All Chapters of Dark Secret 2 [Mentari]: Chapter 11 - Chapter 20
27 Chapters
Bukan Mimpi dan Penjelasan Bian
Bian menatap wajah lelap Mentari dengan pandangan lembut. Wanita itu sangat tenang dalam tidurnya. Wajahnya yang cantik tidak bisa ditutupi meski dihiasi kulit pucat."Maafin aku," Bian menggenggam tangan Mentari yang bebas dari jarum infus. Wanita itu memang sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP sesuai dengan yang Bian minta.Ponsel Bian berdering, membuat pria itu segera beranjak untuk mengangkat pangg
Read more
Tak Disangka Sakit Hati
Pagi menjelang, Bian terbangun lebih dulu karena getaran sebuah benda di atas meja di sebelah ranjang pasien. Dengan sebelah lengan yang masih dijadikan bantal oleh kepala Mentari, Bian bergerak pelan untuk meraih ponselnya.Bian menggigit bibir saat Mentari sedikit bergerak karena mungkin merasakan gerakan tubuhnya. Setelah melihat wanita itu kembali tenang, Bian menatap layar ponsel miliknya."Sial," decak
Read more
Isak Tangis dan Rencana
Mentari mengernyit bingung ketika pintu ruang inapnya terbuka dan yang kembali hanya ayahnya saja. Bian tidak ada bersama pria itu. "Bian mana, Pa?" Ikhsan tersenyum pada Mentari lalu berjalan ke arah sofa. Pria itu menghembuskan napas panjang sebelum menjawab pertanyaan putrinya.
Read more
Seperti Mimpi dan Sebuah Kesempatan
"Bu, tenang," Genta mengusap punggung Hasna sambil tersenyum lembut."Gimana Ibu bisa tenang kalau adikmu itu mendadak gini nyuruh ke Jakarta. Bawa-bawa orangtua Mentari pula. Bikin masalah apa lagi dia, Genta... Ya, Tuhan," keluh Hasna.Genta menghela napas. Ibunya tidak pernah berpikir positif lagi kepada Bian sejak adiknya itu melukai wanita yang disayangi ibu mereka seperti putrinya sendiri.
Read more
Sebuah Kabar dan Seorang Lucas
"Bian,"Lucas mengangguk dan tersenyum menatap Bian yang menyebutkan namanya sebagai perkenalan mereka. Keduanya lama bertatapan. Bian mengernyit, tatapan Lucas padanya mempunyai makna lain.Apa..."Saya sedikit minder jika ini calon suami Mentari," celetuk Lucas tiba-tiba.Kedua orangtua Mentari tertawa pelan mendengarnya. "Jodoh gak bisa diatur, Luc, kalau dulu kamu tidak mempunyai istri, mungkin bisa jadi Mentari istrimu sekarang," balas Ikhsan.Bian berdeham pelan membuat Ikhsa  menyuruh mereka untuk duduk dan  berbincang bersama. Perasaan Bian mendadak tidak tenang. Bagaimana bisa calon mertuanya mempunyai hubungan bisnis sedekat ini dengan Lucas? Apa Kania juga pernah datang kemari?"Kapan kamu bakal bawa istrimu ke sini, Luc? Ini sudah lama sekali. Kami juga penasaran sama nyonya Lucas," ujar ibu Mentari.Bian tidak berhenti menatap setiap pergerakan Lucas. Pria itu sedikit mencurigai maksud kedatangan Lucas ke sini.
Read more
Bi, Tolong!
