Semua Bab BERUANG GUNUNG ALTAY: Bab 21 - Bab 30
53 Bab
21. Tak Ada Yang Percaya
Api dari bahan karet masih menyala-nyala menerangi ruangan. Raka melihat jam handphone. Sudah lewat tengah malam. Saatnya mereka berangkat. Raka sebenarnya tidak tega membangunkan gadis-gadis metropolis itu untuk menempuh perjalanan di malam hari. Keluar masuk hutan dalam keadaan gelap sangat berat bagi mereka. Mereka biasa kelayapan malam-malam dalam gelimang cahaya lampu kota, dan tidak berjalan kaki. Raka menyentuh bahu Inara yang tidur terkulai di dadanya. "Bangun." "Hm," sahut Inara dengan mata terpejam. "Malam sudah menjelang dini hari," kata Raka. "Kita lanjutkan perjalanan." Tidak ada jawaban. Raka menengok. Tiba-tiba Inara mengecup bibirnya. Pemuda itu tidak sempat mengelak. Inara kembali berebahan di dadanya. "Terima kasih sudah membangunkan aku. Aku ngantuk berat, tunggu sebentar lagi." "Apa ucapan terima kasihmu begitu kepada setiap lelaki?" tanya Raka. "Pengen tahu aja," jawab Inara. Gadis itu tidur lagi.
Baca selengkapnya
22. Pemberontakan
Pintu bakung emas terbuka lebar secara perlahan. Jonan keluar dengan senapan submesin siap tembak. Dia mengamati sekitar beberapa saat. Kemudian memberi isyarat agar teman-temannya keluar dari ruangan bekas laboratorium fisika. Dia berdiri dengan waspada di dekat peti besi tempat manusia plasma beristirahat. Raka keluar paling akhir sambil memegang pistol. Mereka langsung menuju ke pintu bunga matahari. Telinga Raka yang peka mendengar ada gerakan halus di belakang. Serentak dia membalikkan badan dengan pistol siap tembak ke arah peti besi. Oldi dan ketiga gadis metropolis itu menunggu dengan tegang. Mereka berlindung di belakang Raka dan Jonan. Gerendel peti besi secara perlahan bergerak membuka satu per satu seolah manusia plasma hendak keluar secara sembunyi-sembunyi. Kemudian tutup peti terangkat lambat-lambat. Mereka semakin tegang menunggu. Mata Raka tak berkedip memandang pergerakan tutup peti d
Baca selengkapnya
23. Akibat Pemberontakan
Lima orang bertampang sangar berjalan pelan-pelan di lekukan bekas aliran air. Semua berwajah lokal. Masing-masing memegang senapan serbu. Mereka memperhatikan sekitar dengan waspada. “Aku merasa jadi budak di negeri sendiri,” kata Limo, yang berperawakan paling kekar. “Anggota lokal cuma kita berlima. Bisa apa kita?” Binu, lelaki berkumis tebal, berkomentar. "Mental kita adalah mental terjajah. Terima saja nasib jadi pangkat rendahan." "Kita rubah mindset itu. Kita harus jadi tuan di negeri sendiri." "Tampang kau tidak cocok jadi big boss. Jangan mimpi." "Bukan jadi big boss." "Lalu?" “Limo maunya komisi yang wajarlah,” sahut Zaki, lelaki berambut gondrong. “Peran kita dalam pemasaran di negeri ini cukup signifikan.” "Yang wajar itu yang bagaimana?" "Yang proporsional." "Yang proporsional itu yang bagaimana?" "Yang sesuai dengan beban tanggung jawab kita." "Iya, yang bagaimana itu? Janga
Baca selengkapnya
24. Bidadari Manja
