Semua Bab Rahasia Di Antara Kita: Bab 31 - Bab 40
49 Bab
31. Cerita Membosankan
Aku memutar badan ke kiri lalu ke kanan dan berakhir menelantang menghadap langit-langit kamar. Pertanyaan Hwan tadi malam membuatku gelisah dan tak bisa tidur. “Aku tanya apa kau masih ingin meninggalkan rumah atau kau sudah mulai nyaman di sini?” Hwan mengibaskan sebelah tangannya di depan wajahku. “Ha?” “Kau bermenung rupanya? Pertanyaanku susah untuk dijawab, ya?” “Masalah itu…” aku sedikit ragu untuk menjawab. Lampu berganti hijau, mobil pun kembali melaju. Jalan kota masih ramai di tengah malam. Tidak sedikit orang yang menyukai malam dibandingkan siang. “Aku tak keberatan jika keinginanmu untuk pergi sudah hilang dan secara otomatis semua perjanjian kita akan batal. Toh sebenarnya aku tak mendapatkan apa-apa, aku hanya ingin bermain-main sedikit dengan Sam. Semuanya tergantung padamu. Sama seperti sebelumnya, aku akan bersikap sebagai pria keren yang menghargai setiap keputusanmu. Bagaimana?” He
Baca selengkapnya
32. Nama vs Tangan
Dengan wajah setengah terkejut dan setengah panik, aku masih menatap dalam kedua mata Sam. “Apa? Kau sudah gila?” “Tidak. Aku sepenuhnya waras dan meminta bantuanmu secara sadar.” Sam mengangkat bahu dengan wajah polos tak berdosa. “Kau sadar dengan permintaanmu barusan?” Aku memastikan sekali lagi. Sejujurnya hubungan kami tidak sedekat itu untuk saling meminta dan memberi bantuan. “Hm. Aku memintamu agar membantuku untuk mendapatkan perusahaan.” Aku mengerjab sekali lagi. Pendengaran dan penglihatanku tidak salah. Semua kalimat itu murni keluar dari mulut pria yang kini tengah menatap ke arahku. Menunggu balasanku. “Hei, anggap saja aku tak pernah mendengarnya, aku akan melupakan semua perkataanmu malam ini.” Aku menggelengkan kepala lalu turun dari kursi. Tak berniat memberi Sam jawaban dari permintaannya itu. Perjanjianku dengan Hwan saja belum usai, sekarang Sam malah ikut ikutan meminta bantuanku. Apa semua anggota kelu
Baca selengkapnya
33. Tiga Tahun Lalu
Aku segera menarik tangan, melepaskan tangan Hwan. Kemudian bergantian menatap Hwan dan Sam yang masih bertatap-tatapan. Mata mereka terlihat seperti akan mengeluarkan listrik atau api atau apalah itu. “Hei, kalian kenapa? Berhentilah.” Suaraku bergetar seperti ketakutan. Seandainya kalian berada di posisiku. Aku menghela nafas pelan. Hwan lebih dulu mengalihkan pandangan. “Kau tidak ke pasar? Ayo, aku temani.” Hwan masih lancang menarik tanganku. “Tapi dia punya janji denganku. Bagaimana ya?” Sam tidak mau kalah. Rasa-rasanya aku sekarang seperti barang yang di tawar di pasar. Sungguh tidak enak. “Bukankah begitu Jinnie?” Gerakku terhenti yang membuat Hwan ikut berhenti – saat hendak bangkit dari kursi. “Kau tidak melupakan janjimu denganku kan?” Sam mengulangi kalimatnya untuk kedua kali. “Janji?” Aku terheran-heran. Seingatku, aku tak pernah membuat janji dengannya. “Kurasa kau salah paham, aku tak pernah berja
Baca selengkapnya
34. Kenangan Pahit
