All Chapters of Pura-Pura Buta: Chapter 51 - Chapter 60
140 Chapters
Pembicaraan Dengan Om Darwin
 "Kamu yakin tidak ingin pergi ke kantor polisi?" Om Darwin bertanya untuk yang ketiga kalinya padaku.    Aku menggeleng, lalu menatap lekat Om Darwin yang sedang fokus menyetir.   "Kenapa ya, Om kayaknya ngotot sekali ingin Delia pergi ke sana?" tanyaku penasaran.  Om Darwin menoleh sekilas lalu tersenyum. "Nggak apa, cuma penasaran saja. Kamu memangnya tidak ingin tahu, keadaan Lastri setelah ketahuan berpura gila?"   Aku menggeleng kembali. "Lagi malas Om. Mungkin nanti Delia akan ke sana, tapi tidak sekarang," jawabku sambil mengamati jalan raya.    Rencananya, Om Darwin memang akan ke kantor polisi, memberikan keterangan tambahan akan adanya kami yang juga berada di sana, dimana kami ikut menyaksikan apa yang telah terjadi di RSJ tersebut. Kurasa cukup Om Darwin saja y
Read more
Harapan Delia
  "Non yakin menyetir mobil sendiri?" Ada gurat kerisauan di wajah Mbok Yem.   Aku yang ditanya, hanya menganggukkan kepala, mulutku penuh dengan roti yang baru kusuap ke dalamnya.   "Atau minta dijemput sama Pak Darwin saja, Non. Mbok rasa itu lebih aman. Lagipula tujuan kalian 'kan sama--kantor polisi." Matanya menatapku sekilas lalu fokus kembali ke gelas kosong dalam genggamannya. Diletakkan gelas tersebut ke atas meja, dan mengisinya dengan air susu.  Kunyahan di mulutku berhenti seketika, lalu setelahnya aku menggelengkan kepala mengisyaratkan kata 'tidak'.   Mbok Yem mendesah pelan mengetahui jawabanku. "Saya itu khawatir Non kenapa-napa. Kalau begitu suruh Jono saja yang menyetirkan mobil Non Delia," lagi, Mbok Yem tidak menyerah memberikan saran.   Semua yang disarankan
Read more
Kebetulan atau Takdir
  Entah kebetulan atau memang takdir yang mempertemukan kita.   "Delia 'kan?" Kepalaku refleks mengangguk. Senyumnya terbit lebih lebar lagi.   "Masya Allah, cantik. Nggak nyangka ketemu di sini. Ada acara apa memesan gaun dengan Ruby?" Diamatinya penampilanku yang masih mengenakan gaun milik Ruby. Tanganku masih memegang ujung dagu, menahan kerudung yang terpasang di kepala.   Kugelengkan kepala menjawab pertanyaannya. Lidah ini masih Kelu untuk bersuara. Rasanya sulit. Wanita paruh baya di depanku ini malah tersenyum.   "Mama Ira kenal sama Delia?" Ruby tiba-tiba sudah ada di samping Mama Ira--ibunya dokter Ryan.   "Iya, Delia 'kan temannya Ryan," jawabnya masih menatapku lekat.    "Tuh 'kan cantik, ini kerudungnya kenapa dipega
Read more
Kerinduan Mengalahkan Logika
 POV Ryan Samar suara ketukan terdengar dari pintu kamarku.    Mama? Tumben beliau mengetuk dulu, biasanya langsung buka saja. Aku bisa langsung menebak kalau mama lah yang mengetuk pintu, karena kami cuma tinggal berdua.   Dengan gerakan cepat, kulipat sajadah yang baru saja digunakan usai solat subuh dan meletakkannya di atas kasur. Pintu kubuka dan tampaklah wajah Mama di depan tersenyum tipis ke arahku.   "Jam berapa kamu pulang, Yan?" Mama merangsek masuk ke dalam kamar, masih dengan memakai mukena. Dia menggeleng melihat kondisi kamarku yang berantakan.   "Subuh, Ma. Seperti biasanya," jawabku menguap dengan mulut terbuka lebar. Berapa kali mulut ini terbuka dengan sendirinya. Rasa kantuk sudah menjalar memberatkan kedua mataku.   "Ya sudah. Bawalah tidur
Read more
Kejutan Dari Dilan
 Pagi hari kusapa dengan membongkar isi lemari pakaian. Rencana mengambil baju kerja tertunda, akibat mata yang tidak sengaja melihat paper bag dari toko Ruby. Teringat akan isinya yang merupakan gamis pakaian muslimah. Ada niat ingin memakainya. Namun, keraguan masih menelusup di dalam hati. Akankah terasa ganjal, kalau aku tiba-tiba pergi ke kantor menggunakan pakaian tersebut. Masih merasa insecure, takut dikatakan hijrah karena tersandung masalah. Padahal, niat itu muncul saat aku memang ingin berubah lebih baik lagi.   Kukeluarkan semua pakaian yang tampak kurang bahan, walaupun harganya mahal. Dari gaun hingga terusan biasa yang kupakai harian, karena pakaian tersebut menunjukkan aurat diatas lutut.   Ketukan pintu menghentikan gerakanku melempar pakaian ke atas tempat tidur.   "Masuk, Mbok! Nggak dikunci," teriakku dari dalam kamar. Tanganku masih asyik me
Read more
Kenapa Dengan Mama Ira
