan sadar, istrinya itu juga menginginkannya. Jovanka mungkin hanya tidak ingin mengakuinya.“Kamu sama tidak tahu malunya dengan kekasihmu itu,” ucap Jovanka. Revan bahkan tidak terlihat merasa bersalah setelah apa yang ia lakukan pada Jovanka. Dan itu membuat Jovanka semakin kesal.“Aku ini suamimu.”“Kamu bahka