Share

11. Tragedi Cilok Adoel

Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.

Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya adalah ayahnya diundang datang pada acara pelantikan kenaikan pangkat. Ketika sudah berkumpul di tempat acara, ayahnya tak juga terpanggil. Dan ternyata ayahnya memang tak dinaikkan pangkatnya. Surat yang datang ke rumahnya itu ternyata salah alamat. Itulah alasan kenapa Ikal membenci kantor pos. Karena surat itu membuat ayahnya kecewa. Aku mewek sambil lap ingus di scene itu.

Kesalahan itu jarang sekali terulang di era sekarang. Teknologi mempermudah segalanya. Jika dulu keberadaan surat di kantor pos tak dapat dilacak di mana keberadaannya. Sekarang setiap barang atau surat yang dikirim melalui kantor pos dapat diketahui telah sampai di mana. Sekarang sistem pengiriman barang tercatat oleh komputer. Pilihan paketnya juga banyak. Ada yang paling cepat dan paling mahal, yaitu Pos Express. Pos Express datang ke tempat tujuannya cuma satu hari. Jadi, kalau aku ngirim surat hari ini, besoknya udah bisa dibaca sama doi. Ada Paket Kilat Khusus, sampai sekitar tiga hari. Ada Paket Pos Biasa yang paling murah meriah. Paket Pos Biasa sesampainya di tempat. Paling lama satu minggu.

Perangko kini sudah jarang sekali digunakan. Pengiriman surat memakai perangko cuma buat surat ke PO Box. Iya yang undian-undian gitu, lho. Soalnya ngirimnya pasti berpuluh-puluh surat. Bedanya sistem tercatat sama perangko itu kalau perangko sampainya lama banget nggak ditentukan berapa hari dan nggak bisa dilacak sudah sampai atau belum. Namun, perangko itu murah meriah cuma tiga ribu rupiah.

Kantor pos sudah bertransformasi sedemikian pesat. Di daerahku, kantor pos bukan cuma media pengiriman surat dan barang. Ngirim motor dan mobil juga bisa. Mau kirim mantan sekalian? Bisa, lho. Karungin aja atau dimasukin kardus. Dijamin kalau pake Paket Kilat Khusus yang tiga hari langsung megap-megap itu mantan kalian.

Kantor pos bisa juga sebagai media pengiriman uang. Baik lokal maupun Internasional. Juga bisa sebagai media pembayaran listrik, pajak, BPJS, angsuran kredit mobil dan motor, dan pembayaran lainnya. Bisa nabung juga di sana pakai rekening Bank BTN. Ada materai 3000 dan 6000. Aku PKL di kantor pos jadi pedagang materai 6000. Satu lembar itu isi lima puluh biji. Satu pak itu isinya sepuluh lembar. Jadi, kalau penjualannya laris manis aku bakal menghitung uang sebanyak tiga juta rupiah.

Pukul 12.00 WIB aku keluar untuk membeli jajanan di Posong. Orang-orang memanggilnya Posong entah karena kenapa. Padahal di situ nama desanya Mekarsari. Posong itu Jakarta mininya Majalengka. Jalanannya sempit karena banyak motor dan mobil suka lewat situ. Bangunan rumahnya tinggi-tinggi. Bisa dikatakan bangunan itu apartemen kecil-kecilan. Jadi, mirip dikitlah sama Jakarta.

Di warung mungil tempat biasa aku membeli es seduh sudah ada empat manusia berseragam putih abu-abu. Dua orang dari mereka aku kenal. Itu Ozan dan Januari. Duh, dosa apa aku hari ini sampai ketemu alien itu di warung?

"Hai, April," sapa Januari. Mukanya dibuat berseri-seri dan seketika aku ngeri sendiri. Angin dari Barat Daya mungkin menggeserkan otak Januari sedikit hingga membuat dia kelihatan kayak pasien rumah sakit jiwa.

"Masih waras?" tanyaku was-was.

"Alhamdulillah sehat walafiat tanpa cacat sedikit pun. Kamu sendiri? Masih gila?"

Aku melotot mendengar pertanyaannya. Kudekati dia dan kutendang lagi tulang keringnya kayak waktu itu. Dia meringis menahan nyeri.

"Duh, kudu jaga jarak aman kalau sama Bernard."

