All Chapters of Audacity: Chapter 31 - Chapter 40
159 Chapters
30. Magic
Adrian   Entah siapa pengendara mobil mewah itu, hanya dengan memberi kartu nama ke polisi, para polisi langsung bersikap ramah. Sekarang dia bersama beberapa polisi menghampiriku. Sea menyondongkan kepala mendekati telingaku, dia berbisik, “Kenalanmu?” Aku menggeleng. Sungguh aku tidak tahu siapa pria berkulit hitam itu. Semakin dekat mereka, semakin jelas apa yang mereka bicarakan. Pria kulit hitam berkata dengan tegas kepada polisi. ”Aku jamin pemuda ini baik dan merupakan pahlawan.” Dia bergaya memegang kedua sisi pinggang dan menjaga senyum ramah sambil menampakkan gigi putihnya. “Saya Lousiana Zulvian, akan menjadi penjamin. Dia bukan penjahat." “Kenapa tidak bilang jika kamu kenal dengan politisi?” bisik Sea. Suara sirine membuat kami menoleh. Mobil patroli lain tiba. Dua polisi … tunggu dulu. Aku kenal mereka. Dua polisi yang tempo hari menolongku dan Fany di depan mini-market. Salah satu dari
Read more
31. Permintaan Kakak
Adrian   Aku sedang dalam perjalanan, jadi tidak ingin mengangkat telepon. Di saat terjebak lampu merah tidak jauh dari lokasi tato parlour, aku mengecek layar HP. Kakak menelepon lagi dan lagi. Sementara itu Fany juga melakukan hal yang sama. Kompak sekali mereka mengganggu, sebenarnya ada apa? Sepertinya memang ada hal penting, hingga Kakak menelepon berkali-kali. Padahal jalanan sepi, aku bisa langsung melesat menuju kampus untuk menjemput Fany. Akan tetapi tidak ada pilihan, aku menepikan kendaraan sejenak untuk mengangkat telepon darinya. “Ada apa, Kak?” tanyaku sembari memegang telepon. “Aku sedang dalam perjalanan menjemput Fany, bisa kita bicara lagi nanti? “Tidak perlu menjemputnya,” jawab Kakak, entah maksudnya apa. “Fany sudah diantar pulang oleh teman gadisnya yang keturunan Indonesia. Lebih baik kamu langsung pulang ke apartemenmu.” “Terima kasih infonya Kak, kenapa Kakak menemui Fany di kampus—“
Read more
32. Terserah
Fany   Ya Tuhan, Adrian datang dengan wajah babak belur dan kaos kotor. Dia masih tersenyum polos seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan bicara dengan santai, "Maaf, tadi aku ada urusan, jadi tidak bisa menjemputmu." "Ada apa dengan wajahmu?" Aku menghampiri, mengelus pipinya yang lebam. "Kamu berkelahi?" "Nah, tadi ada sedikit masalah dengan para preman." Aku pencet luka di sekitar bibirnya dan membuat dia meringis. "Sudah kukatakan jangan berkelahi! Kenapa kamu tidak mau mengerti? Jangan mencari masalah! Kenapa susah sekali membuatmu berhenti melakukan ini?" Dia tertawa kecil. "Cukup, Fan. Aku mengerti." Dia mengusap pipiku dari bulir-bulir air mata. "Jangan menangis. Aku sama sekali tidak mencari masalah. Aku hanya berusaha menolong orang yang sedang kesulitan." "Siapa?" "Namanya Elisa, gadis--" "Ya, terserah." Aku menepis tangannya. Wanita lagi, wanita lagi. Lagi pula dia pikir ak
Read more
33. Membantuku