Aku berjalan lemas melintasi ruang tengah. Rumah sore itu sepi. Aku mengedarkan pandangan ke kanan kiri. Memastikan apakah benar tidak ada orang di rumah. Tidak biasanya. Jam segini seharusnya Madam Bong sudah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Sekali lagi aku menghela nafas. Seolah akulah yang punya beban paling berat di dunia ini. Ponselku bergetar di dalam saku. Perlahan aku berjalan menuju sofa di ruang tengah sambil meraih ponsel di saku. Sebuah panggilan tak terduga. “Hallo?” Aku menyapa ramah walau dalam hati ada perasaan sedikit was-was. Berharap berita baik yang akan kudengar dalam satu detik ke depan. “Benarkah? Baiklah aku segera ke sana!” Aku segera bangkit dan menuju alamat yang harus kutuju, tapi… “Aaaaa…” Aku terlonjak kaget ketika mendapati Hwan tengah berdiri tepat di belakangku. Aku menurunkan ponsel dengan canggung. “Kau mau kemana?” tanyanya. “Di luar sudah mulai gelap.” “Itu…aku..jadi…”
Baca selengkapnya
35. Keluarga yang Tak Diakui
“Ya?” “Kau kenal dengannya?” bisik Hwan pelan yang kubalas dengan gelengan kecil. Seorang pria paruh baya mendekati kami. Wajahnya asing dan aku tak pernah bertemu dengannya. Setidaknya itulah yang ada diingatanku. “Bukankah kau Park Jinnie?” tanya pria asing itu sekali lagi. Aku mengangguk samar. “Ya. maaf tapi anda siapa?” Seketika Hwan langsung menggenggam tanganku. Dia sudah mulai punya pikiran buruk tentang orang yang tersenyum hangat ke arahku kini. Kami berpindah ke kedai kopi dekat dari taman. Dia bilang saudara ayahnya. Astaga! Setelah sekian lama. Apakah masih ada yang ingat dengan ayahku dan terutama aku yang dulu susah sekali diajak ke pertemuan keluarga? Aku juga tak ingat kalau pernah punya paman seperti orang di depanku ini. Wajahnya memang agak mirip dengan wajah ayahku yang sudah hampir terlupakan. Tapi kenapa dia mencariku sekarang, setelah tiga tahun berlalu. Waktu aku sendiri dulu p
Baca selengkapnya
36. ELIYAH
Sebuah ruangan sempit berukuran dua kali tiga menjadi tempat pilihan kami untuk berbincang lebih jauh. Tidak jauh berbeda dengan di luar, ruangan kecil ini juga dipenuhi oleh komputer, hanya saja di sini lebih berantakan. Pencahayaan yang kurang juga membuat suasana kamar menjadi suram. Hanya ada sebuah jendela kecil di dinding bagian atas, tapi tetap saja tak membuatnya lebih terang. Gadis itu memelukku sekali. “Hei! Sudah lama sekali kita tak bertemu, padahal aku pikir kau sudah lupa denganku,” bual seorang perempuan dengan dandanan tomboy. Dia memasang piercing di bagian sudut alis sebelah kanan. Dia menguncir tinggi rambut panjangnya dan mengenakan hoody kebesaran warna hitam. Sangat kontras dengan kulitnya yang seputih susu. “Hei! Tidak mungkin aku lupa denganmu,” balasku sambil tersenyum malu. Ya. Dia teman lama yang paling dekat denganku. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Baik?” Dia bertanya sambil memasang wajah khawatir. Aku tersen
Baca selengkapnya
37. Simpati vs Iba
Tengah malam, aku berjalan lemas memasuki rumah. Seluruh lampu rumah sudah padam. Seperti biasa hanya menyisakan satu lampu di dekat dapur yang membuat setiap pijakanku terlihat remang-remang. “Kau baru pulang?” Aku tak lagi terkejut mendengar suara Sam yang tiba-tiba. Aku sudah melihatnya duduk di salah satu kursi mini bar dekat dapur. “Aku sedang tak ingin berdebat denganmu,” balasku terdengar lesu sambil terus berjalan ke arah tangga. Tak menunjukkan ketertarikan untuk mendengarkan cerita membosankannya malam itu. Sam pun bangkit dan berjalan mendekatiku yang sudah menaiki setengah anak tangga. Dia menahan lenganku. “Kau…..” Aku menoleh, tidak ada perlawanan untuk melepaskan tangannya. “Terlihat capek sekali,” katanya terdengar agak canggung. Anehnya dia juga terdengar sedikit mengkhawatirkanku. “Hm. Jadi kita bicara besok saja,” lanjutku lagi yang membuat Sam langsung melepaskan tangannya dari lenganku. Barangkali dia men
