Semua Bab Andai Semua Berbeda: Bab 181 - Bab 190
237 Bab
180. Sampai Kapan?
Jaka duduk di depan Arnon dan Fea. DIa tampak bersemangat datang dan bertemu dengan Arnon. Harapannya kembali melebar, kegagalan yang dia lalui akan menemukan cara untuk kembali membuat dia bangkit. "Baiklah, kita mulai saja." Arnon memperhatikan Jaka. "Ya, Arnon. Kita lanjutkan yang kita sudah bicarakan kemarin," ucap Jaka. Fea hanya duduk dan mendengar. Dia biarkan dua pria itu masuk dalam percakapan serius untuk memulai usaha bersama. Hati Fea berdebaran meskipun pelan. Suaminya telah kembali. Fea terus menatap Arnon, bahkan hampir tidak dia perhatikan apa yang Arnon ucapkan. Dia fokus memandang suaminya saja. "Jadi seperti itu. Kurasa ini yang paling mungkin kita mulai. Kalau menurut kamu, Fea?" Arnon mengarahkan pandangan pada Fea. Fea terkejut mendengar namanya disebut, dia sedikit gelapan. "Eh, gimana, Ar?" Arnon mengerutkan kening. "Kamu dari tadi serius mendengarkan kami. Gimana pendapat kamu? Lebih baik kita mulai akhir bulan
Baca selengkapnya
181. Aku Sakit
Fea segera membawa Arfen ke kamar mandi dan membersihkannya. Arfen masih muntah beberapa kali sampai hanya air sedikit yang keluar. Arfen menangis karena merasa tidak karuan di perut dan dadanya. Selesai dari kamar mandi, Fea mengganti pakaian Arfen. Bu Wati datang dengan minuman hangat buat Arfen. Bocah itu mulai terlihat pucat, tangan dan kakinya dingin. Fea membaringkan dia di atas kasur, dan mengusapkan minyak hangat di dada dan perutnya."Nyonya, aku buatkan bubur saja, ya? Perut Arfen kosong, harus segera diisi." Bu Wati bicara sambil terus memperhatikan Arfen yang tampak lemas."Iya, Bu. Setelah itu aku kasih dia obat," Fea mengusap dahi Arfen lembut. "Mulai Panas ini. Kamu kenapa, ya?""Di sini, Ma ..." Arfen meraih tangan Fea dan meletakkan di perutnya."Oke, nanti Mama kasih obat, tapi Arfen makan dulu. Ya?" Fea merasa iba melihat Arfen lemas dan tidak bersemangat.Arfen hanya mengangguk kecil."Ini, kita main ya,
Baca selengkapnya
182. Pelukan Hangat Papa
Fea memandang Arnon yang tidak bergerak, tetap diam di tempatnya. Tatapan wajahnya terlihat beda. Fea mendekat dan menyentuh bahu Arnon. "Arnon, kamu baik-baik?" Fea melihat air mata hampir tumpah di ujung mata Arnon. Arnon mengerjap beberapa kali, lalu menaik nafas panjang. "Ya, ga apa-apa." Arnon memaksa dia kembali pada apa yang ada di depannya. Arfen, bocah itu juga melihat padanya. Arnon mendekat, lalu dia peluk Arfen sambil mengusap kepalanya. "Kamu masih panas. Sakit? Yang mana yang sakit?" tanya Arnon. Suaranya sedikit gemetar. "Ini, Papa. Perutku sakit." Suara serak Arfen terdengar lemah. "Kita berdoa, biar kamu cepat sehat. Oke?" Arnon masih memeluk Arfen. Dia mengucapkan doa meminta Tuhan memberi kesembuhan buat anaknya. Fea merasakan dadanya meletup-letup. Arnon memeluk Arfen dan berdoa buatnya. Ini yang dulu Arnon suka lakukan. Dia memeluk anak-anaknya dan mendoakan mereka, hampir setiap pagi atau malam. Apakah Arn
Baca selengkapnya
183. Kebencian yang Kembali Muncul
