Все главы Dia-lo-gue: Глава 51 - Глава 60
78
PART LI
“Gue mau seks.” Permintaan itu muncul begitu saja. Aku pikir, aku juga butuh sesuatu yang bisa mendistraksi kesakitanku sekarang. Namun, reaksi Jace malah membuatku mengerutkan kening. Dia malah tertawa. Cukup terlihat geli dan lama. “Jace?” Aku sampai harus mengingatkan bahwa aku bukan Sule, komedian paling terkenal di Indonesia. Kami sedang berbicara teramat serius. Jantungku saja sampai bertalu kencang saking seriusnya ucapanku tadi. “Enggak gitu cara mainnya,” tukas Jace dengan sisa tawa. Aku menunduk dalam. Bukan kecewa. Lebih kepada rasa malu. “Lupain aja. Gue mau tidur.” Aku merengut sambil menarik selimut sampai menutupi setengah wajahku. “Kat, seks itu bukan mainan. Lo enggak bisa asal minta hal begituan hanya gara-gara lagi sedih,” Jace menarik selimut yang menutupi sebagian wajahku. Aku tidak menjawab. Aku pura-pura mengabaikannya dengan memejamkan mata. Tidak sepenuhnya menyesal dengan permintaanku itu. Aku
Читайте больше
PART LII
“Mahal-mahal,” bisikku setelah mengintari rak pajang yang menampilkan beberapa potong atasan berbahan satin di sebuah toko baju dengan brand terkenal. “Enggak di department store aja?” “Di sana enggak ada tempat duduk buat gue nungguin lo milih-milih.” Telunjuk Jace berjalan pada baju-baju yang tergantung di depannya. “Ini bagus.” Aku mengernyit pada terusan selutut yang dia angkat di depan dadanya. Warna hitam dengan banyak stud melingkari pergelangan tangannya. “Kayak mau konser rock.” Jace mengembalikan terusan yang dipegang ke tempatnya semula. Lalu mengikutiku berputar di dekat baju-baju yang bergantung dengan tulisan diskon. “Mau ke toko selanjutnya?” tawarnya. Sepertinya dia memperhatikan keningku yang terus berkerut setiap melihat tag harga pada setiap pakaian yang aku incar. “Enggak usah. Ini ada kok, yang murah,” jawabku setelah menemukan kaos polos tipis dengan coretan besar pada label harganya. D
Читайте больше
PART LIII
Tanah ini bahkan masih basah. Wangi bunga yang aku tabur lima hari yang lalu masih terhidu pada ujung indera penciumanku. Aku merangkum tanah merah di depanku dan meremasnya dengan kuat. Merasa tidak cukup satu genggaman, tanganku yang lain ikut meraup tanah. Jika perlu, aku akan melakukannya berkali-kali, sampai tanah yang menutupi jasad ayahku ini bisa tersingkir dari atasnya. Namun urung kulakukan. Bukan karena aku takut. Namun, karena aku tidak membawa sekop untuk mengerjakannya. Butuh waktu berhari-hari jika aku lakukan hanya dengan kedua tanganku ini. Apa sih, yang aku pikirkkan? Bisa-bisanya punya niatan menggali kuburan ayah sendiri. “Mbak, udah malam. Sebentar lagi gerbang depan mau saya tutup.” Penjaga komplek pemakaman mengingatkan. Sudah gelap. Sudah tidak ada orang lain lagi di pemakaman ini selain aku dan pria berkumis tebal yang sedang melipat tangannya di dada. Aku mengembuskan napas lalu bangkit menghadapnya. “Saya mau tidur d
Читайте больше
PART LIV
