All Chapters of Stetoskop Hati: Chapter 21 - Chapter 30
45 Chapters
Bab 20
Nana  Keluar sejenak dari penatnya aktivitas kampus. Mengambil jeda sebelum kembali bertemu dengan jutaan kata yang berderet dan bermakna dalam sebuah buku. Lewati sisa hari ini dengan warna yang cerah. Bukankah pelangi pun selalu menawarkan warna yang cerah pada penikmatnya?Menikmati ciptaan-Nya adalah salah satu warna cerah yang menghiasi hariku. Aku tidak tahu kapan tepatnya mengagumi. Aku tidak tahu kapan tepatnya menaruh keinginan untuk selalu ada dia dipergantian hari. Cukup kunikmati, meski terlintas apa yang aku lakukan saat ini adalah sia-sia, sebab dengan hubungan yang tidak terikat ini dia bisa seenaknya berlalu lalang. Seperti pelangi, ia menawarkan keindahan yang hanya sebentar.Sesuatu yang berkaitan dengan hati memang sulit untuk diterka. Karena hati bukan sebuah program komputer yang bisa diatur. Dia berjalan sendiri tanpa bisa dikendalikan.“Na, Can you explain little about y
Read more
Bab 21
Nana Sejauh ini, selama hampir tiga tahun aku tinggal di Jakarta. Monas akan menjadi tempat terindah sepertinya. Tahu alasannya? Karena sosok Fatamorgana yang berhasil membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.Hal tergila yang tidak pernah ada dalam angan-anganku. Bahkan belum pernah aku membuat cerita yang di dalamnya memuat si tokoh cowok melamar tokoh cewek di tempat yang bersejarah bukan hanya untuknya tapi untuk negaranya.Tapi sampai saat ini, beberapa hari setelah melewati malam itu, aku belum berani membuat keputusan antara maju atau berhenti. Aku juga belum cerita ke siapa-siapa, entah itu ke Rani atau ke Ayah dan Ibu. Aku lebih memilih menyimpannya sendiri. Selepas hari itu pun dokter Galih tidak bertanya perihal jawabanku lagi.Aku butuh jeda sejenak. Sampai aku benar-benar yakin jika dia tidak akan mempermainanku. Walaupun jatuh cinta padanya mudah, tapi kami baru mengenal selama sebulan. Kami butu
Read more
Bab 22
Nana Satu minggu bergulir dengan cepat rupanya. Rasanya baru kemarin aku sampai di Solo. Hari ini sudah jumat lagi. Itu artinya aku hanya punya waktu satu hari lagi untuk menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu sebelum kembali harus bertempur dengan banyaknya materi mata kuliah yang menanti.Satu minggu di rumah benar-benar aku manfaatkan sebaik mungkin. Setiap pagi aku membantu Ibu membuat pesanan katering. Aku sangat bersyukur karena banyak yang percaya sama katering punya Ibu, apalagi di musim hajatan seperti sekarang ini, omset bisa naik sampai 50%. Sementara Ayah sudah mulai bekerja lagi.Di sore hari, Kami bertiga biasanya menikmatinya dengan berjalan-jalan di sekitar rumah. Menyapa para tetangga. Atau sekadar ngobrol santai di rumah saja. Ah, mengapa waktu sangat cepat bergulirnya? Sabtu malam besok aku harus kembali lagi ke Jakarta.Merasa dilematis itu ketika si mantan datang untuk mengajak jalan-jalan. Tap
Read more
Bab 23
NanaMasih berdiri di ambang pintu dan dokter Galih yang tepat berdiri di depanku. Aku tak lantas menyuruhnya masuk, sebelum masuk rumahku lebih dulu aku harus memastikan apa yang menjadi tujuannya ke sini. Sikapnya yang sering kali bercanda membuatku ragu dengan kenekatan yang dia ambil.“Dok, serius nih, tujuan Dokter sampai datang ke rumah saya itu apa?” tuntutku.“Mau nagih uang yang sudah saya keluarin buat mentraktir kamu. Kan lumayan tuh, kalau dijumlahin jadi banyak.”Walaupun didukung dengan ekspresi yang jenaka, buatku itu belum cukup lucu. Jujur, saat ini aku cemas. Dan sedang tidak ingin bercanda.“Serius, tujuan Dokter cuma itu?” tanyaku untuk lebih meyakinkan.“Kamu percaya?” Dia malah balik bertanya, disusul dengan suara tawa pelannya.Aku menggeleng. “Nggak, sih. Dokter kan uangnya banyak. Masa berbagi sedikit sama saya aja perhitungan,” balas
Read more
Bab 24
NanaSelalu saja ada momen di mana aku sadar kalau di setiap keindahan itu akan ada khayalan yang selalu tinggal. Terlalu berekspektasi, padahal kenyataannya semuanya semu. Fatamorgana.Masih di malam yang beberapa saat yang lalu menjadi saksi bagaimana aku menikmatinya, dan sekarang aku justru membenci malam ini.Masih dengan aku yang terpaku, logika seolah berontak jika apa yang aku dengar tadi hanya bualan mimpi. Tapi bisikan yang mengalun lembut di telinga itu begitu nyata. Telingaku tidak mungkin salah mendengar.Lama kami terdiam. Dia terlihat resah sementara aku menahan sesak yang menghimpit. Tuhan, aku salah karena sudah mempercayainya dengan begitu mudah. Padahal jelas tidak ada manusia yang sempurna seratus persen.“Na...”“Siapa sebenarnya Raina?” Aku memotong ucapannya.Dia mengusap wajahnya, pergerakan tangannya sampai ke atas kepala. Lalu menjambak rambutnya. Matanya membidikku ya