Fany   Adrian cukup cerdas dengan membawaku ke starbucks, membeli teh hijau untukku. Setelah memesan hidangan melalui drive thru, mobil parkir di lahan parkir supermarket padat. Dia membuka sedikit bagian atas dan menyetel musik country dengan volume pelan. "Nyaman?" tanyanya, lalu meneguk Casscara Machiato kesukaannya. "Sekarang katakan, kamu perlu bantuan apa?" "Sebenarnya ini tentang Ibu." Aku langsung meneguk minumanku. Dia mengangguk kecil. "Ada apa dengan Nyonya perfek?" "Dua minggu lagi hari ulang tahun Ayah dan juga hari ulang tahun pernikahan mereka." "Oh, begitu?" Adrian menjadi antusias. "Apa Ayahmu butuh bantuanku?" Aku menggeleng. "Bukan, tapi Ibu mengundangku untuk datang ke pesta kecil di sebuah kafe. Aku tahu, dia wanita seperti apa, pasti akan mengundang banyak pemuda kaya kenalan rekan bisnis Ayah ke sana untuk dijodohkan kepadaku." Aku lanjut bicara, "Aku tidak in
Read more
34. Keajaiban
Adrian   Dia terdiam memasang wajah datar. Apa Fany marah? Tidak, aku tidak mau mengambil resiko membuatnya merasa jijik. Segera aku tertawa kecil, lalu menjawab, "Aku hanya bercanda.” “Ini masalah serius. Kamu mau membantuku, kan?” Fany sampai menjadi seperti ini, pasti sedang ribut dengan Alfred. Ini sudah seperti tradisi, ketika ban utama kempes maka ban serep yang dipakai. Diriku ban serep itu. Pasti Alfred melakukan kebodohan yang sangat besar hingga membuat Fany  gusar. Aku jadi ingin tahu perkara apa yang dia buat hingga Fany tidak ingin mendengar namanya.  “Lusa kita pergi ke pantai Manhattan—“ Dia menggeleng dengan cepat. “Kamu pasti ingin ke Club 777. Aku benci tempat itu.” “Kenapa?” tanyaku. “Di sana banyak wanita murahan dan banyak pria berengsek sepertimu.” Sebenarnya tujuanku membawanya ke sana untuk mengunjungi sebuah tempat yang bisa membuat senyum
Read more
35. Membuang Cinta
Adrian   Aku duduk di kap mobil menikmati Pier 69, dermaga tempat tinggal banyak yacht. Suara angin bermain ombak, cahaya remang, aroma laut yang tenang, cocok untuk me-refresh pikiran. Mobil Alfred tiba. Setelah mematikan mobil, dia menghampiriku. “Sorry terlambat. Aku bawakan minuman kesukaanmu.” Dia duduk di kap mobil, menaruh kantung plastik di sana. Kami menikmati bir. Dia membisu. Aku yang mengundang, mungkin aku juga yang harus memulai pembicaraan kecil kami. “Apa kalian bertengkar?” selidikku. “Bisa kamu menjaga Fany?” tanya Alfred, tanpa memberi jawaban. “Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?” “Aku ingin kamu membahagiakannya. Jaga dia, seperti Ayah menjaga Ibu. Buat dia selalu tersenyum, berkeluarga, buat Adrian junior dan Fany junior yang banyak, hidup tenang di Glendale atau daerah lain.” “Berengsek, kamu tidak menjawab pertanyaanku.” Aku meremas kaleng, membuang jauh k
Read more
36. Persiapan Kencan
Fany   Dadaku berdebar-debar dan seperti ada sayap kupu-kupu yang terbang menggelitik di dalam perut. Kencan dengannya berdua saja, oh Tuhan, ini yang pertama. “Nona, mau turun atau menginap di mobil?” goda Adrian, membuyarkan lamunanku. Ketika aku hendak keluar dari mobil, dia menarik tanganku. “Fan, aku jemput jam tujuh.” Aku mengangguk, hendak tersenyum saja berat rasanya. Setelah dia melepas genggaman, aku masuk ke mobilku sendiri, pulang ke apartemen milikku. Sesampainya di apartemen aku mandi bersih lalu membuka lemari, mengeluarkan pakaian ke atas kasur. Aku ingin tampil manis, tapi juga tidak mau terlalu terbuka sehingga memancing Adrian melakukan sesuatu yang akan dia sesali di kemudian hari. Berkali-kali aku mencoba berbagai macam pakaian yang tersimpan di dalam lemari, tapi tidak ada yang sesuai. Sepertinya kencan ini membuat otakku kelebihan muatan. Aku melakukan video c
