Semua Bab Suamiku Pangeran Muda: Bab 61 - Bab 70
109 Bab
61. Keguguran Lagi
"Siapa kamu? Kenapa kalian berpelukan begitu mesra dengan Iqbal?" tanya Marwa yang datang mendekati kami. "Maaf Kak, dia persis adik saya, lama saya tidak bertemu dengannya. Dia bersekolah di Amerika," jawabku berbohong. "Aneh, bukan apa-apa, cuma mirip adik  kamu bisa memperlakukan dia semesra itu? Nggak masuk akal banget sih, Zhee!" ujarnya sambil memeriksa aku dengan cermat. "Kamu mengingatkan aku pada Fahim," lanjutnya sambil menarik tangan Iqbal dan membawanya pergi. "Anakku," desahku. Aku cemburu melihat Marwa memperlakukan Iqbal seperti itu. Dia menjaga dan mengawasi seperti anaknya sendiri. Bagaimana kalau Iqbal akhirnya menyayanginya dan melupakan aku? "Ada apa, Zhee?" tanya Muzammil yang tiba-tiba muncul. "Aku menahan Faruq malah Marwa yang datang," lanjutnya. "Tidak apa-apa, Kak Zammil, aku takut kehilangan Iqbal! Aku takut Iqbal akan melupakan aku, setelah mendapat perhatian lebih dari Kak Marwa," ujarku. "Tida
Baca selengkapnya
62. Percobaan Pembunuhan
Aku masih shock, akhirnya aku harus  keguguran lagi. Tapi demi menyelamatkan Iqbal yang juga anak kesayanganku. Sebagai ibu aku berada di posisi dilema, keduanya merupakan buah hatiku. Aku jadi berpikir, pasti kini Faruq sudah mengetahuinya kalau aku adalah Fahim. Aku teringat Iqbal histeris berteriak memanggil umi saat aku mendorongnya minggir dan mobil menabrakku.  Sekarang dia berada di dekatku, aku tidak mau lagi melihat wajahnya. "Kak Zammil, suruh orang itu pergi, aku tidak mau melihat wajahnya!" pintaku. Muzammil memandang Faruq dengan berharap tanpa berucap. "Biarkan Iqbal menemaniku sebentar saja, ada yang ingin aku bicarakan!" pintaku lagi. "Aku hanya ingin bertanya kepada Fahim, apakah bayi itu adalah anakku? Jawab yang jujur, Fahim!" pinta Faruq memohon. "Kamu gila ya, bagaimana kamu berpikiran sepicik itu. Aku istrinya Kak Zammil bagaimana mungkin hamil anak kamu? Pergi ... pergi aku bilang!" teriakku his
Baca selengkapnya
63. Kedatangan Permaisuri dan Hema
Aku sudah berusaha mengingat-ingat tato siapakah itu tapi tidak bisa mengingatnya. "Bagaimana kalau Sultan Mahmud mendengar tentang insiden ini, Kak Zammil?" tanyaku takut dan sedih. "Lambat laun beliau pasti mendengarnya, Zhee, tapi sebelum itu terjadi kita berusaha lagi ya? Semoga Allah lekas mengaruniakan lagi si kecil buat kita," bisik Muzammil. Dokter sudah mengijinkan aku pulang ke rumah. Muzammil mendorong kursi rodaku sampai di depan pintu mobil. Fattah membantu membawakan koper ke mobil dan di tata di bagasi. Kemudian mobil melaju kencang menuju ke rumah. Sepanjang perjalanan Muzammil memeluk tubuhku dengan sayang. Tubuhku yang masih lemah dan tidak berdaya membuatku semakin nyaman terlindungi. Dret ... dret ... dret! Ponsel Muzammil bergetar, mamanya yang menelepon. "Assalamualaikum, Sayang?" sapanya. "Waalaikum salam, Ma," jawab Muzammil pelan. "Kamu dimana, Sayang?" tanya mamanya.  "Aku lagi di
Baca selengkapnya
64. Terkuak Siapa Zhee
