Semua Bab Menjadi Cinderella Kaya Raya Setelah Dicerai: Bab 41 - Bab 49
49 Bab
Menjenguk ibu
Mobil yang disupiri Pak Rudi berhenti didepan gang. Untuk masuk kedalam mesti berjalan kaki karena gang terlalu sempit. Begitu kami turun dari mobil, banyak orang sekitar yang memperhatikan. Sambil mengangguk dan tersenyum, aku dibantu Mbok dan pak Rudi menurunkan barang. Sekitar lima rumah kami lewati, menyapa beberapa ibu-ibu yang sedang duduk santai. Aku mencoba ramah dan senyum, dibalas dengan senyuman mereka. Sampai di rumah kontrakan ibu terlihat sepi. Pintu rumah tertutup rapat. Kami menurunkan barang di lantai. Seorang ibu mendekat, sambil beramah tamah. "Oh, ada tamunya Bu Bram ya! Kenalkan saya Bu Ani, tetangga sebelah kanan," katanya sambil menunjuk rumah. "Iya, Bu Ani. Ibu ada dirumah?" tanyaku. Ibu itu menghela napas, menatap kami satu persatu. Aku menunggu dengan sabar apa yang akan diucapkannya. "Semenjak menempati kontrakan ini, ibu Bram jarang sekali keluar. Bahkan kami nggak
Baca selengkapnya
Pacar Haris
Beberapa kali panggilan ku tak dijawab. Lalu saat diangkat terdengar suara wanita diseberang sana. "Halo, siapa ini?" tanyanya. Mengapa dia tanya, apakah di ponsel Sayid tak tertulis siapa yang memanggil. Sambil menggerutu aku pun mematikan panggilan dan membanting ponsel ke ranjang. Huh, dari tadi kenapa selalu terdengar suara perempuan. Siapa dia? Ah lebih baik aku tanya Sayid saja daripada terus menduga. Namun, tiap aku telepon Sayid entah keman dan lagi-lagi wanita yang sama. Lebih baik aku mandi saja, setelah itu turun kebawah untuk makan bersama Papa. Aku pun menyambar handuk dan masuk kamar mandi. Saat mandi entah mengapa terus terpikir Sayid, teringat akan mantan pacar Sayid. Ketakutan mulai menyelimuti hatiku, takut bila Sayid terpikat mantan pacarnya. Lamunanku tersentak kala mendengar ponsel berdering, gegas mengenakan handuk. Langsung menyambar ponsel setelah melihat dilayar siapa yang memanggi
Baca selengkapnya
Suara misterius
"Dikamar Winda ada hantu, Ma! Winda takut!" kataku gemetar memeluk Mama. "Apa? Hantu?" kata Mama terkejut. "Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Papa begitu tiba di samping Mama. Haris juga keluar kamar dan mendekati kami. "Kata Winda dikamarnya ada hantu, Pa!" jawab Mama sambil mengerinyitkan dahinya. Papa tertawa. "Mana mungkin ada hantu, selama ini rumah ini baik-baik aja kok. Ya kan Haris?" kata Papa beralih pada Haris. "Bener, Mbak! Nanti Mbak cuma mimpi dan menginggau," sahut Haris setuju pada Papa. "Ta-tapi tadi memang bener, Mbak udah bangun lalu mendengar suara cakaran di jendela loh," kataku tetap kukuh kalo aku tidak mimpi. "Baiklah, kita lihat sekarang ke kamarmu!" seru Papa sambil berjalan masuk kamarku. Haris mengikuti langkah Papa, kemudian aku dan Mama dibelakang. Sambil memeluk Mama, mataku terus mengamati sekeliling kamar. Suara itu tak terdengar lagi. "N
Baca selengkapnya
Teror kiriman orang
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran. Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya. "Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik. "Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku. Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku. Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain. Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?" "Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung
Baca selengkapnya
Mendayung kenikmatan
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide. "Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar.  Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit." "Mbok yakin?" tanyaku tak percaya. "Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya. "Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?" "Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa. Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
Baca selengkapnya
Negoisasi
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas. "Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget. "Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama. Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas. Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini." Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan. "Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
Baca selengkapnya
Terbang ke Abu Dhabi
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?" Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak. "Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas. Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju. "Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen. Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
Baca selengkapnya
Pembantu aneh
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat. Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami. Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang. Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Baca selengkapnya
Akhir yang bahagia : Kelahiran anak
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA. Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu. Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku. "Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas. "Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku. "Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia. Sayid mengang
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status