“Mau makan apa?” Aiden muncul dari balik pintu. Dia menyalakan lampu yang tombolnya menempel di dekat kepalanya. “Samain aja,” jawabku malas. Lalu kembali menarik selimut motif batman milik Aiden. Jika bukan karena aku yang cuci sendiri selimut ini, aku tidak akan sudi pakai selimut yang bentuknya saja sudah tidak karuan. “Enak aja disamain. Gue nasi goreng kambing, lo nasi goreng biasa aja,” ucapnya sambil berbalik meninggalkanku. “Gue juga mau nasi goreng kambing.” Aku berteriak. Sepertinya, enak juga malam-malam dingin begini makan sesuatu yang berlemak. Namun, itu hanyalah anganku saja. Aiden kembali setengah jam kemudian dan hanya memberiku nasi goreng biasa. Saking biasanya, bahkan telur saja tidak ditambahkan ke dalamnya. Aku merengut pada tiga bocah cowok yang sedang terkikik geli, menertawakan candaan yang hanya mereka saja yang mengerti. “Tega banget sih, gue enggak dikasih topping sama sekali.” Aiden
Читайте больше
PART LV
Tidak ada percakapan yang terjadi  lagi antara aku dengan Sheryl sampai kami akhirnya menyelesaikan pelajaran hari ini. Sheryl tertangkap menangis ketika aku kembali ke kelas setelah menenangkan diri di toilet. Shafira dan Briya tidak bertanya tentang yang telah terjadi. Jadi aku bisa leluasa untuk segera pergi dari kelas dan pulang. Dari gerbang sekolah, aku harus berjalan cukup jauh menuju pertigaan tempat Aiden nanti menjemputku. Katanya, dia malas kalau harus masuk ke dalam komplek menuju gerbang sekolah. Selain karena jalanannya sempit, dia juga sedang menhindari salah satu mantannya yang ternyata adik kelasku. ‘Kat, tunggu dulu, ya. Gue harus anter Clara pulang dulu. Dia sakit perut. Lagi dateng bulan.’ Aku berdecak kesal membaca pesan yang Aiden kirim. Giliran diberi pinjam mobil, malah dipakai pacaran. Langit menggelap. Udara dingin bercampur titik air yang terbawa angin menerpa pipiku. Aku terus melangkah melewati perti
Читайте больше
PART LVI
“Zoey, cium gue.” Untuk beberapa detik bola mata kelabu di depanku ini bergerak dengan ragu. Kelopak yang menaungi matanya melunglai dan bibirnya malah menyunggingkan senyum yang tidak sampai ke mata. Keterkejutan di wajahnya berangsur menjadi tatapan kecewa. “Kat, lo tahu? Ini kenak-kanakan,” bisiknya tanpa melepaskan telapaknya di pipiku. Aku mengerjap. Zoey menolakku. “Sorry.” Malah aku yang melepaskan diri. Menunduk dalam karena merasa malu. “Gue enggak bisa marah sama lo. Walau gue sadar keberadaan gue di sisi lo selama ini cuma dijadikan alat.” Aku menggerakan rahang. Menahan ekspresi wajah supaya tidak terlihat menyedihkan. “Enggak gitu, Zoey. Gue memang salah, tapi lo bukan alat.” “Enggak apa-apa, Kat. Gue tetap senang kita pernah punya waktu bersama.” Zoey mundur sebelum melepaskan tatapannya padaku. Dia sempat menyapa Jace di seberang dengan mengangkat tangannya ke udara. Lalu berbalik dan masuk kemba
Читайте больше
PART LVII
“Saya walinya. Adik dari Pak Atreya.” Om Aldrin menjulurkan tangan pada sosok gempal yang menatapku dengan pandangan bimbang. “Jadi keputusannya sudah bulat ya?” Lelaki yang selalu menjadi sosok paling menakutkan di sekolah ini kembali menghela napas. Entah untuk yang keberapa kali semenjak kami bertiga duduk di ruangan. “Iya, Pak,” jawabku pelan. Tidak berani menatap matanya.  “Sayang sekali, Kat. Padahal tidak perlu sampai mengundurkan diri. Kesalahanmu tidak sefatal itu.” Pria yang sudah dua tahun aku kenal sebagai Kepala Sekolah ini mundurkan punggungnya. “Keputusan ini enggak ada kaitannya sama kasus uang pensi kemarin kok, Pak.” Aku meluruskan. “Ada masalah internal keluarga, Pak. Itu membuat saya harus membawa Katy dan Adiknya bersama saya ke Bandung,” imbuh Om Aldrin menjelaskan maksud perkataanku sebelumnya. Pak Walid –Kepala Sekolahku– mengangkat kedua alisnya. Sepertinya dia belum paham, tetapi tidak membahasnya lebih l
