Home / Young Adult / Rest Area / 11. Tragedi Cilok Adoel

Share

11. Tragedi Cilok Adoel

Author: Desimala
last update Last Updated: 2021-04-12 10:53:58

Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.

Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya adalah ayahnya diundang datang pada acara pelantikan kenaikan pangkat. Ketika sudah berkumpul di tempat acara, ayahnya tak juga terpanggil. Dan ternyata ayahnya memang tak dinaikkan pangkatnya. Surat yang datang ke rumahnya itu ternyata salah alamat. Itulah alasan kenapa Ikal membenci kantor pos. Karena surat itu membuat ayahnya kecewa. Aku mewek sambil lap ingus di scene itu.

Kesalahan itu jarang sekali terulang di era sekarang. Teknologi mempermudah segalanya. Jika dulu keberadaan surat di kantor pos tak dapat dilacak di mana keberadaannya. Sekarang setiap barang atau surat yang dikirim melalui kantor pos dapat diketahui telah sampai di mana. Sekarang sistem pengiriman barang tercatat oleh komputer. Pilihan paketnya juga banyak. Ada yang paling cepat dan paling mahal, yaitu Pos Express. Pos Express datang ke tempat tujuannya cuma satu hari. Jadi, kalau aku ngirim surat hari ini, besoknya udah bisa dibaca sama doi. Ada Paket Kilat Khusus, sampai sekitar tiga hari. Ada Paket Pos Biasa yang paling murah meriah. Paket Pos Biasa sesampainya di tempat. Paling lama satu minggu.

Perangko kini sudah jarang sekali digunakan. Pengiriman surat memakai perangko cuma buat surat ke PO Box. Iya yang undian-undian gitu, lho. Soalnya ngirimnya pasti berpuluh-puluh surat. Bedanya sistem tercatat sama perangko itu kalau perangko sampainya lama banget nggak ditentukan berapa hari dan nggak bisa dilacak sudah sampai atau belum. Namun, perangko itu murah meriah cuma tiga ribu rupiah.

Kantor pos sudah bertransformasi sedemikian pesat. Di daerahku, kantor pos bukan cuma media pengiriman surat dan barang. Ngirim motor dan mobil juga bisa. Mau kirim mantan sekalian? Bisa, lho. Karungin aja atau dimasukin kardus. Dijamin kalau pake Paket Kilat Khusus yang tiga hari langsung megap-megap itu mantan kalian.

Kantor pos bisa juga sebagai media pengiriman uang. Baik lokal maupun Internasional. Juga bisa sebagai media pembayaran listrik, pajak, BPJS, angsuran kredit mobil dan motor, dan pembayaran lainnya. Bisa nabung juga di sana pakai rekening Bank BTN. Ada materai 3000 dan 6000. Aku PKL di kantor pos jadi pedagang materai 6000. Satu lembar itu isi lima puluh biji. Satu pak itu isinya sepuluh lembar. Jadi, kalau penjualannya laris manis aku bakal menghitung uang sebanyak tiga juta rupiah.

Pukul 12.00 WIB aku keluar untuk membeli jajanan di Posong. Orang-orang memanggilnya Posong entah karena kenapa. Padahal di situ nama desanya Mekarsari. Posong itu Jakarta mininya Majalengka. Jalanannya sempit karena banyak motor dan mobil suka lewat situ. Bangunan rumahnya tinggi-tinggi. Bisa dikatakan bangunan itu apartemen kecil-kecilan. Jadi, mirip dikitlah sama Jakarta.

Di warung mungil tempat biasa aku membeli es seduh sudah ada empat manusia berseragam putih abu-abu. Dua orang dari mereka aku kenal. Itu Ozan dan Januari. Duh, dosa apa aku hari ini sampai ketemu alien itu di warung?

"Hai, April," sapa Januari. Mukanya dibuat berseri-seri dan seketika aku ngeri sendiri. Angin dari Barat Daya mungkin menggeserkan otak Januari sedikit hingga membuat dia kelihatan kayak pasien rumah sakit jiwa.

"Masih waras?" tanyaku was-was.