Read more
Bab 25
NanaWajah-wajah lelah sangat terlihat dari semua mahasiswa yang keluar dari kelasnya Pak Aristo. Dosen pemegang mata kuliah sanggar sastra itu sepertinya lupa melihat jam. Mata kuliah seharusnya selesai dari tiga puluh menit yang lalu, tapi Pak Aristo baru keluar dari kelas sekarang.Jelas saja itu mengundang umpatan dan gerutuan dari banyak mahasiswa. Termasuk Rani. Sejak keluar dari kelas, Rani terus mencak-mencak tidak keruan.“Laper banget, Tuhan.”“Sama. Gue juga laper,” balasku ketika kami keluar dari gerbang kampus.“Gila itu dosen. Padahal udah dikasih kebebasan cuy dengan 4 sks. Tapi masih aja korupsi waktu. Mana jadwalnya sore pula. Minggu depan gue kasih alarm dah biar dia nyadar diri,” cerocosnya.Di sela-sela mulutnya yang mencerocos, Rani mengecek jam tangannya. “Jam 5?! Pantesan cacing di perut gue udah disko lagu lagi syantik!” jeritnya heboh. Terlalu
Read more
Bab 26
Nana Berangkat kuliah sendiri karena Rani mendadak terserang penyakit malas. Waktu aku mengetuk pintu kamarnya, Rani masih belum mandi. Dia bilang mau absen sehari karena dosen yang masuk memiliki selera humor rendah, akibatnya mata mengantuk selama mata kuliah berlangsung.Kampus sudah cukup ramai dengan kicauan mahasiswa. Di depan ruangan kelas, aku melihat Damar Cakra Adrianto, alias Anto sedang duduk di bangku panjang. Matanya fokus menatap layar laptop.Aku duduk di sebelahnya. “To, tumben pagi-pagi udah mantengin laptop?”Anto mengangkat pandangannya. “Eh, Nana. Iya nih, gue lagi bikin jadwal. BEM mau ngadain acara baksos gitu. Baksosnya bukan soal materi sih. Tapi lebih ke pengetahuan.”“Gimana caranya tuh?” tanyaku, sedikit kurang paham dengan penjelasan Anto.“Jadi nanti kita ngajar di sekolah-sekolah selama satu hari. Terus malamnya kita kayak memberikan les p
Read more
Bab 27
Galih Petaka itu ketika otak dan bibir gue tidak sinkron. Gue sudah janji kalau tidak akan menyakiti wanita lagi. Tapi gue melanggar janji itu. Gue yang membangun pondasi, gue juga yang meruntuhkannya. Kurang bodoh apalagi gue?Gue sadar betul, Raina masih ada di hati gue. Tapi tidak sepenuhnya. Ada hati lain yang sudah mulai menggeser posisinya.Butuh keberanian yang besar, sebelum gue mengambil keputusan buat menyusul Nana sampai ke Solo. Apa yang gue utarakan di Monas itu, gue niatkan dari hati. Gue lebih tertantang ketika Nana bilang, laki-laki yang serius itu harus datangi orang tuanya. Dan gue berani mengambil risiko itu.Gue pikir, jalan gue tidak akan mulus di Solo. Ternyata orang tuanya menyambut baik kedatangan gue di sana. Gue sampai speechless ketika ayahnya meminta gue menikahinya dulu karena takut terjadi sesuatu yang negatif. Gue sendiri memang takut, beberapa kali gue hilang fokus memperhatikan gerak
Read more
Bab 28
Nana Setapak menjadi pengingat jika setiap langkah harus dinikmati sebelum sampai ke tujuan. Jalanan tidak selamanya lurus dan mulus. Becek, berbatu, penuh dengan krikil bisa saja menghadang. Mungkin jalanan seperti ini lah yang bisa mendeskripsikan alur asmaraku.Niatku mengikuti bakti sosial ini bukan hanya untuk berbagi pengalaman. Tapi untuk kabur sejenak dari tugas-tugas dan masalah yang terjadi. Sadar, jika aku tidak bisa selamanya berdiam diri. Semua ucapan Rani waktu itu menjadi cambuk tersendiri buatku. Sekarang, biarkan aku bernapas lega sejenak.“Masuk sini suasana kota langsung lenyap,” komentar Agnes saat aku, dia, dan Maria baru berjalan beberapa langkah dari mobil rombongan.Aku mengangguk setuju. “Masih banyak pohon rindangnya.”“Aku jadi ingat kampungku di Papua sana,” timpal Maria.“Na, sini gue yang bawain tasnya.” Anto tiba-tiba menghampiriku.
Read more
Bab 29
Nana Kembali ke realita itu rasanya enggan. Terlalu pelik masalah yang aku hadapi. Rasanya, aku ingin kembali pada beberapa bulan yang lalu. Saat hidupku damai meskipun tanpa pasangan.Mataku baru saja terjaga beberapa menit yang lalu. Setelah perjalanan cukup melelahkan dari Kecamatan Leuwidamar, sampai di kosan aku langsung tidur tanpa memikirkan mandi atau rasa lapar.“Nana!!!”Rani berteriak cukup lantang saat membuka pintu kamarku. Aku duduk bersandar pada dinding sambil memeluk guling.“Na, kok diam aja sih?” Rani duduk bersila menghadapku. Kedua tangannya bertumpu pada lututku yang ditekuk. “Lo marah ya sama gue gara-gara gue ngasih kesempatan dokter Galih buat ngirim VN sama lo.”“Ya udahlah, Ran. Udah kejadian ini,” balasku. “Harusnya dua hari kemarin gue matiin data seluler biar tenang.”Bibir Rani membentuk garis lurus. Dia merasa ber
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status