Semua Bab Suamiku Pangeran Muda: Bab 41 - Bab 50
109 Bab
41. Menikahlah Denganku.
Muzammil teringat saat itu aku sudah menceritakan kisah hidupku, tapi kali ini matanya melihat lagi bukti kekejaman keluarga Faruq dengan melihat bekas luka di tanganku. "Pasti ini rasanya sakit sekali, Fahim? Mereka selalu mencambukmu ya, di seluruh tubuhmu pasti penuh bekas luka?" tanya Muzammil menebak. "Itu tidak seberapa Pangeran, eh Kak Zammil, asal aku dan Iqbal tidak dipisahkan. Kami saling membutuhkan, aku sangat menyayanginya, Kak Zammil. Perpisahan adalah sesuatu yang paling aku takutkan," kataku sambil air mata menggenang di mataku. "Iya aku paham, Fahim, tapi hubunganmu sangat rumit apalagi setelah Faruq menikah," ujar Muzammil. "Kalau kamu bertahan disitu demi Iqbal maka kamu yang akan selalu tersakiti," lanjutnya. "Iqbal sekarang tenang, setelah tahu saya berada disini, Kak Zammil," ujarku kepada Muzammil. "Jadi dia sudah tahu kalau kamu ada disini?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya." Aku kangen Iqbal, Kak Zammil
Baca selengkapnya
42. Izin Menikah
Aku terkejut saat Muzammil mengungkapkan perasaannya kepadaku gara-gara mimpi itu. Dan anehnya aku dan Muzammil bermimpi sama, melarikan diri dengan menunggang kuda putih. "Kak Zammil tidak sedang bermimpi kan berkata ini?" tanyaku tak percaya. "Maaf, anggap saja hanya sekedar mimpi, Fahim! Anggap saja aku lagi mengigau juga boleh," kelakar Muzammil mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah menduga, Kak Zammil pasti lagi bergurau," ujarku kecewa. Aku berharap apa yang baru saja kudengar itu adalah nyata, bahwa Kak Muzammil sedang jatuh cinta padaku. "Fahim, kembalilah tidur!" perintah Muzammil. "Haruskah aku beritahu Kak Zammil kalau aku juga pernah bermimpi yang sama? Apakah dia percaya? Takutnya dia berpikir aku hanya mengada-ada," batinku. "Kak Zammil, aku mau telepon Iqbal minta izin menikah denganmu, boleh ya?" pintaku kepada Muzammil. "Tentu saja boleh, gimana kalau besuk kita temui dia di sekolahnya?" tawar Muzammil.
Baca selengkapnya
43. Kantor Kedutaan Tukasha
Sepulang dari sekolah Iqbal, aku dan Muzammil langsung menuju Kantor Kedutaan Tukasha. Semua surat-surat dan paspor sudah bisa diselesaikan dengan mudah. Mereka mencatat aku sebagai warga Tukasha dengan nama Zhee Amalia.  "Rencana berikutnya mohon restu pada orang tuaku," kata Muzammil. "Apa itu harus, Kak Zammil? Kan pernikahan kita cuma bohongan, haruskah melibatkan orang tua?" ujarku bertanya. "Bohongan? Aku seorang Pangeran, seorang Putra Mahkota Tukasha melakukan pernikahan bohongan? Aku sadar tujuanku menikahimu hanya untuk menolongmu, tapi namanya pernikahan itu sakral, Fahim," ujar Muzammil tegas. "Saya cuma takut mengalami banyak pertentangan, akhirnya gagal. Pasti orang tua Kak Zammil tidak mengijinkan Kak Zammil menikah dengan orang rendahan seperti saya," kataku ragu. "Tapi dengan menikah diam-diam keluargaku akan lebih kecewa bahkan marah besar bisa-bisa mereka menghukumku," ujar Muzammil dengan pandangan kosong. "Pernikahann
Baca selengkapnya
44. Faruq Curiga