"Alhamdulillah sehat walafiat tanpa cacat sedikit pun. Kamu sendiri? Masih gila?"

Aku melotot mendengar pertanyaannya. Kudekati dia dan kutendang lagi tulang keringnya kayak waktu itu. Dia meringis menahan nyeri.

"Duh, kudu jaga jarak aman kalau sama Bernard."

"Apa kamu bilang?"

"Shaun The Seep."

"Dasar Tokek!"

Aku tak lagi menghiraukan mereka. Fokusku kini pada penjual cilok yang sudah mendunia. Cilok Adoel. Entah penjualnya bernama Adoel atau anaknya bernama Bedul. Yang pasti cilok Adoel ini sudah membuka cabang di mana-mana. Aku kenal cilok ini sejak SMP. Sampai sekarang ini cilok nggak bangkrut-bangkrut. Keren, kan?

"Mang, tiga ribu yang pedes," kataku. Si Mamang cuma ngangguk. Mita yang sedari tadi diam cuma ikut saja. Aku memesan cilok dengan cabe bubuk dua sendok dan saos banyak dia fine-fine aja. Mungkin dia lagi PMS kali sampai males ngomong. Atau mungkin dia lagi terpesona sama anak-anak STM di ....

"Mang, cilok tiga ribuan empat. Jangan pedes-pedes," kata Ozan. W-O-W, jadi dari tadi si Mita membisu karena Ozan? Gila, mata Mita udah mau keluar dari kelopaknya ngelihatin Ozan terus. Bahaya ini kalau dia sakit mata.

"Eh, Zan."

"Eh, kita saling kenal? Kok, tahupanggilan aku?"

Huasyem. Aku jadi kayak orang SKSD banget sok-sokan panggil nama sedangkan yang dipanggil kagak kenal siapa aku. Hiks.

"Aku temen Zia. Yang kemarin-kemarin ke rumah Zia dan kalian lagi makan rujak, kan?" Oke, April, demi iler Mita yang bentar lagi mau netes. Kamu kudu membiarkan harga dirimu menggelinding di tanah.

"Oh, iya. April."

"Kenalin, Zan. Ini temenku. Namanya Mita." Aku menyenggol bahu Mita. Seketika Mita sadar dari kecengoannya.

"Hai, Mita."

Mita mesem-mesem. Lalu dia menjawab sapaan Ozan. "Hai."

Udah? Gitu aja?

"Neng, dicolok apa ditaliin?"

Si Mamang pertanyaannya ambigu gini. Aku menoleh pada Mamang cilok. "Apanya, Mang?"

"Ini ciloknya mau ditaliin?"

"Cilok bisa ditaliin?" Yaelah, kok aku jadi ikut-ikutan gaje begini.

"Plastiknya, Neng."

"Oh. Iya."

Usai bertransaksi dengan Mamang cilok, aku nggak segera meninggalkan tempat.

"A, ini plastiknya ditaliin?" Si Mamang sekarang nanya sama Ozan.

"Punya Januari dicolok, Mang."

Mita sudah menarik-narik tanganku buat pergi. Namun, sebuah ide brilian yang tiba-tiba muncul membuat aku enggan beranjak dari sana. Kesempatan muncul ketika Ozan pamit sebentar pada Mamang cilok karena uangnya ternyata kurang seribu.

"Mang, punya Januari itu yang dicolok alias nggak ditaliin plastiknya tambahin lagi cabai bubuknya," kataku.

"Tadi kata si Aa udah cukup segini aja."

"Ih, dia sms aku katanya punya temennya kurang pedes. Sini, deh, aku tambahin aja."

Aku mengambil cabai bubuk sebanyak empat sendok dari wadah. Mampus kau Januari. Selamat mangkal di WC berjam-jam.

"Ayo, Mit, balik," ajakku pada Mita sambil menggandeng tangannya.

Selepas memakan cilok dengan khidmat aku kembali ke meja kerja. Aku dan Mita kembali fokus mengisi berlembar-lembar formulir western union. Di sela-sela kegiatan kami, Mita membuka pembicaraan.

"Tadi anak STM?"