Permaisuri sangat terkejut melihat Muzammil membentak Hema, bagaimanapun Hema adalah istri pilihannya. "Zammil, kamu marah kepada Hema hanya karena dia, seorang pembantu Indonesia yang tidak berpendidikan dan udik. Yang benar saja?" sahut Permaisuri emosi. "Aku cuma ingin dia tidak asal nyeplos, aku ingin mereka bisa saling menghargai," usul Muzammil. "Dia mau dihargai? Pantaskah? Apanya yang perlu dihargai, semua yang ada padanya tidak berharga," ejek permaisuri sambil menatapku. Aku hanya diam dan menunduk takut. Aku menyadari apa yang dikatakan permaisuri itu benar. Padahal dia belum mengetahui siapa aku? Kalau saja dia tahu pasti akan lebih sulit bagiku masuk istana Muzammil. Aku wanita kotor yang hanya membawa aib. "Kalau saja bayi itu masih hidup, dia bisa mengangkat sedikit hargamu," lanjutnya. "Sudah Ma, aku dan Zhee sudah cukup tersiksa dengan kehilangan anak kami, jangan ditekan lagi!" pinta Muzammil pelan. "Lihat apa
Baca selengkapnya
65. Berbagi Ranjang
Iqbal sambil menarik tangan Faruq, mengajak Faruq pulang. Dengan terpaksa dan berat hati Faruq mengikuti Iqbal. Padahal dalam benaknya berapi-api ingin membongkar semua rahasia tentang cinta segitiganya. "Apa yang sedang kamu alami di sini, Sayang? Kamu dimanfaatkan oleh wanita rendahan seperti dia. Mama tahu kamu orang yang murah hati, tapi tidak seharusnya sembarangan orang yang mendapatkannya," hardik permaisuri. "Ma, aku mencintai Zhee, tanpa syarat," gumam Muzammil. "Tapi aku menerima menantu penuh syarat, dan semua syarat itu tidak ada pada Zhee. Kamu tahu, kalau papamu tahu siapa Zhee, dia akan bersikeras memisahkan kalian berdua. "Aku rela melepaskan status pangeranku untuk orang yang aku cintai, Ma," gumam Muzammil pelan dan tegas. "Kamu gila, Zammil! Kamu kena sihir ya? Aku dengar di Indonesia banyak terkenal ilmu hitam dan sihir. Sehingga kamu tidak bisa berpikir waras," hardik permaisuri. "Ma, sihir itu ada di mana-mana buk
Baca selengkapnya
66. Cinta Semakin Bersemi
Aku jadi penasaran, ingin mengetahui kenapa Hema memanggil Muzammil? Dengan tertatih-tatih aku memaksa berjalan mendekati pintu ingin menguping. "Pangeran, tolong kasih masukan, ini foto pernikahan kita dipasang dimana?" tanya Hema manja. "Terserah, kamu bisa pasang dimanapun kamu suka, kan tempatnya luas!" jawabnya ketus. "Jangan begitu, Pangeran! Tadi di kamar kita sudah kupasang satu, ukurannya sama besarnya dengan ini. Terus ini masih sisa dua, dipasang dana dong?" tanya Hema merajuk. "Kamarku? Kenapa kamu pasang di kamar, Hema? Kamar kamu di sebelahku, bukan di kamarku," kata Muzammil tegas. "Apa maksudmu?" sahut Hema. "Maaf Hema, aku belum terbiasa tidur dengan orang lain. Ada kamar kosong pas di sebelahku, kamu boleh tidur di sana," jawab Muzammil. "Omong kosong apa ini, Zammil? Masak iya kamu tidur sekamar dengan istrimu, serasa tidur dengan orang lain?" sahut permaisuri turun dari tangga. "Maafkan aku, Ma! Aku
Baca selengkapnya
67. Diagnosa Mandul pada Hema
Sekarang kami berpisah kamar, Muzammil di lantai dua dan aku di bawah, sederetan dengan kamar pembantu. Pukul 03.00, seperti biasa aku bangun untuk sholat Tahajud. Karena aku tidak bisa berjalan jauh, aku melakukannya di kamar. "Zhee!" panggil Muzammil sambil membuka pintu kamarku.  Saat itu aku sedang sholat, sehingga aku tidak merespon panggilannya. Aku mendengar dia menutup kembali pintu kamarku. Setelah sholat tahajjud, seperti biasanya Muzammil membaca dan menghafal Al-Qur'an. Perlahan aku menghampirinya sambil membawakan secangkir kopi. "Terima kasih, Sayang," ucapnya setelah aku menaruh kopi di depannya. "Tidak perlu berterima kasih, Kak Zammil," jawabku. "Bagaimana keadaanmu, Zhee?" tanya Muzammil. "Aku sudah baik-baik saja," jawabku. "Duduklah, Zhee!" perintah Muzammil. "Tidak Kak Zammil, aku takut Putri Hema dan permaisuri bangun, aku kembali ke kamar saja," jawabku. Dengan tertatih-tatih
