Lahat ng Kabanata ng The Secret Admire's Love: Kabanata 41 - Kabanata 50
60 Kabanata
Perkataan Dokter Harun
Ruangan interogasi itu kian dingin seiring malam yang kian larut. Donna masih bungkam. Richard meninggalkan ruangan itu dengan wajah yang penuh pertanyaan. Siapa yang sudah berani membuat adiknya melakukan hal memalukan dan berbahaya seperti ini. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pertikaian atau persengketaan antara dua kelompok atau indvidu, akan selalu memakan korban pada akhirnya. Bila seseorang terjebak di antaranya, terlebih lagi hanya karena hasutan yang ia sendiri tidak mengetahui kejadian sebenarnya, sangat besar kemungkinannya akan menjadi kambing hitam dalam pertikaian itu.Richard tidak ingin adiknya terjebak dalam masalah yang tidak ia ketahui. Hanya karena hasutan orang yang tidak di kenal, ia melakukan hal gila  yang akan membahayakan dirinya.Aku dan Ivan berjalan menghampiri Richard. Kami bertiga berjalan meninggalkan ruang interogasi. Ketika sampai di depan ruang kerjaku, ternyata Mr. Smith sudah duduk di kursi ruang tamu. "How is
Magbasa pa
The Girl Donna Hate Most
Donor mata. Dimana aku bisa menemukan seseorang yang bersedia untuk mendonorkan matanya secara sukarela? Pikiranku benar-benar buntu. Untuk saat ini, aku hanya mendengarkan Harun menyampaikan hasil pemeriksaannya selama beberapa hari belakang termasuk pemeriksaan yang ia lakukan tadi sore. Ia mengakhiri penjelasannya dan mengingatkan agar aku segera mengambil keputusan terkait kesembuhan mata Hira. Ia melangkah pergi meninggalkan Vila kembali ke rumah sakit tempatnya bertugas, karena akan ada operasi jam 2 dinihari nanti. Aku kembali masuk ke ruang kerjaku dan mendapati kedua pria terlantar itu sudah tidak bersuara,  bergelimpangan dengan sukses di sofa coklat tanpa selimut menutupi tubuh mereka. Mereka terlelap tanpa mengganti terlebih dulu jas yang masih melekat di tubuh mereka.  Aku mengguncangkan tubuh mereka, membangunkan agar mereka beristirahat di kamar yang sudah disiapkan oleh pak Dar. Dengan mata yang setengah terbuka, Ivan dan Richard bangun dan
Magbasa pa
Depends on Her
 "What do you think?" Ivan justru balik bertanya, beralih menatap Richard yang pandangannya masih terfokus pada Hira.   Aku mengamati dari jauh kedua sahabatku yang tengah berbisik-bisik pelan. Aku mencoba membaca gerakan bibir keduanya dan arah pandangan mereka berdua. Mengetahui jawabannya membuatku mencoba berkonsentrasi pada menu sarapan pagi ini, yang hanya sebuah roti dengan berbagai pilihan isi yang sudah disiapkan Madam Catty. Aku memilih beberapa lembar daging asap lengkap dengan selembar keju dan sedikit saus sambal dan mayonaise. Ya, junk food. Pagi itu aku memilih memakan makanan orang barat, karena aku ingin melampiaskan kekesalanku pada Richard. Lebih tepatnya, kekesalan tak beralasan. Ahh, aku jadi emosi sendiri. Entahlah...aku ingin segera meninggalkan meja makan ini, dan berlari pagi bersama anak-anak buahku di lapangan belakang vila. Membuang amarah yang aku sendiri tidak tahu mengapa muncul dengan tiba-tiba.   Aku beranjak
Magbasa pa
Trust Me