"Iya. Suka sama Ozan, ya?" Aku menggodanya dan dia shy shy cat gitu. Idih, first sight love gini-gini amat. Aku jadi ngeri melihat Mita yang tiba-tiba memandang langit-langit kantor pos sambil senyum-senyum. Number emergency berapa digit? Tolong pencet sebelum Mita kesambet dan kejang-kejang di sini.

"Ganteng," katanya. Pandangannya masih tertuju pada langit-langit. Ya ampun, warna putih di plafon aja dia bilang ganteng. Apa kabar otaknya?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rest Area   41. Ada Yang Berubah

    Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah

  • Rest Area   40. Oppa Korea

    Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An

  • Rest Area   39. Kebingungan

    Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan

  • Rest Area   38. Gibah

    Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak

  • Rest Area   37. Diskusi

    “Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti

  • Rest Area   36. Emosi

    Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.

  • Rest Area   35. Cemburu

    Pukul sepuluh malam, mereka masih berada di rumahku sambil memakan gorengan yang kini tersisa beberapa buah. Aku duduk menghadap televisi yang menampilkan film action. Di sebelahku ada Januari dan Anetta. Entah kenapa cewek itu mengintili Januari terus. Bahkan saat Januari ke warung untuk membeli minuman dingin pun dia ikut, sudah seperti anak kecil yang takut ditinggalkan emaknya. Ozan, Rival, dan Zia duduk melingkari meja. Hanya Zia dan Rival yang mengobrol, sedangkan Ozan rupanya sedang video call dengan Mita.“Ah, sial!” Lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Januari, disusul dengan teriakan Anetta. Rupanya film itu menampilkan adegan tabrak-menabrak antar mobil sampai salah satu lawannya jatuh ke jurang. Aku tidak tahu judul film yang sedang ditayangkan ini apa. Biasanya di sudut televisi ditampilkan, tapi sekarang enggak.Aku sebenarnya tidak terlalu suka film yang bikin jantung dag-dig-dug alias film laga. Berbeda dengan Januari yang sepertinya sangat m

  • Rest Area   34. Canggung

    Melihat Januari tadi sore mengerjakan laporan PKL, aku jadi ketar-ketir karena belum mempersiapkan apapun. PKL tinggal sebulan lagi dan aku bingung harus melaporkan apa. Karena sudah kubilang sejak awal kalau kerjaanku di kantor pos cuma jualan materai dan jadi cewek bucin yang mengejar cowok bernama Januari. Hehe.Aku mengambil ponsel yang baru kuisi daya. Lalu, menelpon Niara dan Disa di grup untuk mendiskusikan masalah laporan ini.“Kamu lagi apa, Dis?” Aku memulai pembicaraan karena sedari tadi dua sahabatku ini diem terus kayak lagi ngemut permen. Mungkinkah Niara masih merasa canggung karena masalah Alan tempo itu?“Aku lagi main, Pril. Ini ‘kan malam Minggu,” jawab Disa. Suara bising dari knalpot kendaraan berikut klaksonnya menjadi latar suara Disa. Untungnya kupingku nggak budek, jadi masih bisa mendengarkannya.“Ugh, yang punya pacar mah beda. Kamu juga lagi malem Mingguan, Ra?” Aku memancing Niara untuk bicara. Namun, jawaban Niara hanya sebuah deh

  • Rest Area   33. Terciduk

    Begitu sampai di depan kantor pos, aku melihat motor Supra yang sering dibawa Januari terparkir rapi. Sudah dipastikan Ozan yang membawanya ke sini."Ngapain itu orang mangkal di depan kantor pos?" Aku turun dari motor Januari dan mendekati si Supra sambil celingukan mencari empunya."Paling abis nganter bebebnya," jawab Januari asal. Ia menerima helm yang kuberikan dan bersiap untuk pergi ke tempatnya PKL. "Udah, ya. Nanti sore aku tungguin di tempat tongkrongan.""Di mana?""Itu di tempat Wi-Fi."Aku mengacungkan jari jempol.Kantor pos masih sepi padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Mungkin karena ini akhir bulan. Kantor pos ramai hanya saat awal bulan saja, karena ada ratusan pensiunan yang mengambil gaji pensiun. Juga awal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status