All Chapters of Dia-lo-gue: Chapter 31 - Chapter 40
78 Chapters
PART XXXI
Sudah setengah jam aku duduk di ruangan teater yang sepi. Sebuah buku favorit yang belum selesai aku baca menemaniku menunggu kelas teater yang jadwalnya molor. Bahkan teman-temanku yang lain belum kelihatan satu pun yang datang.Suara langkah kaki terdengar dari koridor. Disusul dengan munculnya laki-laki gempal bermata sipit yang sudah sangat aku kenal.“Kat, Nunggunya di kantin aja, yuk. Yang lainnya juga pada disana.” Harvey berseru ketika melihatku sendirian di kursi kayu panjang tempat biasanya para anggota duduk-duduk.“Kak, Hasan belum dateng?” tanyaku sambil memperhatikan gerak-gerik Harvey. Dia masuk ke ruangan, menuju sisi berlawanan dengan tempatku duduk. Dia membongkar tas besar berwarna merah dan membawa beberapa kain sifon berwarna-warni.“Belum. Katanya ban motornya pecah di jalan,” jawabnya sambil tetap melipat kain-kain tadi lalu memasukan ke dalam tas karton besar.“Gue ke perpustakaan aj
Read more
PART XXXII
Seperti halnya matahari yang selalu terbit dari timur. Angin yang selalu berhembus tanpa henti. Dan hujan yang akan selalu datang pada musimnya. Roda kehidupanku juga masih bergulir pada jalur yang sudah di tentukan. Aku berlajar dengan giat. Membantu ibuku di restoran miliknya. Dan mengurus pendaftaran sekolah adikku yang baru saja lulus. Jace pun masih aku taruh di rangkaian gerbong yang semestinya. Berkencan hanya pada sabtu sore. Lalu bertemu kembali pada sabtu sore berikutnya. Dia tidak mempersoalkan aku yang selalu menghilang ketika jam istirahat di sekolah. Dia tahu aku harus belajar ekstra keras supaya bisa memenuhi target ibuku. Juara umum di angkatanku. Sesekali kami berbalas pesan ketika menjelang tidur. Dia bertanya apakah ada kemungkinan bumi ini kehilangan gravitasinya, dan apa yang terjadi pada manusia jika itu betul-betul menjadi nyata. Kemudian otakku lelah karena memikirkan hal itu. Lalu terlelap dengan damai setelahnya. “Kat, Kalau
Read more
PART XXXIII
Aku pernah melihat mata yang menyala itu sebelumnya. Saat aku berbincang mesra dengan Zoey dulu, dan dia hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa karena di sisinya ada Sheryl. Sekarang dia memperlihatkan mata itu lagi. Jace menatapku dengan mata cemburunya. Sebagian hatiku merasa cemas, takut dia berpikir macam-macam tentang Demian yang tiba-tiba datang bersamaku. Namun, sebagian lagi aku merasa senang dicemburui seperti sekarang. Dia terlihat semakin seksi dengan dahi yang berkerut dan alis hitam yang menukik. Menaungi mata gelapnya yang tajam setajam silet. “Jace, udah lama?” sapaku ketika aku dan Demian menginjakkan kaki di teras rumah. “Baru sampai,” jawabnya yang sedang duduk bertumpang kaki dengan kepala yang agak dimiringkan. Seakan dia sedang mempelajari apa yang sedang terjadi di hadapannya sekarang. “Ummp, Kak. Kenalin Ini pacar aku.” Aku menoleh pada Demian di belakangku. Demian langsung bergerak ke depan untuk memberikan t
Read more
PART XXXIV
Aku dan Jace tidak pernah absen untuk saling bertukar pesan. Dia rajin mengirimkan kesehariannya di Amerika lewat poto atau video. Kebanyakan dia berpoto dengan latar rumah sakit tempat kakaknya dirawat, atau di penthouse milik ibunya. Sesekali dia memotret ibunya yang keluar masuk toko barang-barang mewah. Ibunya Jace menawariku untuk dibelikan sesuatu di sana. Namun, aku menolaknya dengan alasan takut di kejar-kejar sama petugas pajak.Tidak ada Jet Lagged yang terjadi dalam komunikasi kami. Jace tetap menyapaku di pagi hari, saat dia hendak keluar untuk makan malam. Lalu dia akan mengucapkan selamat tidur untukku ketika dia bilang matahari baru terbit di sana. Kami sama- sama tertidur di saat yang bersamaan, tetapi di waktu yang berbeda.Seiring dengan itu, Demian menjadi sering berkunjung ke rumahku. Dia membawakan buku-buku contoh soal olimpiade yang sebetulnya sudah lebih dulu dipinjamkan Zoey milik saudaranya yang sekarang kuliah di NTU.