Perjalanan malam ini adalah petualangan yang paling menjemukan. Trauma akibat tragedi yang mengenaskan itu sudah mulai memudar di wajah Inara. Tapi kemarahan Raka masih sangat terasa. Raka seperti tidak peduli kepada gadis yang berjalan di dekatnya. Matanya berusaha menghindar untuk bertemu pandang, fokus mengamati sekitar. Wajahnya dilipat seperti kertas contekan. Inara sudah mencoba untuk mencairkan suasana. Bermacam cara dilakukan untuk menarik perhatian, Raka menengok saja tidak. Dia biasanya ingin kentut ditahan atau pergi menjauh. Kali ini sengaja buang tembakan dengan menjentikkan pinggul di depannya, pemuda itu diam saja. Malah Kirei berkomentar. "Cari perhatian boleh. Jangan begitu juga kali. Tidak tahu malu." "Kentutku wangi," sahut Inara enteng. "Mana ada kentut wangi? Kalau mau, jalan telanjang di depannya." "Dia malah jijik." "Memangnya sudah dicoba?" "Si Lola sering ganti baju di depannya." "Itu ka
Baca selengkapnya
25. Rumah Di Tebing Karang
Raka mengikuti empat orang asing itu dengan bergerak dari satu pohon ke pohon lain di depannya. Dia tidak dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya karena batang pohon tidak cukup besar, sehingga apabila mereka menengok ke belakang dan sedikit jeli akan melihat ada orang membuntuti. Mereka kelihatan kurang waspada. Manusia plasma barangkali tidak berkeliaran di bukit ini sehingga dianggap situasi aman. Lagi pula, kehadiran makhluk itu mudah terdeteksi di malam hari. Raka bisa menghabisi mereka dengan mudah. Dia sabar membuntuti karena ingin mengetahui rumah singgah mereka. Dia melihat di kejauhan Jonan dan teman-temannya menyusul. Mereka mengambil jarak yang aman. Raka segera bersembunyi di balik batu ketika salah seorang pria pembawa carrier yang bernama Alfred memisahkan diri untuk buang air kecil. Dia melihat Jonan dan kawan-kawan menghilang di balik pohon. "You guys go on," kata Alfred. "I pee first. I'll catch up later." Alfred berjalan ke ba
Baca selengkapnya
26. Macan Pulau Tak Bernama
Luhantara berdiri melihat peta besar pulau tak bernama yang terpampang di dinding. Bernard menunggu di depan radio komunikasi. Dia duduk menghadapi dua cangkir kopi panas dan penganan hangat di meja. Mereka baru sempat mengurus Raka dan kawan-kawan pagi ini karena semalam ada rombongan wisatawan asing datang untuk berkemah. Mereka belum tidur karena sibuk melayani rombongan itu. Rasa kantuk mereka terhibur dengan pendapatan besar yang diperoleh. "Sudah kau temukan?" tanya Bernard saat Luhantara duduk di sampingnya. "Ya," sahut Luhantara. "Perkiraan di sekitar gugusan karang bagian utara, di situ ada celah tebing besar." "Kemungkinan lain?" "Tebing curam di sektor selatan. Tapi kemungkinan kecil. Gadis-gadis metropolis itu terlalu manja untuk sampai secepat itu di sana." Bernard meraih mic mencoba menghubungi tim pencari lewat radio komunikasi. "Macan pulau tak bernama, kontek." "Masuk, ganti." Mahargo, alias macan pulau tak ber
Baca selengkapnya
27. Perjalanan Paling Berbahaya
Matahari beranjak pulang. Raka mengintip lewat lubang pengintai di pintu. Di luar suasana mulai temaram. Malam ini mereka akan melintasi lembah dan mendaki bukit hijau untuk kemudian tiba di sebuah sungai besar. Malam berikutnya mereka melanjutkan perjalanan ke pesisir pantai menuju basecamp. Sebuah perjalanan yang dapat ditempuh satu malam jika fisik gadis-gadis metropolis itu sedikit lebih baik. Perjalanan malam ini adalah perjalanan yang paling berbahaya. Mereka harus melewati perkebunan bunga matahari yang demikian luas. Jaraknya kurang lebih ada satu kilo. Area itu sangat terbuka terhadap serangan musuh. Ancaman tidak hanya datang dari manusia plasma. Kelompok Nick tentu tidak terima teman-temannya terbunuh. Komplotan itu akan mencari siapa pelakunya. Raka dan kawan-kawan dapat dihabisi dengan mudah di perkebunan itu kalau di antara mereka ada sniper. Raka harus mengatur strategi agar mereka tidak menjadi sasaran empuk musuh. Dia perlu me