"Apa kamu bilang?"

"Shaun The Seep."

"Dasar Tokek!"

Aku tak lagi menghiraukan mereka. Fokusku kini pada penjual cilok yang sudah mendunia. Cilok Adoel. Entah penjualnya bernama Adoel atau anaknya bernama Bedul. Yang pasti cilok Adoel ini sudah membuka cabang di mana-mana. Aku kenal cilok ini sejak SMP. Sampai sekarang ini cilok nggak bangkrut-bangkrut. Keren, kan?

"Mang, tiga ribu yang pedes," kataku. Si Mamang cuma ngangguk. Mita yang sedari tadi diam cuma ikut saja. Aku memesan cilok dengan cabe bubuk dua sendok dan saos banyak dia fine-fine aja. Mungkin dia lagi PMS kali sampai males ngomong. Atau mungkin dia lagi terpesona sama anak-anak STM di ....

"Mang, cilok tiga ribuan empat. Jangan pedes-pedes," kata Ozan. W-O-W, jadi dari tadi si Mita membisu karena Ozan? Gila, mata Mita udah mau keluar dari kelopaknya ngelihatin Ozan terus. Bahaya ini kalau dia sakit mata.

"Eh, Zan."

"Eh, kita saling kenal? Kok, tahupanggilan aku?"

Huasyem. Aku jadi kayak orang SKSD banget sok-sokan panggil nama sedangkan yang dipanggil kagak kenal siapa aku. Hiks.

"Aku temen Zia. Yang kemarin-kemarin ke rumah Zia dan kalian lagi makan rujak, kan?" Oke, April, demi iler Mita yang bentar lagi mau netes. Kamu kudu membiarkan harga dirimu menggelinding di tanah.

"Oh, iya. April."

"Kenalin, Zan. Ini temenku. Namanya Mita." Aku menyenggol bahu Mita. Seketika Mita sadar dari kecengoannya.

"Hai, Mita."

Mita mesem-mesem. Lalu dia menjawab sapaan Ozan. "Hai."

Udah? Gitu aja?

"Neng, dicolok apa ditaliin?"

Si Mamang pertanyaannya ambigu gini. Aku menoleh pada Mamang cilok. "Apanya, Mang?"

"Ini ciloknya mau ditaliin?"

"Cilok bisa ditaliin?" Yaelah, kok aku jadi ikut-ikutan gaje begini.

"Plastiknya, Neng."

"Oh. Iya."

Usai bertransaksi dengan Mamang cilok, aku nggak segera meninggalkan tempat.

"A, ini plastiknya ditaliin?" Si Mamang sekarang nanya sama Ozan.

"Punya Januari dicolok, Mang."

Mita sudah menarik-narik tanganku buat pergi. Namun, sebuah ide brilian yang tiba-tiba muncul membuat aku enggan beranjak dari sana. Kesempatan muncul ketika Ozan pamit sebentar pada Mamang cilok karena uangnya ternyata kurang seribu.

"Mang, punya Januari itu yang dicolok alias nggak ditaliin plastiknya tambahin lagi cabai bubuknya," kataku.

"Tadi kata si Aa udah cukup segini aja."

"Ih, dia sms aku katanya punya temennya kurang pedes. Sini, deh, aku tambahin aja."

Aku mengambil cabai bubuk sebanyak empat sendok dari wadah. Mampus kau Januari. Selamat mangkal di WC berjam-jam.

"Ayo, Mit, balik," ajakku pada Mita sambil menggandeng tangannya.

Selepas memakan cilok dengan khidmat aku kembali ke meja kerja. Aku dan Mita kembali fokus mengisi berlembar-lembar formulir western union. Di sela-sela kegiatan kami, Mita membuka pembicaraan.

"Tadi anak STM?"

"Iya. Suka sama Ozan, ya?" Aku menggodanya dan dia shy shy cat gitu. Idih, first sight love gini-gini amat. Aku jadi ngeri melihat Mita yang tiba-tiba memandang langit-langit kantor pos sambil senyum-senyum. Number emergency berapa digit? Tolong pencet sebelum Mita kesambet dan kejang-kejang di sini.

"Ganteng," katanya. Pandangannya masih tertuju pada langit-langit. Ya ampun, warna putih di plafon aja dia bilang ganteng. Apa kabar otaknya?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status