Read more
PART XXXV
Tepat jam delapan malam, setelah aku selesai makan dan mencuci piring, aku akan meluncur ke kamarku dan menunggu telepon berdering. Itu adalah waktunya Jace menghubungiku. Namun, sudah lewat dari tiga puluh menit, handphone­-ku masih belum menunjukan tanda-tanda berdering. ’Jace, lagi sibuk atau lagi tidur?’ Isi teks yang aku kirim pada Jace. Sudah satu jam dan tidak ada balasan apa-apa. Aku mencoba menguhubunginya terlebih dahulu. Namun, tidak diangkat. Aku berguling ke kanan dan ke kiri, sesekali duduk di tepi ranjang. Dengan perasaan waswas, menunggu teleponku berdering, atau setidaknya pesan teks yang mengabari kalau dia sedang sibuk dan belum bisa menelponku saat ini. Setengah jam berlalu. Aku tidak tahan untuk tidak menekan ikon hijau ketika nomor Jace sudah aku pilih pada daftar kontak. “Hi, this is Samantha. Jace is drunk and can't talk to you at this time. Just leave a message or whatever. Bye.” Samb
Read more
PART XXXVI
“Demamnya tinggi. Kamu jagain kakakmu sehari ini aja, ya? Mama enggak bisa ninggalin Tante Yanti sendirian di gedung.” Samar-samar, aku mendengar suara ibuku berbicara pada seseorang. Namun, kemudian suara itu kembali menghilang, berganti dengan suara lengkingan seorang wanita. Memanggil-manggil nama Jace. Aku melihat sekeliling. Hanya ada pepohonan besar yang rantingnya saling bertumpang tindih. Daunnya terlampau rimbun sampai mampu menghalangi sinar matahari di atasnya. “Jace, jangan tinggalkan aku.” Suara wanita tadi kembali terdengar. Sekarang gaungnya ada di semua penjuru mata angin. Aku berputar demi mencari dari mana asal suara itu. Aku menemukan Jace sedang berjalan ke arahku. Aku tersenyum lebar ketika dia merentangkan kedua tangannya untuk menyambutku. Namun, langkah Jace terhenti seiring dengan suara wanita yang kembali terdengar memanggil namanya. Ternyata wanita itu ada di belakangnya. “Aku hamil,” ungkapnya dengan derai air mata.