Baca selengkapnya
28. Laki-laki Yang Unik
Raka dan kawan-kawan menunggu hujan reda di bawah pohon rindang. Kabut tebal membungkus hutan. Jarak pandang jadi terbatas. Angin dingin mencucuk tubuh. Cuaca buruk sudah membantu mereka untuk melewati perkebunan bunga matahari dengan selamat. Musuh yang berada di lereng bukit tidak dapat melihat mereka karena perkebunan diselimuti kabut tebal. Gadis-gadis metropolis itu memasukkan semua pakaian yang diangin-anginkan ke tas Kirei. Pakaian itu belum bisa dipakai karena belum kering benar. Takut masuk angin. Mereka cukup nyaman mengenakan blazer. Mereka melanjutkan perjalanan setelah hujan berhenti dan kabut berangsur lenyap. Perjalanan mendaki bukit sedikit terhambat karena jalan yang dilalui licin bekas terguyur hujan. Inara sudah dua kali terpeleset dan hampir terjatuh kalau tidak berpegangan pada lengan Raka. "Hati-hati," kata Raka ketika untuk ketiga kalinya Inara tergelincir. "Kalian terpeleset kayak berlomba-lomba." Maysha dan Kirei sudah
Baca selengkapnya
29. Rumah Berasap
Malam sudah sangat larut ketika Raka dan teman-temannya tiba di puncak bukit. Oldi kelihatan berkeringat menggendong Kirei, padahal cuaca sangat dingin. "Istirahat kalau cape," kata Raka. "Malam ini kayaknya kita tidak sampai ke sungai." "Aku keringatan bukan cape." "Karena pepayanya Kirei?" sindir Jonan. "Panen saja sekalian." "Pepayanya membuat aku berfantasi. Harum nafasnya membuat aku terbius." "Sayangnya bau keringatmu membuat aku ingin muntah," gerutu Kirei. Oldi menanggapi serius padahal maksud Kirei bercanda. "Ya sudah kamu turun dulu, biar aku keringkan." Kirei jadi menyesal sudah bicara sembarangan. Dia terpaksa turun. Oldi membersihkan keringat dengan tissue basah. "Sembunyi di semak-semak," kata Raka tiba-tiba. "Cepat." Mereka segera pergi ke rumpun semak dan masuk ke dalamnya. Jonan membabat beberapa batang semak agar sedikit leluasa. Mata Raka memandang ke kejauhan. Manusia plasma tampak be
Baca selengkapnya
30. Prahara Di Posko
Putusnya komunikasi dengan Mahargo membuat posko heboh. Luhantara kalang kabut tidak mendapat kabar sehari semalam. Basecamp sudah tiga kali dihubungi, Mahargo dan kawan-kawan belum muncul di sana. Apa yang terjadi? Mengapa Mahargo susah dihubungi? Mungkinkah mereka mengalami kejadian seperti yang dialami beberapa wisatawan itu? Hutan larangan ditutup untuk wisata alam bukan semata-mata banyak wisatawan tewas, karena susah komunikasi, sehingga tim pencari kesulitan jika wisatawan butuh bantuan. Luhantara tidak percaya dengan cerita takhayul yang beredar, hutan itu dihuni oleh dedemit yang gemar membunuh manusia. Kalau wisatawan yang tewas memiliki ciri-ciri luka yang aneh, sangat mungkin di wilayah itu terdapat spesies binatang yang belum ditemukan oleh para peneliti. Luhantara menemukan beberapa spesies langka yang belum terdaftar di CITES ketika terakhir kali menjelajah hutan itu mencari wisatawan yang hilang. Sekalipun binatang yang ditemukan adala
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status