Baca selengkapnya
68. Berbagi Hati
Aku segera menutup teleponnya dan menyembunyikan ponselku. Hema berjalan menghampiriku. "Jangan banyak berdrama, pura-pura sakit segala," Hema mengolok. "Putri Hema, saya benar sakit. Kalau sehat saya tidak mau tiduran di kamar," jawabku pelan. "Alah, alasan saja!" bentaknya. "Ingat kamu hanya selir dan tidak akan pernah bisa menggantikan posisiku, jangan belagu kamu!" Hema terus mengumpat. "Hema, apa yang kamu lakukan di sini?" tiba-tiba permaisuri muncul di depan pintu. "Tidak ada apa-apa, Permaisuri. Saya cuma melihat apa benar Zhee masih sakit," ujar Hema kemudian pergi. Permaisuri memandangku sekejap kemudian mengikuti Hema pergi. Aku kembali mengambil ponselku, ternyata telepon masih terhubung dengan Muzammil.  "Maaf Pangeran, aku tidak tahu kalau teleponnya belum mati. Aku tidak bermaksud ...," ujarku terputus. "Tidak apa-apa, Zhee. Kamu yang sabar ya, kamu teristimewa dalam hatiku," ujar Muzammil mulai mera
Baca selengkapnya
69. Mengobati Trauma
Tak lama setelah berbicara dengan Iqbal, aku merasa lega, rinduku telah terobati. Akhirnya Iqbal harus kembali ke kelas. "Kita ke apartemen, Fattah," perintah Muzammil. "Baik, Pangeran," jawabnya. Dan mobil pun melaju kencang menuju apartemen Muzammil. "Fattah, aku tidak mau diganggu! Tolong kamu tidur di hotel ya. Jangan pulang ke rumah, aku tidak mau mamaku dan Hema mendesak menanyai kamu," pesan Muzammil. "Siap, Pangeran! Nanti kalau sudah siap untuk pulang tolong kabarin saya," pesan Fattah. "Iya." Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke apartemen Muzammil. Kini aku sudah sampai di apartemen. Baru bebrapa langkah kakiku masuk semua bayangan tentang masa lalu datang menghantuiku. Di sini Faruq dengan tanpa ampun memburuku dan menodaiku sampai aku hamil. Muzammil menggandengku masuk ke dalam, semakin eratnya genggaman tanganku membuat Muzammil sadar dengan ketakutanku. Dia menghentikan langkahnya kemudianl menata
Baca selengkapnya
70. Bulan Madu Buatku, Malam Pertama Buat Hema
Aku serasa berbulan madu di apartemen, tanpa seorang pun mengganggu. Segala aktifitas kita lakukan di dalam. Kita sudah menahannya semenjak kehadiran permaisuri dan Putri Hema di istana, kita tidak bisa saling berdekatan dengan bebas. Aku, Muzammil dan Fattah sepakat off ponsel agar tidak bisa dihubungi oleh mereka. Pagi, sehabis kita menikmati sarapan Muzammil mencumbuku di ruang tengah, dimana Faruq pernah melakukan pelecehan di sini. Semula ini sangat menyiksaku, tapi dengan cara ini dia bisa menyembuhkan traumaku.  "Aku semakin mencintaimu, Zhee. Aku berjanji akan membantumu mengembalikan kepercayaan dirimu," bisiknya di telingaku. "Terima kasih, Pangeran." Dia semakin gencar melancarkan kecupan-kecupan nakalnya ke daerah sensitifku. Dengan tatapan mataku yang tidak pernah lepas dari suamiku, aku semakin fokus menikmatinya. Ini cara efektif menyembuhkan trauma mendalamanku karena kekerasan seksual yang sudah sepuluh tahun lebih aku rasakan.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
11
DMCA.com Protection Status