Read more
37. Kharisma Adrian
Fany   Suara pintu diketuk dari luar membuatku berlari membukakan pintu. Ah tidak, tunggu. Aku merapikan kaos oblong, jaket kulit hitam, juga maxi gelap di atas lutut. Ambil napas dalam-dalam, hembuskan. Rileks. Santai. Tidak ada yang spesial, kan? Aku membukakan pintu, mendapati dia berdiri bersandar di tembok lorong sambil mengamati layar hp yang dia pegang, tangan satunya bersembunyi di balik saku celana jeans biru. Ketika keluar, tangan itu kosong. Saku celana itu pun datar tidak ada tonjolan di sana. “Kakimu turunkan, jangan menginjak tembok, nanti kotor.”  Sebenarnya tidak apa-apa, hanya saja dia tidak membawa hadiah, jelas aku—oh dia membawa? “Ini, untukmu.” Sebuah lolipop. Dia pun mengulum lolipop sejenis lalu mendahului untuk turun. “Aku tunggu di mobil.” Jadi begini cara dia mengawali kencan? Aku membanting pintu yang mengunci secara otomatis, mengemut permen mengikutinya dari belakang. Menyebalkan!
Read more
38. Bianglala
Fany   Adrian membeli dua kembang gula berwarna merah muda. Bentuk makanan manis itu seperti awan. Cukup besar untuk kami makan berdua. “Sudah kan? Bisa kita kembali ke apartemen?” tanya Adrian. Ucapannya membuatku terdiam. “Jadi jauh-jauh kemari, hanya beli kembang gula?” Menyebalkan, dia malah tertawa kecil sembari menggandengku, hingga tenggelam ke dalam lautan manusia. Musik karnaval bersahutan dengan tawa pengunjung. Begitu banyak stall penjual makanan, pakaian, juga mainan. Satu yang menarik perhatian, sebuah wahana merry-go-round. Aku selalu naik itu ketika ada pasar masal di Glendale, kali ini ukurannya lebih besar. “Oh, sampai lupa,” ucapnya. “Tradisi Tuan Puteri, pertama naik kuda, sebelum bersenang-senang.” Dia menggandeng ke sana. Setelah membeli karcis aku duduk di kuda putih, sementara Adrian di kuda hitam sampingku. Musik khas Merry Go Round mulai terdengar. Lampu berkedip-kedip, wah
Read more
39. Pertanyaan Berani
Adrian   Banyak gadis berteriak karena 'insiden' kecil ini, Fany pun tak beda dari yang lain. Suaranya seperti banshe melihat mangsa, gendang telingaku nyaris pecah. "Hei, hei." Aku bekap mulutnya. "Tenang, semua baik-baik saja." Tapi dengan mudah dia lepas. "Baik-baik saja bagaimana? Kamu kira bagaimana cara kita turun dari sini?" "Terjun ke laut?" "Dasar Adrian bodoh, bagaimana kalau jatuh ke dermaga? Ya Tuhan bagaimana ini?" "Ada aku, santai saja."  Semua gelap. Bilik ini bergoyang karena berhenti mendadak. Sepertinya ada masalah serius sampai semua lampu di pier mati total, tiada musik karnaval, atau musik konser, hanya suara angin malam. Biar aku tebak, daya listrik tidak kuat untuk konser juga karnaval dan hiburan malam lain? Tak apalah, karena hal ini Fany memeluk lenganku dengan erat. Andai tidak ada boneka kelinci, aku bisa lebih hangat lagi dari sekarang. 
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status