Tanpa berpikir panjang aku menghampiri pintu dan membukanya. Hah?  Aku terperanjat kaget, ternyata Faruq yang datang dengan mendadak tanpa memberi kabar sebelumnya. Aku menatap tajam terpaku seolah tak percaya. Faruq yang menyadari tangannya melambai di wajahku sambil berbisik, "Bisa bertemu dengan Muzammil, Rosa?" Sontak membuyarkan keteganganku, aku gugup dan salah tingkah. "Iya bisa," jawabku lirih. "Kenapa ya setiap kali aku mendekatimu terasa mendekati calon istriku. Suaramu, tatapan matamu dan postur tubuhmu, bahkan aroma tubuhmu pun ...," ujar Faruq sambil wajahnya di dekatkan ke wajahku. "Siapa yang datang, Fa ...," kata Muzammil terputus saat melihat Faruq yang datang. Hampir saja dia keceplosan menyebut nama Fahim di depan Faruq. Hatiku berdebar-debar hanya dengan mendengar dan dekat dengan Faruq. Apalagi tadi Faruq sempat menggoda dengan mendekatkan wajahnya, sontak membuatku sesak bernafas. "Ros
Baca selengkapnya
45. Terkuak Penyamaran Fahim
Setelah perlakuan Faruq seperti itu membuat aku tidak nyaman lagi berada diantara mereka. "Permisi aku ke belakang," gumamku lirih. Mereka makan berdua, aku melihat hubungan mereka semakin kaku. Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel di atas meja makan bergetar.  "Faruq, nikmati makanmu, sebentar aku masih terima telepon!" pamit Muzammil menuju teras depan rumah. Aku melihat Faruq berdiri dan berjalan menghampiriku. Kini aku merasa dia sedang berdiri di belakangku. Tanpa Muzammil di dekatku aku merasa tidak aman. Jantungku berdegup kencang, dadaku tiba-tiba sesak bernafas. "Ada susu kurma buatku?" tanya Faruq sambil mendekatkan wajahnya. Aku terbelalak, tak menyangka Faruq senekat itu. Tanpa menjawab aku mengambil gelas keramik, memanaskan susu dan menambahkan kurma yang kublender kasar. Faruq tertegun menatapku dari belakang. Hatiku semakin dag dig dug tak menentu. Bagaimana kalau dia menyadari kalau aku adalah Fahim?
Baca selengkapnya
46. Akad Nikah
"Yakin kamu menikah denganku, Fahim? Kamu masih ada waktu untuk memikirkan ulang, Fahim!" bisik Muzammil di dalam mobil. Aku dan Muzammil duduk berdampingan, tanganku berkeringat dingin. "Aku siap, Kak Zammil," jawabku pelan. "Kamu gugup ya?" tanya Muzammil yang selalu tersenyum mengembang. "Tidak kok," jawabku berbohong. Tak lama mobil yang kami tumpangi, parkir di satu masjid besar yang letaknya tak jauh dari rumah. "Ayo kita turun, Fattah dan Hermin sudah menunggu di dalam," ajak Muzammil. Aku melihat masjid itu tidak ada bedanya seperti hari-hari biasanya. Apakah Muzammil menikah sedemikian sederhananya, pikirku. "Ini akan membuat kamu aman dan nyaman," bisik Muzammil. Oh iya, kalau pernikahan ini meriah akan mengundang kontak banyak orang, bagaimana kalau salah satu ada yang mengenaliku? Kenapa aku tidak bisa berpikir ke sana sih? "Rosa, kemarilah!" teriak Hermin memanggil.  Aku senang melihat
Baca selengkapnya
47. Kehormatan Yang Terkoyak
Kekuatan Faruq tak sebanding dengan aku yang kebetulan masih sakit tangan maupun kakiku. Aku terdorong ke belakang hingga sempoyongan. Aku tidak mengira Faruq yang datang sepagi ini. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku ketakutan. Tanpa menggubrisku Faruq menutup dan mengunci kembali pintunya. Dia berjalan mendekatiku. "Jangan mendekat!" bentakku. Faruq terus mendekatiku tanpa menghiraukan teriakanku. Kini aku terpojok, tubuhku terhimpit antara dinding dan tubuh Faruq. Aku takut, kebringasannya terbayang lagi di mataku. "Aku sudah menduga itu adalah kau, Fahim. Kamu tidak akan pernah bisa mengelabuhiku!" ujarnya geram. "Siapa yang ingin mengelabuhimu, Tuan Muda? Aku terjerat masalah berat, yang tidak kulakukan. Kamu yakin kan bahwa aku bukan pelakunya? Itu makanya aku harus menyamar" kataku. "Iya aku tahu, tapi itu hukuman yang pantas kamu terima karena untuk kedua kalinya kamu lari dari pernikahanku. Kamu sudah bikin aku malu!" uj