Fea merasa ada sentuhan di tangannya. Dia membuka mata dan mengangkat wajahnya. Arfen memandang padanya dengan wajah sedikit pucat."Hei, Sayang ... Sudah bangun?" Fea menegakkan badan."Mau minum." Arfen terbangun dan merasa haus. Fea mengambil gelas, menuang dengan air dan memberi Arfen minum. Bocah itu meneguk isi gelas hingga setengah. Fea memegang dahi Arfen, sudah tidak sepanas semalam. "Perut kamu masih sakit?" tanya Fea."Sedikit. Aku mau es krim, Mama," kata Arfen."Tidak bisa, Sayang. Arfen harus sembuh dulu, baru bisa makan es krim." Fea mengusap rambut dan kening Arfen lembut."Kalau susu?" tanya Arfen."Belum bisa juga." Fea menggeleng."Aku mau sembuh, Mama." Mata Arfen berkaca-kaca."Tentu, Arfen akan segera sembuh. Ini sudah tidak panas, sakit perut tinggal sedikit. Pasti segera sembuh. Ya?" Fea tersenyum.Arfen mengangguk. Lalu dia bertanya, "Aku ga sekolah juga?"Fea men
Baca selengkapnya
184. Memori Itu
Wajah ceria Irvan mendadak lenyap. Kalimat tajam dan penuh kekesalan dari Arnonn membuat Irvan bingung. Dia melihat Arnon dengan mengerutkan kening, lalu beralih melihat Fea dan Stefi yang juga tampak tegang."Sudah kukatakan padamu, Fea tidak cinta sama kamu. Dia kembali ke rumah yang benar, berada di sisiku." Tatapan Arnon masih tajam pada Irvan.Fea seketika menjadi merah padam. Memori itu, saat dia sudah bersedia menjadi kekasih Irvan, lalu Arnon mengejarnya, mengajaknya menikah, dan terpaksa dia memutuskan hubungan dengan Irvan, kembali memenuhi benaknya. Tiba-tiba saja muncul rasa tidak nyaman di dada Fea."Arnon, kita harus bicara. Ikut aku," Fea menggandeng tangan Arnon dan sedikit menarik tangan Arnon agar mengikutinya."Hentikan, Fea!" sentak Arnon. "Bukankah ini kebetulan yang sangat baik? Di depan mantanmu ini, katakan, kamu tidak akan kembali padanya, bukan? Kamu hanya akan bersamaku, menikah denganku, karena kamu cinta padaku.""Arnon
Baca selengkapnya
185. Menagih Janji
"Baiklah, sepertinya memang saatnya Muti pulang. Ayo, Sayang." Stefi mengusap kepala, Mutiara mengajak putrinya pulang."Terima kasih sudah jenguk Arfen, ya?" Fea tersenyum manis pada Mutiara."Sama-sama, Tante. Bye semuanya ..." Mutiara memegang tangan Stefi dan mengikuti langkah mamanya keluar kamar itu."Aku juga balik dulu. Satu jam lagi ada meeting. Kamu ga ngantor, Arnon?" Irvan berdiri.."Kurasa hari ini kepalaku tidak bisa berpikir berat setelah melihat kamu di dekat istriku," ujar Arnon.Irvan tertawa kecil. "Masih saja bercanda. Okelah, semoga cepat sembuh, Arfen! Kalau sudah sembuh, ajak papa kamu jalan-jalan," ujar Irvan. Dia melambai pada si kembar lalu berjalan cepat mengejar Stefi dan Mutiara."Akhirnya sepi lagi." Arnon melihat pada Fea dan si kembar. Arfen berbaring di ranjang, sedang Fernan duduk di sebelah ranjang."Hai, Cucu ganteng! Pulang sekolah?" Arnon menoleh mendengar suara itu. Arnella masuk ke
Baca selengkapnya
186. Di Pantai Akhirnya
"Fernan! Tunggu!" Teriakan Arfen terdengar lirih. Kalah dengan deburan ombak yang bergantian menerjang pantai. "Ayo, sini!" panggil Fernan sambil melambai. Arnon di belakang keduanya, mengawasi mereka bermain di pinggir pantai. Sedang Fea duduk di bawah pohon tak jauh dari tenda mereka, memperhatikan keseruan bapak dan anak itu.  "Jangan jauh-jauh, Fernan!" Terdengar Arnon berteriak. Fea menghentikan tangannya yang sedang merapikan rambut, menatap pada Arnon dan Fernan. Tidak lama terdengar tawa mereka meledak. "Ah, tidak apa-apa. Mereka baik-baik saja," gumam Fea. Seperti janjinya, Arnon akhirnya membawa keluarganya menikmati liburan. Anak-anak mendapat libur sepuluh hari setelah menerima raport tengah semester. Tidak tanggung-tanggung, Arnon membawa mereka ke kota tempat Lukman dan Sherlita. Sudah lama mereka tidak ke sana. Tentu saja, Lukman dan Sherlita sangat gembira Arnon dan keluarganya datang. "Fea!" 