Baca selengkapnya
38. Cemburu yang Tak Disadari
Aku juga memberikan tisu kering pada Hwan. Dia tampak kesulitan bernafas karena makanan yang masuk ke hidung. “Hei! Kau tak apa? wajahmu merah sekali, seperti kepiting rebus,” kataku sambil menahan tawa. “Kau masih bisa bercanda?” Hwan melirikku tak suka. Sesekali dia terbatuk. Aku juga mengisi kembali gelasnya yang sudah kosong. “Wah, indah sekali pemandangan di depanku ini,” sela Sam menyindir. Aku sampai lupa kalau dia masih duduk di sana. Hwan berhenti batuk. Begitu pula denganku yang berhenti sejenak. Satu detik kemudian barulah kami sama-sama menatap Sam. Dia melipat tangan di dada sambil memasang ekspresi tak suka. Huft! Aku mengehela nafas. Ini bukan pertama kalinya dia bersikap seperti itu. Selalu saja bersikap bossy jika aku sudah bercanda dengan Hwan. Tapi apa mungkin ini pertanda lain? Cemburu misalnya? Ah, tidak mungkin Sam menyimpan perasaan padaku. Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu. “Apa urusannya denganmu?” Aku m
Baca selengkapnya
39. AMBIGU
“Baiklah, kalau memang itu yang kau mau. Permintaanmu tidaklah sulit.” Sam memperbaiki posisi duduk, menjadi lebih nyaman dengan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Kami masih duduk di meja makan dengan sarapan yang masih terkambang di atas meja. Waktu terus bergulir. Aku melirik jam dinding. Tepat satu jam lagi Madam Bong akan kembali ke sini untuk membereskan meja makan. “Kau boleh percaya atau tidak dengan apa yang akan kukatakan nanti. Tapi aku hanya berharap kau tak terlalu kecewa pada orang yang khawatirkan itu.” Bisa-bisanya Sam menyindirku dan Hwan. Kita lihat saja nanti, apakah ceritanya sama dengan cerita yang kudapat dari Jisung atau tidak. Satu hal yang harus kuakui darinya adalah kemauannya untuk membuka mulut, berbicara lebih lama denganku. Padahal kami belum sedekat itu. Atau Sam punya pemikiran lain? Sungguh aku tak punya ide. Sam orang yang sangat sulit untuk ditebak. “Ayah dan ibuku mungkin memang mening….”
Baca selengkapnya
40. Pengawal Tak Dikenal
Aku berdiam diri di kamar. Percakapanku dengan Sam di meja makan terhenti begitu saja karena kedatangan Madam Bong. Berulang kami aku memeriksa ponsel, tetap saja tidak ada pesan masuk apalagi sebuah panggilan masuk. Aku mendesah. Kemudian membuang ponsel ke sembarang tempat di samping. Matahari sudah naik segalah. Tidak ada kegiatan berarti yang harus dilakukan hari itu kecuali pertemuan dengan Kakek Chu malamnya saat makan malam. Tapi sekarang baru pukul sepuluh pagi. Hwan pergi ke bar sementara aku tidak perlu lagi bertemu dengan Sam atau terus menempelinya. Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya lantas bangun dari tempat tidur. Menapakkan kaki di lantai dan berjalan menuju balkon. Tak sengaja aku melihat Sam bersiap akan pergi di bawah sana. Sudah ada mobilnya di sana. Tiba-tiba saja aku menjadi penasaran. Bukan tentang kemana dia akan pergi, tapi kelanjutan ceritanya yang terpotong. Saat ini aku benar-benar membutuhkan sebuah potongan puzzle
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status