All Chapters of Kaki Kaki Mungil: Chapter 1 - Chapter 4
4 Chapters
1. Vonis Biru
Helaan nafas panjang mengiringi langkah gadis berambut ikal hitam legam.  Wajahnya putih bersih dengan pipi kemerahan menantang matahari pagi yang mulai tersenyum menyapa hari. Langit berwarna menyaingi megahnya lautan, membiru indah. Bangunan tua milik kejaksaan agung berdiri megah dan tak menampakan sedikitpun keriput tuanya. Ini merupakan kunjungan keempat, rasa bosan mulai timbul bila harus datang kesini kelima kalinya secara prosedural. Jika bukan karena Anggun “si jidat lebar”, aku itu tentu sudah pergi menemani Nazri ke Belgia, pikir si gadis ketus. Berlama-lama di tempat ini dan bukan karena sebuah kasus tentunya akan menjadi sebuah piknik yang menyenangkan. Anginnya segar, sesegar hijaunya pinus-pinus yang menjulang tinggi di antara gedung-gedung bercat putih gading ini. Langkahnya gontai menuju ruangan berukuran 6 x 4 yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Hari ini hanya Pak Iffat saja yang bisa menemani, semua orang punya jadwalnya masing-ma
Read more
2. Welcome to My Paradise
Awan kelabu beriak tenang, matahari malu-malu menampakan wajahnya. Angin semilir menerpa gadis pemilik wajah porcelain. Hanna menjuruskan pandangannya berkeliling. Tanah merah basah bekas hujan, pepohonan hijau rindang menebarkan harum pinus segar. Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di sebuah warung sayuran, mirip seperti kampung tempat nenek tinggal seru Hanna dalam hati. Mendung tidak menyurutkan aktivitas orang-orang kampung ini. Dilihatnya kembali secarik kertas yang diberikan Pak Iffat kemarin malam.Habban Mutarokiba, Kampung Babakan Mantri Desa Pinggirsari Kecamatan Arjasari, patokan rumah bercat kuning, desisku. Great! Dipikirnya rumah bercat kuning itu hanya ada satu-satunya.Kembali pandangannya menebar berharap menemukan rumah kuning yang dituju tanpa harus bersusah payah. Satu, dua, tiga, dan benar saja, sepanjang pengelihatannya rumah berwarna matahari itu berjumlah lebih dari satu. Hanna memaksakan dirinya untuk bertanya a
Read more
3. Hari yang Aneh
Hanna terengah-engah kehabisan napas saat dia tiba di serambi sekolah. Kabut turun agak pekat hari ini, mentari nampaknya masih enggan menceriakan hari-harinya di sini. Dingin! Desis Hanna. Ditarik tas postman yang terombang-ambing, mencari-cari sweater tipis satu-satunya hadiah dari nenek saat dia merayakan ulang tahun ke tujuh belas.Sial! runtuknya dalam hati.Hanna melupakan semua, tasnya hanya terisi satu buah pulpen biru dan handphone. Pikiran kusut setelah Nazri menghubungi membuat dia sulit untuk tidur malam kemarin. Mata yang didaulat untuk bercengkrama dengan mimpi tetapi malah berubah menjadi lamunan tak bertepi. Belum lagi derai gerimis yang mendendangkan sebuah simfoni indah, sahabat yang pas menemani kegalauan. Satu kata untuk mendeskripsikan hasilnya, telat. Telat mandi, telat makan, dan otomatis telat pula datang ke sekolah. Tidak ada baju hangat, buku-buku bacaan, permen untuk membuang waktu dan melenyapkan sepi.
Read more
4. Suara Emas di Balik Jendela Tua
“Hai.” Hanna menyapa penduduk kelasnya dengan wajah datar disambut gumamam yang tak begitu dia pahami. “Silahkan, lanjutkan apa yang sudah kalian kemarin dan sebelum-sebelumnya,” lanjut Hanna tak tertarik melainkan duduk di kursi reyot yang menjadi hak miliknya saat ini.“Bu, kumaha ieu teh?” tanya Ujang, si ketua kelas, setelah mengacungkan tangan.“Aku ge da butuh bantuan di pelajaran ini,” celetuk anak perempuan di belakang Ujang. Seketika kelas riuh dengan nada ‘iya’ membenarkan apa yang dikatakan Ujang dan anak perempuan tadi.“Aaah, sudah! Kalian calon ilmuan bukan?” Sahut Hanna mengonfrontasi, melakukan permainan psikologis bersama mereka. Anak-anak hanya bisa melongo dan bertanya-tanya satu sama lain, jengkel pada Hanna.Hari kelima ini pikiran dan perasaan Hanna masih berkabut dalam kebingungan. Dia merasa sama sekali tidak punya keahlian apapun di bidang in
Read more
DMCA.com Protection Status