Baca selengkapnya
187. Napas Satu Satu
Fea makin gemetar, tubuhnya terasa oleng. Ada dua pria mendekat dan bertanya apa yang terjadi. Fea menunjuk ke air sambil menceritakan yang dia pikirkan tentang kejadian itu. Kedua pria itu segera ikut terjun ke dalam air dan mencari Fernan.Hingga lima menit berikut, Arnon muncul dengan tubuh mungil dalam pelukannya. Dia terlihat pucat dan cemas. Salah satu pria yang berusaha menolong itu, memegangi Arnon dan sedikit menarik dia agar segera menepi. Satu pria lagi ikut menepi dan membantu. Fea segera mendekat. Mereka membaringkan Fernan yang tidak bergerak di atas pasir di pinggir pantai."Ya Tuhan, tolong anakku ..." doa Fea di dalam hati. Dia berjongkok di sis Arnon yang juga gemetaran. "Fernan ... Fernan ..." Arnon menggoyang-goyang tubuh mungil itu."Maaf, Pak, saya coba berikan bantuan pernapasan." Salah satu pria yang tadi bicara.Arnon menggeser posisinya. Fea segera memeluk Arnon yang lemas. Pria itu mencoba berbagai cara menolong aga
Baca selengkapnya
188. Buka Matamu, Sayang
Ketegangan semakin meningkat. Arnon dan Fea segera menghampiri dokter dan menanya kondisi Fernan. “Saya harus jujur. Kondisi putra Bapak dan Ibu cukup kritis. Kami telah mencoba membersihkan paru-parunya dari pasir yang masuk, tetapi tidak sepenuhnya bersih. Saat ini dia masih sangat lemah. Kami akan menunggu reaksinya. Dari obat-obatan yang telah kami berikan, seperti apa, dari situ kami akan melakukan penanganan selanjutnya." Dokter pria berusia empat puluhan itu menjelaskan. "Dok, kami mohon, lakukan apapun, kami ingin anak kami selamat." Arnon rasanya ingin sekali menjerit mendengar yang dokter katakan. Dia menekan sakit dan sesak yang menyelinap di dadanya. "Tentu, kami akan berusaha semaksimal mungkin." Dokter menegaskan. "Seberapa kemungkinan dia bertahan, Dokter?" Fea bertanya dengan hati seperti tercabik-cabik. Tubuhnya kembali terasa gemetar. Dokter itu menarik napas dalam. "Dalam kasus seperti ini, di bawah lima puluh persen. Tetapi
Baca selengkapnya
189. Tolong Aku, Mama
"UUhhh ..." Kembali lenguhan terdengar dari Fernan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya mulai gemetar."Ya Tuhan ... Fernan!" Fea bangun dari kursinya dan mendekat. "Sayang ... ini Mama. Fernan ...""Fernan mengedipkan matanya. "Uuhhhh ...""Tunggu, Mama panggil suster. Fernan, jangan tinggalin Mama. Fernan, kamu pasti bisa lewati ini!" Fea segera berlari keluar kamar. Dia menuju ke meja jaga perawat."Suster! Anak saya! Tolong anak saya!" Fea berteriak. Dia tidak berpikir lagi jika dia sedang di rumah sakit.Teriakan itu tentu saja membuat perawat yang berjaga dengan cepat menghampiri Fea."Kenapa, Bu?" tanya perawat muda itu."Anak saya, Suster. Dia gemetar, pucat. Tolong, Suster!" ujar Fea dengan tubuh juga mulai gemetar.Ketakutan luar biasa mendera Fea. Fernan kritis. Fea bisa melihat bocah itu semakin sulit bernapas. Bayangan-bayangan buruk mulai berkelana di kepala Fea. Perawat bergerak cepat menuju ke kamar Fern
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1718192021
...
24
DMCA.com Protection Status