  Aku tidak dapat fokus dalam bekerja. Perkataan dan pernyataan cinta Dilan telah mengusik pikiranku. Aku juga bingung kenapa aku menangis. Bahagia atau sedih ya tangisku waktu itu?    "Aaargh!" Aku seketika frustasi.  Laptop di depan mata terpaksa kumatikan dengan kasar karena seringnya aku membuat kesalahan.   Kuambil lembar kertas dalam amplop yang telah diberikan Dilan dan membaca isinya. Dia bersungguh ingin mengundurkan diri. Ini nyata tidak sih? Aku masih tidak percaya. Kuremas kuat kertas tersebut dan melemparnya sembarang ke arah depan. Kutelungkupkan kepala di atas meja. Kesal.    Selang tak berapa lama, bergegas kulangkahkan kaki keluar ruangan, berjalan dengan cepat. Tatapan heran Siska tidak kugubris sama sekali. Mulutnya seperti bergumam ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Langkahku semakin cep
Read more
Pertemuan di Butik
  Sudah dua bulan berlalu, sejak pertemuan yang tidak disengaja dengan dokter Ryan dan ibunya, kami tidak pernah bertemu lagi. Sebenarnya banyak tanya dalam benakku, apa yang salah dan apa yang telah terjadi? hingga membuat suasana waktu itu berbeda. Biarlah … akhirnya kucoba melupakan kejadian waktu itu. Mencoba fokus ke hidupku. Masih banyak hal yang harus kulakukan. Masih banyak permasalahan yang harus kuselesaikan.   Dilan pergi. Dia telah meninggalkan perusahaan ini. Sesuai yang dikatakannya padaku, bahwa dia akan mengundurkan diri. Sejak saat itu, aku seperti kehilangan. Kehilangan sahabat, dan partner kerja yang baik. Banyak suara sumbang di kantor, yang menuduhku sebagai penyebabnya resign dari perusahaan. Mereka menyebut aku jahat, kejam, dan hanya mementingkan diri sendiri, karena mengkambinghitamkan Dilan agar citraku tetap baik di perusahaan ini. Aku tidak peduli, jauh di depan, nasib perusahaanlah yang menjadi prioritas
Read more
Bertemu Alisha
  "Argh …!" Dewi meringis saat pipinya dicubit gemas Ma Ira.   "Kalau ngomong tuh yang benar, Wi. Sembarangan bilang Ryan yang mau nikah. Calonnya aja belum ada, mau nikah sama siapa dia?" rutuk Ma Ira menggelengkan kepalanya.   "Aduh, sakit Ma." Dewi mengelus pelan pipinya. "Iya, tadi bercanda doang. Cepatan Ma, carikan dia pacar atau istri. Dewi lihat dari kemarin, itu anak galau mulu, kenapa ya? Lagi patah hati? tapi sama siapa? Dewi nggak pernah dengar dia punya pacar?" Cecarnya sambil mata menerawang.  "Iya, dia patah hati karena sempat Mama larang dekat sama perempuan," sahut Ma Ira melirik ke arahku. Aku melongo mendengarnya. Lalu seketika mencoba mengendalikan diri, dan bersikap sewajarnya. Entah kenapa aku merasa ucapan Mama Ira itu tertuju padaku.  Namun hatiku lega juga mendengarnya. Itu artinya, bukan d
Read more
Aku dan Mama
  POV Ryan.   Aku berada di dalam taksi menuju rumah sakit. Tidak mungkin berputar balik arah, menghampiri Mama dan Alisha ke mall, karena pasti mereka sudah pulang. Jadi kuputuskan ke rumah sakit melanjutkan dinas malamku.   Mendesah berat saat kubuka ponsel, ada dua kali panggilan dari Mama, dan lima kali panggilan dari Alisha. Pasti Mama bingung dan khawatir karena aku pergi tanpa pamit. Apalagi panggilan darinya tidak kuangkat sama sekali. Ada satu pesan dari Alisha.   ["Kakak pergi kemana? Al sama Mama cemas."] Membaca pesan dari Alisha, membuat perasaanku semakin tidak nyaman.   Kucoba segera menghubungi Mama. Memberikan kabar, bahwa anaknya baik-baik saja.   ***   "Halo, Ryan. Kamu dimana?" Mama langsung bertanya tanpa mengucap
Read more
Ke rumah Dokter Ryan
  Gelas di depan mata hanya kuputar-putar pelan. Sesekali, mengelap embun di sisi gelas dengan jari. Air es di dalamnya masih tersisa setengah. Belum kuhabiskan. Pikiranku melayang, mengingat kejadian saat bertemu Alisha dan ucapan Ruby.  ***   "Aku ingat, bukankah kamu ketemu dengannya waktu itu di toko-ku?" Ruby melirik ke arahku sekilas, lalu fokus kembali ke depan jalan.   Aku mengangguk.   "Kamu sudah kenal dia 'kan sebelumnya?" tanyanya lagi.   "Cuma tahu namanya, nggak kenal dekat."   Ruby membuang napas. "Aku nggak suka sama ucapannya. Dia memojokkanmu. Kukira dia alim." Ruby mendengkus dengan menarik sudut bibir ke atas.   Aku mendesah. "Bukankah patokan kealiman dan ketakwaan seseorang bukan yang terlihat
Read more
PREV
1
...
45678
...
14
DMCA.com Protection Status