Mr. Smith melangkah cepat mendahuluiku, bergegas secepatnya agar bisa segera bertemu dengan putri kesayangannya, mungkin juga ia akan berusaha untuk membujuk anak perempuan satu-satunya itu agar segera memberitahukan siapa yang menyuruhnya datang ke Indonesai dan melibatkan diri dalam urusan yang sama sekali tidak dipahami olehnya.   Richard masih berada di dekatku, tidak berniat menyusul sang ayah,merayu Donna. Aku duduk sebentar di ruang tamu. Erick berjalan di sampingku.    "Kau katakan pada Beni, untuk memeriksa semua persenjataan di gudang. Mana yang masih bisa dipakai, mana yang sudah harus diganti. Lakukan pencatatan siapa saja yang memegang senjata. Jangan lupa rompi anti peluru. Kita harus mempersiapkan skenario terburuk."  "Aku rasa akan ada sosok baru dalam kasus ini..maksudku, teka-teki kita akan mulai terjawab, meski mungkin agak sedikit lama.. Aissh, padahal aku paling benci bila harus menunggu," gumamku pada Erick. Pria
Magbasa pa
Erangan Donna
Mr. Smith terdiam mendengar perkataanku barusan. Ia sejenak tampak bingung dan linglung. Sebagai seorang yang tahu hukum, ia paham bahwa putrinya memang layak untuk mendapatkan hukuman tapi bagaimanapun dirinya adalah seorang ayah. Ia membesarkan Donna sendiri sepeninggal istri tercintanya, dan kini melihat kenyataan bahwa putri kecilnya telah melakukan kesalahan dan sekarang sedang dituntut untuk menerima pertanggung-jawaban meski tuntutannya tidak melalui pengadilan negara, tetap saja, batinnya meronta. Ia tidak sampai hati melihat anak gadisnya itu akan di bawa pergi jauh dari tempat tinggalnya, tanpa seorang teman.    Mr. Smith berjalan mendekati putra sulungnya. Memintanya merayuku agar aku membatalkan semua rencana dan skenario yang sudah aku buat. Namun, Richard diam bergeming. Di dalam kamus Richard, siapapun itu, meski keluarganya sekalipun, bila terbukti bersalah maka dirinya tidak akan melarang siapapun untuk memberi hukuman pada anggota keluarganya ters
Magbasa pa
What's Wrong With Donna?
Dokter Harun mulai memasang infus di tangan kanan Donna, lalu ia menyuntikkan obat pereda nyeri sekaligus obat tidur sehingga dirinya bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. "Apakah aku boleh membawanya ke rumah sakit?" tanya Harun sambil mengecek tensi darah gadis itu.   "Tidak bisakah dirawat di sini saja?" tanyaku.  "Kalau di sini, aku tidak bisa memeriksanya dengan maksimal, peralatan yang kubawa sangat terbatas, apalagi tampaknya aku harus mengirim sampel darah dan urin nona ini  ke laboratorium."  "Hasil pemeriksaan awalmu apa?"     "Aku belum begitu yakin hanya saja dugaan awalku, nona ini keracunan obat. Tapi, untuk lebih pastinya, aku harus membawa sampel darah dan urin ke laboratorium." Aku belum memberikan jawaban atas permintaan Harun. Yang jelas, pengamanan akan menjadi lebih ketat mengingat Donna adalah saksi kunci yang memegang informasi penting yang aku perlukan. AKu harus berpik
Magbasa pa
Pil Misterius
Aku membatalkan niatan untuk merehatkan tubuhku setelah mendengar apa yang baru saja dikatakan Richard. Donna tidak sadarkan diri dan saat ini sedang berada dalam masa kritis. Aku langsung menghubungi Harun meminta penjelasan singkat mengenai kondisi Donna. "Betul, Sat. Tampaknya Nona ini sudah mengkonsumsi obat dalam dosis tinggi. Aku ingin kau mencari tahu seperti apa obat yang akhir-akhir ini dikonsumsinya. Secepatnya kau berikan padaku sehingga aku bisa mengambil tindakan pengobatan yang tepat untuknya." Aku kembali menghubungi Richard. "Has Beni reached there?" tanyaku ketika Richard mengangkat telponku. "Yes. Wanna talk with him?"  "Yes, Let him talk to me. Its urgent."        "Ok." "Halo, Sat..." Kini suara Richard sudah berganti dengan Beni. "Ambil alih penjagaan dan akan aku tambah personel di sini. Biarkan Richard dan Mr. Smith pulang ke kastil, aku akan menunggu mereka di sana. Begitu
