All Chapters of Rest Area: Chapter 11 - Chapter 20
41 Chapters
11. Tragedi Cilok Adoel
Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada
Read more
12. Rasa Bersalah
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Read more
13. KTP Sebagai Jaminan
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.
Read more
14. Tamu Tak Diundang
Rumahku itu mungil banget. Hanya terbagi dalam enam ruangan: tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap dengan ruang TV, satu kamar mandi, dan satu dapur yang lumayan luas karena dibagi dengan tempat nyuci baju dan nyuci piring. Suara apapun--termasuk suara jangkrik--di luar rumah bakal terdengar nyaring sampai ke dapur. Meski sekarang posisiku sedang di kamar mandi dan suara air ikut menciptakan paduan suara yang merdu, suara tamu tak di undang di luar juga masih terdengar jelas. Dia kayak nggak sabaran mengucapkan salam sambil gedor-gedor pintu. Mungkin dia mikirnya aku tuli, tapi serius ini aku lagi berkepentingan di WC dan nggak bisa diganggu gugat."April ada di dalem, A. Tunggu aja. Tadi udah pulang," teriak Bi Nani, tetanggaku.Ah, ya. Rumah mungilku ini adalah satu-satunya rumah yang menghadap ke barat. Letaknya juga di atas. Ada tanjakan untuk kendaraan pribadi. Lalu, ada teras yang nggak cukup luas. Bi Nani rumahnya menghadap utara, berhada
Read more
15. Alan Suka Aku?
Malam minggu adalah malam di mana para jomblowan dan jomblowati bergelung di selimut ditemani ponsel yang menyala. Jangan pikir mereka sibuk berbalas pesan dengan orang lain di sosial media, yang ada mereka sedang scrool-scrool halaman Raja Quotes.Terkecuali aku. Sebagai jomblowati yang keren dan memiliki hati setegar tiang listrik, aku anti kesepian. Ponselku ramai kayak ada organ dangdut di mana para warga bakal berkumpul. Grup chat dengan kedua sahabatku sudah nyampe 999+. Grup chat kelas sudah nyampe 999+. Ponselku sampai error saking banyaknya chat yang masuk.Niara : VcDisa : Yo pidah lineMe : BentarDisa : Cepet elahMe : sabar woyNiara : ayoMe : Yo pindahObrolan pindah ke aplikasi Line. Biar kita bisa video call bertiga. Disa memulai lebih dulu. Sedangkan, aku kini sibuk mencari-cari senter. Kenap
Read more
16. Pusing Pala Berbi
Pagi itu matahari terik sekali. Oktober yang biasanya dikenal dengan musim hujan, malah menampakkan bola api panas yang memancar ke setiap sudut bumi. Langit sama sekali nggak menumpahkan tangis saat menyaksikan salah satu penghuni bumi ditimbun tanah dan ditaburi bunga. Yang ada malah hujan dari mata yang merembes sejak tadi. Berkali-kali dipaksa berhenti, air sialan itu tetap saja membasahi pipi.Mati rasa. Aku mengalami itu. Aku nggak bisa melakukan apapun lagi selain menangis. Apalagi ketika aku melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Wajah damai yang menampakkan senyum terbaiknya. Namun, itu hanya sebentar. Sebentar sekali. Wajah itu kembali ditutupi kain kafan. Begitu cepat. Seolah-olah orang yang membukakan kain itu melarangku menatap wajah Bapak terlalu lama. Dia pun tak memberiku kesempatan untuk memeluk jasad Bapak. Dia tak memperbolehkanku mengotori kain bersih itu dengan air mataku. Katanya, air mataku haram untuk membekas di sana. Karena Bapak mungkin saja
Read more
17. Jatuh Cinta