Baca selengkapnya
48. Trauma Lagi
Entah kenapa aku suka sekali bila Muzammil memanggil namaku Zhee. Satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu. Dan bila Muzammil yang memanggil suara manja dan lembut begitu menyentuh hatiku. "Zhee, nanti kalau sampai rumah aku telepon lagi ya, ini mau masuk pesawat," ujar Muzammil. "Iya Kak Zammil, hati-hati ya!" pesanku. "Kamu juga ya, jaga dirimu! Assalamualaikum ...!"  "Waalaikum salam." Kemudian aku menutup teleponnya, hatiku hancur bila ingat kejadian barusan. Kenapa aku begitu lemah hingga tidak mampu menolong diriku sendiri. Padahal melawan Ikhsan atau yang lain aku masih ada kekuatan. Apa karena kaki dan tanganku yang belum sembuh betul. Aku beranjak dari sofa dan menuju kamar mandi. Kuguyur bajuku yang tercabik-cabik dan tubuhku yang penuh luka di bawah air shower. Aku menggosoknya sambil menangis sejadi-jadinya, menyesali perbuatannya yang tidak bisa dihentikan. Cinta penuh nafsu dan obsesi yang justru membuatku
Baca selengkapnya
49. Memohon Restu Orang tua
Aku kembali tidak sadar, tekanan di kepala dan dada membuatku sulit bernafas. "Zhee, bangun kenapa kamu harus mengalami semua ini?" ujar Muzammil sambil menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Aku masih bisa mendengarnya, meskipun samar-samar. Muzammil menciumi rambutku dengan penuh sayang. Karena apa yang sedang aku alami, aku malu untuk membuka mataku menatap Muzammil suamiku. "Bangunlah Zhee, aku tidak akan membiarkan dirimu sendiri lagi. Aku akan membawamu kemanapun aku pergi," janji Muzammil pada dirinya sendiri. Perlahan aku membuka mataku, Muzammil sedang menggenggam tanganku, air mata menggenang di matanya. Aku sudah kembali ke kamarku dan terbaring diatas kasur. "Kamu sudah sadar?" tanya Muzammil lega. "Maafkan aku, Kak Zaammil, seharusnya ini tidak terjadi," kataku pelan. "Hust!" sahutnya sambil menutup bibirku dengan telunjuknya. Kemudian kembali Muzammil  mendekapku semakin kuat dan erat. Seakan mengga
Baca selengkapnya
50. Restu Yang Terganjal
Dret ... Dret ... Dret ...! "Papa?" panggil Muzammil memekik. Aku terperanjat, segera aku menjauh agar tidak terjangkau kamera karena mereka memanggil video. "Assalamualaikum, Pa?" sapa Muzammil. "Waalaikum salam," jawab papanya. "Kok ditunggu tidak menelepon sih, mana istrimu?" desak Sultan Mahmud, papanya. "Sabar Pa, kita masih ke dokter, nih pak dokternya nanti aku telepon, Pa!" jawab Muzammil gugup, asal ceplos sambil mengarahkan kamera ke wajah dokter. "Ke dokter? Jangan bilang dia sedang hamil?" tanya papanya menohok. Apa hamil?" kata Muzammil terkejut. Aku melihat wajah Muzammil yang memerah sambil memandangku. Bagaimana mungkin hamil baru kemarin menikah lagian dia tidak berani menyentuhku. Tapi bagaimana kalau aku bener hamil anaknya Faruq, bukankah dia menodaiku kemarin. Tidak! Jangan Ya Allah! Jangan beri hamba kemalangan seberat ini? "Tidak, Pa! Dia hanya kurang enak badan, tenang saja nanti aku ajak
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status