Semua Bab Apa Warna Hatimu?: Bab 21 - Bab 30
151 Bab
Chapter 21 : Perhatian Richard
    Aku bersin tiga kali berturut-turut. Kepalaku pening. Aku tahu seharusnya tidak memaksakan diri untuk datang ke kantor hari ini, tapi aku tidak terbiasa absen.    "Hazel? Kamu sudah minum obat?" Bernard melongokkan kepala dari pintu.    "Belum. Aku minum vitamin C kok."    Bernard geleng-geleng kepala, "Kubuatkan jahe hangat untukmu."    Aku bersin lagi.    Sial. Ini gara-gara tertidur di sofa dengan suhu AC terlalu rendah. Padahal Richard sudah menutupi dengan selimut, tetap saja aku pilek. Aku melirik selimut flanel yang terlipat rapi di sofa. Wajahku terasa hangat.    Aku menoleh saat pintu diketuk. Richard berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat khawatir. Apakah aku terlihat seburuk itu?    "Kamu perlu ke dokter," kata Richard.    "Nggak perlu. Aku minum vitamin."    "Ada yang pernah bilang kalau kamu bandel?"  &nb
Baca selengkapnya
Chapter 22 : Munculnya Bryan
    "Woi, muka lo kenapa Bro?" Wahyu tertawa ngakak melihat cap lima jari di pipi kanan kiriku.    "Sssssttttt berisik!" desisku.    "Lo habis berantem sama Richard??"    "Sial. Kaga lah! Gue sama dia udah damai."    "Cieeee udah damai nih ye? Terus, kapan bikin bab baru? Jangan lama-lama!"    "Maksud lo?" Aku mendelik keki.    "Maksud gue, kalau ada rasa jangan disangkal, Bro. Kapan lagi bisa dekat sama--"    "Astaga, nggak pakai TOA aja sekalian?"    Siang ini kami memesan makanan yang sama: soto ayam. Aku menyeruput kuah soto dengan nikmat. Mataku terpejam saat kuah yang hangat mengalir masuk ke perut.    "Bro, lo masih ketemu si D?" tanya Wahyu.    "Paling cuma berpapasan di lift. Kenapa? Ada gosip baru?"    "Nggak sih, orangnya juga nggak banyak keliling ke meja kita lagi. Penasaran aja apa dia
Baca selengkapnya
Chapter 23 : Double Trouble
    Aku bersembunyi di toilet. Aku tidak ingin tahu apa yang dilakukan si kembar di ruangan Richard. Sepertinya memang lebih baik tidak tahu, karena baru muncul saja, kenal juga belum, Bryan sudah aktif merayuku.    Seseorang mengetuk pintu toilet. Aku tidak menjawab.    "Hazel? Kamu baik-baik saja?" Suara Richard bertanya.    Aku membuka pintu.    "Maaf, saudaraku memang suka jahil." Richard menggaruk kepala.    "Iya, nggak apa."    Aku mengikuti Richard kembali ke ruanganku. Jantungku berdebar karena Bryan duduk santai di sofa. Kenapa dia masih di sini?    "Kamu benar-benar manis kalau sedang ngambek," rayu Bryan.    Aku melengos.    "Bryan, jangan ganggu Hazel. Gue nggak mau kehilangan desainer."    "Sorry, Brother. Lo tahu sendiri gue nggak tahan lihat wanita cantik." Bryan menyeringai.    "Kita
Baca selengkapnya
Chapter 24 : Intensi Bryan
    Aku melongo melihat Bryan duduk di sofa oranye. Mau apa dia pagi-pagi nongkrong di ruanganku? Aku berjalan dengan perlahan ke mejaku. Mataku memperhatikan Bryan yang tampak sibuk dengan kamera DSLR. Apakah ada pemotretan?    "Good morning, Hazel," sapa Bryan dengan senyuman lebar.    "Good morning," balasku.    "Hari ini aku mau mengikutimu. Boleh?"    Aku mengernyit, "Maksudnya?"    "Aku mau memotret keseharianmu."    "Nggak boleh! Itu melanggar privasi!" sergahku cepat. Aku membayangkan betapa tidak nyamannya dibuntuti orang.    "Bagaimana kalau aku mengambil satu foto saja? Boleh? Please?" Bryan memasang wajah sedih.    Aku nyaris tertawa, tapi berhasil menguasai diri, "Nggak boleh. Aku nggak suka difoto."    "Oh ya? Kupikir wanita suka selfie. Ternyata kamu berbeda," Bryan menatap kagum.    Aku tidak menjawa
Baca selengkapnya
Chapter 25 : Beda Level
    Aku lelah. Sangat lelah. Energi yang kukeluarkan tidak sepadan dengan yang kumiliki. Bayangkan saja, setengah harian aku harus bertahan menghadapi Richard dan Bryan yang tampak sangat betah berada di ruanganku. Semakin Richard melindungi, semakin Bryan mendekati.    Wanita lain mungkin akan melonjak kesenangan berada di antara dua lelaki ganteng, tapi aku tidak. Terbiasa melihat warna hati lelaki brengsek membuatku tidak mudah percaya terhadap orang.    "Kalian membuatku capek," cetusku.    Richard dan Bryan menoleh berbarengan.    "Kamu mau istirahat di atas?" tanya Richard.    "Nggak usah, aku mau kalian yang keluar dari sini." Aku merengut.    Bryan tertawa, "Sudah cantik, pemberani pula. Nggak heran lo perhatian sama Hazel."    Pipiku merona.    "Cukup! Pulang lo sana! Benar-benar mengganggu pekerjaan orang," sergah Richard.  &n
Baca selengkapnya
Chapter 26 : Menghindari si Perayu
    "Bernard, tolong batalkan semua meetingku hari ini." Richard mengetukkan jari di meja pendek. "Bilang saja aku ada urusan mendesak."    Aku setengah mati menahan tawa melihat bibir Richard yang bengkak. Tidak parah sih, cuma tambah seksi saja.    Richard melirikku, "Tertawa saja, nggak usah malu-malu."    Pancingannya membuatku harus mendekap mulut. Aku masih belum senekat itu menertawakan Bos, seolah tidak cukup aku membuat wajahnya distorsi.    "Aku boleh turun sekarang?" tanyaku.    "Bawa laptopmu kemari," kata Richard sedikit ketus.    Aku mendelik, "Apa? Tapi--"    "Aku nggak mungkin turun dengan wajah begini, maka kamu harus bertanggungjawab dengan bekerja di sini."    "Baiklah, daripada aku diganggu Bryan...," gerutuku.    "Ayo cepat. Waktu adalah uang."    "Iyaaaa."    Aku mengendap-endap
Baca selengkapnya
Chapter 27 : Suka Atau Tidak?
