All Chapters of MARTA, cinta kedua: Chapter 21 - Chapter 30
79 Chapters
21. Fitnah
 Aku sangat terkejut. Berulang kali ku baca ulang pesan itu. Dan benar, tak ada yang berubah di dalam kalimatnya. Mataku beralih dan menatap tajam kearah ibu Akmal. Aku ingat sesuatu. "Bu, dimana surat tanah milikku?" Ibu melebarkan mata. Mulutnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu. "Dimana, Bu?" "Apa maksudmu?" Ibu mencoba berkilah. "Ibu sembunyikan dimana? Katakan sekarang atau …," "Atau apa Ta? Jangan mengancam Ibu, kesehatannya terganggu karena kemarin tiba-tiba pengacaramu datang." Suara Raina memotong ucapanku. "Kamu cukup diam, ini urusanku dengan Ibu. Kam
Read more
22. Jangan Terulang
"Kenapa diam? Kamu harus minta maaf pada ibu. Kamu harus …." Ucapannya terhenti saat aku memberanikan diri untuk menatap matanya. Rasa takut kembali datang. Ingatan tentang kejadian malam itu membuat tubuhku sedikit gemetar. Ya Tuhan …, jangan terjadi lagi …. Tangannya mengepal dan memukul sandaran sofa di sebelahku. Matanya menyorot merah penuh amarah dan kecewa. Posisiku sangat tidak menguntungkan. Aku berada di bawah kungkungannya. "Ternyata kamu benar-benar lupa bagaimana aku selama ini." Aku berucap lirih. Akmal tersentak mendengar ucapanku.  Perlahan dia menjauhkan diri dan pandangan matanya mulai mered
Read more
23. Pov Raina (1)
Aku hamil, dan ini semua menjadi awal dosaku. Dosa yang tak pernah bisa terampuni. Aku mempunyai tunangan dan dia tinggal jauh dariku. Dia Panji, pria berusia tiga puluh tahun, sikapnya dingin bahkan terhadapku. Aku yang memintanya untuk menjadikanku tunangannya. Sekedar untuk menyenangkan hati kakek. Aku mengenal Panji karena dia pernah beberapa kali mengisi acara di kampusku. Panji seorang pengusaha muda, dan menikah berada di deretan entah keberapa dalam target hidupnya. Saat ku tanya, apakah dia akan segera menikahiku? Dia bilang, dia menungguku melamarnya. Unik bukan? Aku sendiri senang menjalani hubungan ini. Tak ada kekangan, tak ada tunangan posesif, dan tak ada beban. Aku terikat namun bebas. Sampai suatu hari aku menemukan tatapan Panji terlihat berbeda saat dia menatap Marta, sep
Read more
24. Pov Raina (2)
Aku terbangun karena merasakan gerakan di sebelahku. Mungkin Akmal terbangun. Terdengar beberapa kali dia menyebut nama Tuhan. Aku ingin mengacuhkannya, tapi telingaku benar-benar terganggu. Terlalu lama tidur dengan posisi miring membuat badanku terasa pegal. Aku menggeliat dan sedikit meringis saat sadar selimutku tersibak. "Na, ba--bagaimana bisa kita ada di sini?" Panik, ya … Akmal terlihat panik dan bingung di saat bersamaan. Aku mengedikkan bahu, berusaha meraih selimut untuk menutup tubuhku. "Kita … kita, maksudku semalam tidak terjadi apa-apa kan?" Akmal menatapku, dia sudah berpakaian lengkap walau terkesan asal pakai saja. "Menurutmu?" Aku membalikkan pertanyaan. Akmal mengusap kasar wajahnya. Dia berdiri
Read more
25. Sebuah Rahasia
Pak Haris mengantarku ke arah luar kota, berjarak dua jam perjalanan dengan mobil. Aku yakin tak akan ada penolakan di sana. Dan mungkin saja aku bisa mendapatkan pekerjaan sekaligus. Perjalanan panjang dengan perut kosong sebenarnya cukup menyiksa. Pak Haris bukan Panji, yang selalu saja memikirkan perut. Pak Haris mengemudi dengan tenang, hanya sesekali menoleh ke arahku. Seperti memastikan jika aku baik-baik saja. Mataku terpejam, namun aku sama sekali tidak tidur. Hanya merasa lelah yang teramat sangat. Lelah menghadapi semua ini sendiri. Terdengar Pak Haris berbicara dengan seseorang di telpon.  Sayangnya aku tak bisa mendengarnya dengan rinci, karena Pak Haris menggunakan earphone. "Mbak Marta, anda tidur?" tanya Pak Haris. Aku membuka mata, "tidak, Pak." "Maaf Mbak, di belakang
Read more
26. Rumit