Mentari menghela napas lega saat semua barang-barangnya sudah tersusun rapi di dalam lemari. Semenjak pergi setahun yang lalu, Mentari memang mengosongkan unit apartemennya. Kadang yang datang untuk membersihkan adalah ibunya. Dan ini cukup bersih tanpa debu. Apalagi kamarnya, wanginya tetap sama. Seperti tidak pernah Mentari tinggalkan."Aku beli makan dulu, ya," Bian menghampiri Mentari dan mengecup puncak kepala wanita itu."Delivery aja," saran Mentari."Ada yang mau aku beli juga, cuma sebentar," Bian tersenyum.Mentari mengangguk saja mengiyakan. Wanita itu akan membersihkan diri dulu karena merasa gerah dan berkeringat.Bian sudah berlalu meninggalkan unit apartemen Mentari. Pria itu merogoh saku celananya dan menghubungi seseorang."Bagaimana?""Kami kehilangan jejak Lucas, Pak. Tapi bapak tidak usah khawatir, kami akan segera menemukannya,""Oke, kabari saya kalau terjadi apa-apa," Bian menutup s
Read more
Jauhi Mentari
Mentari sudah diperiksa oleh seorang dokter. Kini wanita itu tengah terlelap. Wajahnya pucat dan matanya sembab. Bian yang sejak tadi tidak henti menatapnya menghela napas.Satu kesialan sudah ia lenyapkan. Kini tinggal satu lagi. Kania."Bi,"Ikhsan menepuk pelan pundak calon menantunya. Bian menoleh dengan pandangan bertanya."Saya butuh bicara berdua sama kamu," kata Ikhsan.Bian beranjak dan mengikuti langkah Ikhsan yang lebih dulu keluar dari ruang rawat Mentari. Tunangannya itu ditemani oleh ibunya. Bahkan beberapa kali Bian menangkap ibu Mentari tengah mengusap air matanya.Bian gagal menjaga Mentari."Apa yang terjadi?"Bian mendudukkan diri di kursi tunggu, sedangkan Ikhsan memilih berdiri sambil menyandarkan punggungnya di dinding."Saya benar-benar minta maaf, Om, saya tidak becus menjaga Mentari, saya...""Saya tidak butuh maaf kamu, Bian. Saya tanya, apa yang terjadi?"Bian menelan air ludahnya
Read more
Karma?
Hasna mengusap pipinya yang basah. Matanya menatap Genta dengan pandangan memohon. Wanita tua itu jelas sangat ketakutan saat ini. Hasna tidak tahu takdir mempermainkan hidup putra keduanya sedemikian rupa."Cari cara, Genta... Cari cara supaya Mentari kembali... Bian butuh Mentari..."Genta tidak tahu harus mengatakan apa. Suami Senja itu hanya diam dengan pandangan lurus kepada tubuh Bian yang tak sadarkan
Read more
Terlambat?
Mentari mengusap air matanya yang tidak mau berhenti sejak tadi. Tangannya dengan cepat memasukkan beberapa barang yang menurutnya cukup penting ke dalam tas kecil miliknya. Ponsel yang Ikhsan berikan juga ia bawa. Jaga-jaga kalau ia membutuhkan sesuatu dengan benda itu.Mentari menatap pintu kamar. Orangtuanya pasti sudah terlelap saat ini. Mentari akan pergi. Dia tidak bisa berdiam diri di sini. Mentari harus bertemu Bian. Rasa rindunya semakin menyiksa. Apalagi Mentari tidak tahu bagaimana Bian saat ini. Apakah pria itu mencarinya? Semua akses yang bisa Mentari gunakan untuk berkomunikasi dengan Bian
Read more
Sebuah Akhir
Hasna memeluk Mentari dengan erat. Tangisnya kembali pecah ketika wanita itu bertanya ke mana saja calon menantunya tersebut selama seminggu ini. Hasna tidak menyangka kalau orangtua Mentari menghukum Bian seperti ini.Menjauhkan Bian dari Mentari sama saja membunuh putranya itu secara perlahan dengan pasti."Maafin aku, Bu," bisik Mentari dengan suara parau.Hasna menggeleng. Keduanya mengurai pelukan dan jemari tua Hasna mengelus pipi basah Mentari."Jangan pergi lagi, ya, Nak. Jangan tinggalin Bian," mohonnya.Mentari semakin terisak. Kepalanya menggeleng dengan kuat. "Aku gak akan ninggalin Bian, Bu, aku gak mau kehilangan Bian lagi," balasnya.Hasna mengangguk, "kalian berhak bahagia. Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian."Mentari mengusap punggung tangan Hasna dengan ibu jarinya. Pandangan wanita itu sedikit menunduk. Ada keinginan yang harus dia sampaikan. Tapi Mentari ragu, apakah ini waktu yang tepat atau tidak?
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status