    Aroma wewangian menyeruak dari dalam ruanganku. Aku suka sih aroma ini, tapi siapa yang menyemprotkannya di dalam? Ketika aku masuk tampaklah Bryan rebah di sofa.     Huh. Dia lagi.    Aku menghela nafas. Hari ini Sabtu dan aku tidak ingin ada beban pikiran berlebih untuk menikmati hari Minggu. Aku berusaha tetap santai.    "Good morning, Hazel. Kamu terlihat cantik pagi ini," sapa Bryan tanpa berusaha bangkit.    "Good morning. Kamu nggak ada kerjaan?" Mataku menangkap tepi bawah kaos Bryan yang tersingkap. Aku segera memalingkan majah. Lebih baik aku memelototi laptop seharian daripada melihat sesuatu yang tidak pantas.    "Kamu suka Richard?"    Pertanyaan yang mendadak membuatku menoleh dengan sengit.     Bryan menyeringai, "Richard sangat menyukaimu, dia melindungimu seperti benda berharga."    Jantungku berdebar kencang, "Karen
Baca selengkapnya
Chapter 28 : POV Richard
    Ketika sudah mengantar Hazel pulang, Richard mampir ke rumah Bernard untuk mencurahkan isi hati. Tadinya Bernard adalah kepala pengurus rumah tangga Yilmaz yang bekerja dengan keluarganya sejak Richard berusia 10 tahun. Bernard menyaksikan Richard dan Bryan tumbuh dewasa menjadi lelaki rupawan. Setelah Richard dewasa, dia meminta Bernard untuk menjadi resepsionis merangkap tangan kanannya.    Kedua lelaki itu duduk santai di teras sambil menikmati secangkir teh panas. Lampu taman membuat suasana menjadi mistis.    "Maafkan saya bertanya, tapi apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Bernard penuh perhatian.    "Sejauh ini baik," jawab Richard tanpa semangat.    "Ehm... sepertinya Tuan Muda jadi sering sparring dengan Nona Hazel?" Bernard tersenyum. Gaya bicaranya berubah saat hanya berdua dengan Richard.    Richard menghela nafas.    "Bagaimana saat ke pantai berdua?"&nb
Baca selengkapnya
Chapter 29 : Santai di Pantai
    Seperti biasa aku melenggang bahagia di pasir pantai. Guliran butir pasir terasa seperti refleksi bagiku. Satu-satunya yang berbeda adalah kehadiran Richard yang membuntuti satu langkah di belakangku. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan dalam keheningan, semoga saja bukan hal-hal yang dapat merusak kesenangan hari ini.    Iseng-iseng aku memunguti kerikil berbentuk bulat dengan permukaan licin. Siapa tahu berguna di lain waktu. Setelah mengumpulkan cukup banyak aku menyortir, kerikil yang paling sempurna kusimpan, selebihnya kulempar ke laut.    "Mau dibuat apa?" tanya Richard penasaran.    "Entahlah. Menarik saja."    "Kupikir kamu mau mulai mengkoleksi bebatuan."    Aku tertawa, "Tidak lah. Ini spontan kok. Kalau sudah bosan mungkin akan kubuang."    "Habis manis sepah dibuang." Richard mengkonfirmasi dengan pepatah yang kebetulan dia ketahui.    "Kamu kej
Baca selengkapnya
Chapter 30 : Buku Impor
    Selesai makan Richard membawaku ke sebuah toko buku impor di kawasan selatan kota. Aku sering mendengar tentang toko buku ini tapi belum pernah mengunjunginya. Aku sangat bahagia sampai ingin memeluk Richard. Untung keinginan itu bisa kutahan.    Toko buku ini berukuran sedang. Bagian interior didesain sangat nyaman dengan warna-warna kayu. Sofa dan kursi diletakkan di berbagai tempat. Aku langsung menuju rak yang bertuliskan 'Desain'. Mataku berbinar seperti anak kecil yang diundang ke pabrik cokelat. Sebentar saja aku sudah tenggelam dalam buku. Aku bahkan tidak menyadari Richard duduk di sampingku.    "Ini bagus," kata Richard.    Aku terkesiap mendengar suaranya. Lebih terkejut lagi saat menoleh dan melihat wajah Richard begitu dekat denganku.    "Seperti melihat hantu saja," gerutu Richard.    Dari ekspresinya aku tahu Richard juga kaget. Aku meringis.    "Sorry, kalau
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status