Alan benar-benar menepati janjinya untuk menjemputku di kantor. Sepuluh menit sebelum aku keluar, dia sudah datang. Kini dia masih asyik bercakap-cakap dengan Pak Galih, tukang parkir. Aku melambaikan tangan padanya seraya mendekat. Alan yang menyadari kalau aku sudah selesai bekerja langsung tersenyum padaku. Gila! Baru kali ini aku melihat senyum lebar Alan. Biasanya mukanya itu kan selalu dihiasi kesinisan yang hakiki."Mau makan dulu, Pril?" tanyanya."Nggak.""Makan dululah. Aku tahu kamu pasti capek."Kiamat 2018 kalau Alan bisa semanis ini. Aku cuma mesem-mesem. Lalu, kami pamitan pada Pak Galih. Aku menerima helm yang diberikan Alan. Selanjutnya, motor Beat Alan membelah jalanan Jatiwangi. Suasana masih cukup gerah, Sist. Namun, hatiku hangat-hangat saja nggak sampai mencapai suhu maksimal dan membuat kebakaran."Kita mau makan di mana?" tanyaku ketika motor Alan sudah melewati lampu merah. Biasanya tempat tongkrongan yan
Read more
18. Kehilangan
Entah sudah hari keberapa Alfa menghilang. Status WA-nya masih menampilkan laptop merek Acer dengan label DIJUAL dan selalu ia perbarui harganya. Hari demi hari dia rutin meng-update perubahan harga laptopnya yang kian menurun. Kini berada pada harga satu juta rupiah. Gila! Padahal saat pertama ia mengunggah foto itu, harga yang ia tawarkan yaitu empat juta rupiah.WA Alfa selalu aktif. Namun, dia tak pernah membalas pesanku. Terakhir kali dia membalas pesanku ketika aku baru saja memberitahunya kalau aku sedang jatuh cinta pada seseorang. Malam itu, niatnya aku mau menceritakan tentang Alan, tapi Alfa malah kabur dan nggak membalas lagi pesanku. Dia membuat alasan akan pergi bersama temannya. Kukatakan padanya, balesnya kapan aja pokoknya aku mau cerita. Dan tampaknya dia belum membaca pesan itu hingga kini.Jujur saja aku merasa kehilangan. Aku seperti telah ditinggalkan oleh sahabatku. Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Ditinggalkan tanpa alasan yang jelas
Read more
19. Hancur
Aku pernah kecewa sama Disa. Hal itulah yang membuat aku nggak menaruh kepercayaan lagi padanya. Karena itu juga aku selalu berpura-pura menerimanya. Selain karena Niara yang sayang pada Disa, juga karena Disa yang baik padaku. Makanya lambat laun aku mulai bisa menerima kehadirannya. Meski tak sepenuhnya menyayanginya.Dulu, Disa pernah membuat ulah. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia tengah berlangsung, dia malah berdebat dengan Niara. Aku nggak terlalu jelas mendengarkan inti masalah mereka. Karena saat itu fokusku berhamburan. Suasana kelas ramai karena guru Bahasa Indonesia sedang memutar film di depan. Jarak mejaku juga lumayan jauh dengan mereka, karena saat itu aku nggak satu kelompok dengan mereka. Aku cuma memerhatikan dari jarak yang cukup jauh. Hingga tiba-tiba keduanya berhenti berdebat dan Disa pindah tempat duduk menjadi di pojok. Kulihat Niara kembali fokus ke film yang sudah diputar dan Disa malah memainkan ponsel.Esoknya, ada yang berubah dari s
Read more
20. Pernyataan Sebenarnya
Pikiranku dipenuhi oleh Niara dan kata-katanya yang menyakitkan itu. Aku tidak bisa fokus bekerja seperti biasanya. Ditambah lagi dengan Disa yang dari tadi meneleponku. Dia mau ngajak ribut lagi atau bagaimana? Aku malas meladeninya, karena nanti ujung-ujungnya dia pergi meninggalkan aku dan Niara lagi. Oh, atau nanti dia perginya sama Niara, meninggalkan aku yang terpuruk di sudut bumi.Disa: April, tolong angkat teleponkuDisa kembali mengirimi pesan. Namun, aku masih malas untuk membalasnya ataupun menjawab panggilannya. Aku benar-benar malas untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin pulang. Dan keinginanku akan tercapai dalam waktu lima belas menit. Sebentar lagi ... dan aku akan tidur untuk melupakan semua yang terjadi hari ini. Melupakan Alan yang menjadi alasan keributan ini terjadi. Melupakan Niara yang masih mendiamkanku dengan alasan yang tidak jelas. Melupakan Disa dan perkataannya yang seolah menyudutkanku. Ah, andai saja aku memiliki gangguan ingatan
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status