Apa-apaan ini? Siapa yang sedang membohongi siapa? Aku termenung menatap langit-langit bergambar awan. Surat ini Pak Haris temukan di ruang kerja Akmal, jadi tidak mungkin mantan suamiku tak tahu tentang ini kan? Jadi selama ini Akmal membohongiku? Berperan seolah-olah tak pernah periksa. Dan menyembunyikan ini semua dariku? Brengs*k! Lalu Raina? Jelas sekali dia sedang hamil. Waktu itu aku dengar dengan telingaku sendiri, jika kondisi janinnya baik-baik saja. Meskipun tubuh Raina sangat lemah. Raina hamil dengan siapa? Mungkinkah Panji? Akmal mandul. Dia sendiri tahu tentang itu. Tapi kenapa dia mengaku jika Raina hamil karenanya? Kepalaku berdenyut. Siapa yang dibodohi di sini? Aku, Akmal, atau Raina? Hah …! Kenapa hidupku kacau begini. Apakah karena
Read more
27. Maya
Raina sakit. Kabar itu kuterima sehari setelah Pak Haris mengatakan jika kakek meninggalkan surat wasiat. Karena itu Pak Haris mengatur ulang jadwal pertemuan antara aku, Raina, dan orang yang menyimpan surat wasiat dari kakek. "Kamu nggak pengen nengok Raina?" tanya Panji di sela kesibukanku mengelap gelas dan piring. "Nggak." Aku menjawab singkat. "Kenapa?" Aku menatapnya sekilas sebelum kembali melanjutkan pekerjaanku. Yang jelas aku tak yakin Raina benar-benar sakit. Bisa jadi itu cuma alasan yang dia buat untuk menghindar kan? "Belum bisa move on?" Ku letakkan lap kotor di atas meja. Pengunjung cafe masih sepi karena ini masih terlalu pagi. "Beneran belum bisa move on?" Seandainya Panji bukan p
Read more
28. Tak Sesuai Rencana
"Rara …? Kamu Rara kan?" seru Maya. Tangannya mengarah kepada Raina. Raina pun membulatkan mata. Mulutnya sedikit terbuka, seolah terkejut melihat Maya. Apakah mereka berdua saling mengenal? "Maya …," lirih suara Raina terdengar.  Ada getar gugup yang coba ditutupi. Tatapannya sebentar menunduk, tapi beberapa saat kemudian dengan berani dia mengangkat dagu. "Kalian saling kenal?" tanya Panji pada Maya dan Raina. "Hmm … iya, Kak. Aku dan Maya pernah kerja di tempat yang sama." "Dimana?" Tak ada yang menjawab. Hanya saling menatap, seolah isyarat untuk memilih diam. Baiklah, biar nanti ku tanyakan pada Maya. Raina menatap sekeliling, dan memilih duduk di seberangku. Aku masih
Read more
29. Kisah Panji
Panji menggumamkan kata yang hanya didengar oleh Pak Haris. Pengacaraku pun menjawab sesaat sebelum tertawa. Panji semakin menekuk wajah. Ada apa dengan lelaki itu? Dengan cepat dia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Setelah membukakan pintu mobil Pak Haris untuk Maya, aku berbalik menuju mobil Panji. Aku mengetuk jendela dan mengisyaratkan Panji untuk membuka pintu. Dia tertegun sejenak sebelum membuka pintu. "Ji, tolong mampir ke toko baju ya, aku sama Maya nggak bawa baju ganti." "Siap Nyonya," jawab Panji sambil mengulas sedikit senyum. Hei, mudah sekali suasana hatinya berubah. "Kamu kenapa?" Kuberanikan diri untuk bertanya. "Hmm? Kenapa apanya?" "Itu tadi. Ketus gitu waktu aku keluar d
Read more
30. Mencari Suasana Baru
Sepulang dari bukit, Maya dan Pak Haris semakin dekat. Sementara aku dan Panji seolah terpisah sekat yang ku bangun sendiri. Aku merasa salah arah bahkan sebelum aku memulai perjalanan. Bagaimana mungkin Panji bisa dengan tenang mengatakan agar tak mengharap dia melamarku? Siapa dia? Begitu percaya diri seolah aku menantikan lamaran darinya. Ingin ku cabik mulutnya yang sering menghembuskan asap rokok itu! Huh, apakah dia pikir aku semenderita itu hingga sangat mengharap lamaran darinya? Apa karena sebentar lagi aku resmi menyandang gelar janda, dan dia pikir aku akan menggodanya untuk menikahiku? Dasar! Rutukku geram. Tanpa sengaja aku meremas botol air mineral di tanganku. "Kenapa, Ta?" Aku menoleh dan menemukan Panji berdiri di pintu dapur. &nb
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status