Read more
PART XXXVII
“I love you, Jace.” Sudah sepuluh menit semenjak kalimat itu keluar dari mulutku. Namun, tidak ada satu pun kata yang terucap dari bibir Jace. Dia memilih untuk tetap diam sambil mendesah panjang. Seakan pernyataan cinta yang didengarnya tadi adalah sebuah beban yang teramat berat baginya. Kami duduk bersisian di atas lantai, bersenderkan tepi ranjang yang rendah. Satu kaki Jace lurus ke depan, sedangkan kaki yang lain ditekuk menopang tangan yang terjulur di atasnya. Aku menarik kedua lututku ke dada, dan memeluknya dengan erat. “Kok, bisa lo ada di sini sekarang? Bukannya semalem lo masih di Amerika?” tanyaku memecah kesunyian. Juga untuk mengalihkan rasa kecewa akibat pengabaian Jace atas ucapanku sebelumnya. Jace mencari wajahku yang berada di tepi bahunya. Satu tangannya yang bebas memegang puncak kepalaku dan mengusapnya dengan lembut. “Gue dari kemarin udah ada di Indonesia. Waktu gue nelpon lo, gue udah ada di rumah.” Aku mengu
Read more
PART XXXVIII
"Jawab, lo ngapain di sini?!" Mataku membulat mendengar Jace bersuara kencang padaku. Apalagi kami sedang di lobi gedung perkantoran. Membuat semua mata memandang ke arah kami. “Gu-gue ngajuin kontrak sponsor buat pensi,” jawabku terbata. Aku masih tidak mengerti apa yang menyebabkan Jace menjadi sewot seperti ini. Aku yakin dia marah bukan karena melihatku sedang di kantor ayahnya. Matanya sudah merah semenjak dia melangkah dengan tergesa-gesa saat tadi melintasi lobi. “Udah beres?” Suaranya sedikit melunak, tetapi tidak mengurangi gurat kencang pada rahangnya. Aku menggeleng pelan menjawab pertanyaanya. Tiba-tiba dia menarik tanganku dengan kasar. Aku terseok di belakangnya karena Jace berjalan dengan langkah yang cepat sambil menyeretku. “Lo kenapa Jace? Lo kenapa minum di jam sekolah?” tanyaku ketika kami sudah masuk ke dalam lift. Jace tidak menjawab. Seorang wanita yang juga bersama kami di lift mencoba menyapa Ja
Read more
PART XXXIX
Aku masih bersimpuh ketika Jace keluar dari lift. Pintu menutup dan lift kembali bergerak naik. Aku belum mampu mencerna maksud ucapan Jace sebelum dia meninggalkanku tadi. Berakhir? Maksudnya kami putus? Tapi kenapa? Aku menggeleng kencang. Dadaku memang sudah bergemuruh semenjak mendengar kalimat putus dari mulut Jace. Terlalu banyak pertanyaan di kepalaku yang memerlukan penjelasan sampai aku belum bisa memutuskan untuk menangis. Aku menekan tombol angka untuk lantai dasar agar lift kembali turun. Dengan tergesa-gesa, aku segera keluar dari lift begitu bunyi tanda kotak besi ini telah mencapai lantai yang di tuju. Dua orang teknisi dengan papan tanda elevator rusak menyambutku di mulut lift. Mereka memandangku heran ketika melihatku keluar dari sana. “Bukannya tadi ada laporan lift utama rusak?” bisik salah satu dari mereka yang sudah memegang perkakas besi. “Itu katanya Mas Jace yang lapor. Apa dia lagi iseng?” temannya malah balik
Read more
PART XL
Aku menampar Jace di depan teman-temannya. Tidak peduli dia akan terhina atau tidak. Yang penting aku sudah meluapkan kekecewaanku padanya. Sudah dua kali aku menampar orang yang sama. Seseorang yang bahkan namanya ada di dalam daftar orang-orang yang aku doakan. Seseorang yang aku berikan kata cinta dengan tulus. Air mataku tumpah ketika pintu mobil aku tutup dengan kencang. Aku menyalakan mesin dan segera menginjak pedal gas. Kemudian berkendara tanpa tujuan, melewati jalan panjang menuju tempat yang tidak pernah aku lalui sebelumnya. Aku menepikan mobil di bawah sebuah pohon besar yang rantingnya mampu menaungi hampir separuh badan jalan. Entah pohon apa namanya, namun dia memiliki bunga kecil berwarna kuning di setiap ujung rantingnya. Menciptakan siluet yang cantik ketika terkena sinar matahari sore. Suasananya indah. Sangat cocok untuk seorang gadis menyedihkan yang ingin menangis dengan kencang. Sambil menumpahkan rasa sesak yang sudah berhari-hari mencekik le
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status