Читайте больше
PART LVIII
“Mereka pelakunya.” Ada kelegaan di mata Shafira ketika aku melihat netra hitam miliknya. Jadi dia melakukannya? Dia benar-benar mencari pelaku sesungguhnya demi aku? “Sha?” Aku masih memandangnya tidak percaya. Merasa lega dan terharu di saat bersamaan. Shafira mengangguk. Menjawab tatapan terkejut yang aku tujukan padanya. “Bicara, Don,” geram Pak Badrun. Doni tergugu. Dia masih belum berani mengangkat kepalanya ketika akhirnya dia bicara. “Maafin saya, Pak. Saya lagi kesulitan ekonomi.” “Tapi ini tindakan kriminal. Kamu mau saya laporkan ke polisi?” ancam Kepala Sekolah geram. Doni semakin tertunduk. Bahkan aku melihat titik bening jatuh ke pahanya. Begitu pun gadis SPG dealer di sampingnya. Dia sudah terisak semenjak dokumen kwitansi palsu yang menjadi bukti itu di hadirkan ke hadapannya. Persidangan untuk Doni masih berlanjut. Keadaan semakin sulit untuk Doni ketika Kepala Dealer tempat kwitansi itu di buat, ikut hadir di
Читайте больше
PART LIX
“Jadi kapan berangkat ke Bandung?” Jace memantulkan bola basket di tangannya ke lantai semen beberapa kali. Memasang ancang-ancang untuk menembak lalu melambungkan bola ke dalam keranjang. Bola masuk tepat sasaran. Sempat memantul dan menggelinding jauh. “Besok,” jawabku. Mataku masih memperhatikan gerakannya saat mengejar bola yang bergulir ke sisi kiri lapangan. Jace menoleh sebentar dan kembali dengan bola di tangannya. Kemudian melakukan hal yang sudah tiga kali di lakukan semenjak dia mengajakku ke lapangan basket milik apartemen di belakangku. Berdiri di belakang garis three point, memasang kuda-kuda dan melempar bola. Seperti katanya tadi, dia memang mengajakku ke tempat sepi. Inilah tempat sepi yang dia maksud. Kami menerobos pagar kawat tinggi menuju belakang sebuah apartemen dan berakhir di lapangan basket. Tidak terlalu sepi juga, karena di seberang lapangan basket, ada skate park untuk umum. Berbeda dengan lapangan basket,
Читайте больше
PART LX
Dua tahun kemudianDering telepon memenuhi ruangan empat kali lima meter yang menjadi tempat tinggalku sekarang. Aku melenguh sambil mengucek pelan kedua mataku. Mataku menyipit, berusaha menyesuaikan dengan cahaya dari sinar matahari yang menyelusup masuk lewat celah gordin.Handphone kembali mengumandangkan suara merdunya Raisa yang sudah satu tahun ini menjadi penanda adanya panggilan masuk.“Siapa, sih?” gerutuku pada diri sendiri.Tanganku bergerilya ke samping bantal tempat aku terakhir meletakan handphone sebelum tidur semalam. Nama ibuku tertera di layar ketika handphone sudah aku hadapkan pada wajah.“Halo?” sapaku.“Katy? Baru bangun?” Suara ibuku terdengar nyaring di telepon.Di belakangnya terdengar keributan khas dapur di Saung Geulis. Suara detingan piring, cacahan pisau, dan alat-alat dapur yang saling beradu. Beberapa kali
Читайте больше
Предыдущий
1
...
345678
DMCA.com Protection Status