Magbasa pa
Donna Yang Malang
Harun menggantungkan kalimatnya, menyebabkan diriku merasa was-was dan penasaran, sangat penasaran. Pria itu terus mengamati butiran-butiran kecil yang ada di telapak tangannya. Aku memperhatikan perubahan raut wajahnya. Tok. Tok. Tok.   Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasiku. Harun segera memasukkan kembali pil-pil itu kembali ke botolnya dan segera memasukkannya ke dalam laci mejanya, sebelum memberi ijin masuk kepada si pengetuk pintu. "Sudah keluar hasil laboratoriumnya?" tanya Harun ketika seorang pria berpakaian khas petugas laboratorium masuk menyerahkan sebuah amplop berwarna hijau tua kepada Harun. Pria itu mengangguk sekaligus meminta ijin untuk pergi. Harun menerima amplop besar itu dan menganggukkan kepala memberi ijin pria itu untuk pergi meninggalkan ruangannya. Wajah Harun tiba-tiba gelap. Dahinya mengerut dalam. Aku semakin merana karena rasa penasaran yang tidak segera terjawab.   "Kau ini! Cepat kataka
Magbasa pa
I Do Understand!
Suara Beni terdengar bersama dengan nafasnya yang tersengal. Aku bangkit dari dudukku dan mulai bersiap. "Tuan, mereka datang,"  ujar Beni. "Berapa orang?" tanyaku, berjalan meninggalkan meja kerjaku, setelah mematikan laptopku terlebih dahulu. "Sementara baru dua mobil, Tuan. Sedan hitam, serupa dengan yang Tuan miliki, tapi beda pabrikan," jelas Beni. "Dimana mereka?" tanyaku.    "Mereka.." belum tuntas Beni menjawab pertanyaanku, terdengar teriakan menggelegar dari arah teras kastil-ku. "Keluar kau, Satyaaaa!!" panggil seseorang di luar sana.  Aku mengerutkan dahiku. Siapa yang begitu berani main teriak di wilayahku. Aku berjalan dengan langkah lebar keluar dari ruanganku, diikuti Beni, Alex dan beberapa anak buah Beni. Tampak di luar, berdiri beberapa pria dengan memakai kaos hitam, berjalan hilir mudik, mondar mandiri, entah menunggu siapa.  "Begitukah cara orang tuamu mendidikmu? M
Magbasa pa
What Step?
Richard terhuyung ke kanan menerima tamparan kerasku di pipi kirinya. Aku terengah. Meredakan amarah Richard tak semudah yang aku kira. Tubuhnya yang tinggi besar, membuatku menguras tenaga yang tidak sedikit.   Pria itu jatuh terduduk, mengusap darah yang keluar di sudut kiri bibirnya, nafasnya sama sepertiku, terengah-engah. Pertarungan  antara Beni, Andrew dan yang lainnya masih berlangsung sengit. Lelaki separuh baya, saudara sepupu ayah, yang aku sendiri lupa namanya, karena sangat jarang berinteraksi, berusaha bangkit. Mengharapkan bantuan dari anak buahnya, namun tidak seorangpun datang karena masing-masing sedang berkonsentrasi mengalahkan lawannya. "Hendak kemana, Oom?" tanyaku sarkas, sambil terus berusaha mengingat nama pria di hadapanku.   "Butuh bantuan Satya?"  Pria itu mencelos dengan tatapan marahnya. Aku mengedikkan bahuku. Aku menatap ke arah Beni yang masih terlibat pertarungan sengit dengan Si Hidung B
Magbasa pa
PREV
123456
DMCA.com Protection Status