Lahat ng Kabanata ng Berpisah Untuk Bersatu: Kabanata 41 - Kabanata 50
113 Kabanata
Ancaman Mas Tyas
"Ayung … Kok, lama banget lho, ngangkatnya?" serbu Mas Tyas tanpa perasaan, "Dasar istri durhaka, suami telepon kok malah nggak cepet-cepet diangkat?" Di sini, aku hanya bisa diam seperti biasa. Tak ada gunanya juga menjawab ataupun memberikan alasan, Mas Tyas pasti murka. Duh, mana sanggup aku mendengarnya? Walaupun tak melihat mimik wajah atau gesture tubuh tetap saja mengerikan, bukan? Mana mungkin juga dia mau memahami, kalau aku di sini tuh bekerja, bukannya berlibur atau bagaimana? Terlebih, Mbak Kinan semakin berubah buruk setiap harinya. Ini tadi saja aku harus minta izin dan memperlihatkan kalau yang voice call benar-benar Mas Tyas. Bukan yang lain seperti Mamak, Limas, anak-anak atau teman termasuk Dik Uji. "Halo, kok diem?""Halo Mas Tyas … Nggak diem, kok. Aku kan dengerin Mas ngomong?""Bagus. Kalau gitu, dengerin baik-baik ya?"Suara Mas Tyas terdengar keras dan tajam, seakan-akan aku ini bukan istri
Magbasa pa
Dengan Berat Hati
"Jangan khawatir Mbak, Ema orangnya baik kok!" tukas Mbak Kinan kontan membuatku gelagapan. Tidak tahu harus berkata apa. Rasanya stok kata-kata dalam diri sudah habis tak tersisa. Satu saja pertanyaan yang menggantung di langit-langit jiwaku sekarang, kenapa Mbak Kinan nggak menjelaskan tentang hal ini dulu, sebelum kami berangkat ke sini? Maksudku tentang Pak Afgen yang kemungkinan besar juga akan berangkat ke Jerman untuk kuliah. Kalau memang begitu keadaannya kan, aku tidak mungkin nekat. Maksudku, mustahil sampai memohon-mohon pekerjaan bahkan mengutarakan masalah yang sebenarnya. Itu, tagihan hutang Limas. Ah, sudahlah!Bagaimanapun semua sudah terjadi. Menangis sampai berdarah-darah pun takkan  bisa menyelesaikan permasalahan. Lagi pula hutangku pada Mbak Kinan yang masih enam puluh juta itu pun tetap harus lunas. Iya, kan? Belum lagi kebutuhan  anak-anak di rumah, harus terpenuhi dengan sebaik-baiknya, kan? Tidak mungkin melarikan d
Magbasa pa
Tidak Terlalu Buruk
Tapi saya harus bawa anak saya yang paling kecil, Mbak Kinan." ungkapku dengan jujur apa adanya, "Karena kalau saya tinggal di rumah, pasti nggak ada yang jaga. Bagaimana?" Mbak Kinan termenung untuk beberapa saat lamanya. Aku sudah sempat terserang ragu saat menantimya berbicara. Namun  akhirnya dia berkata, "Ya Mbak Ayung, nggak apa-apa kok. Kasihan  juga kalau nggak ada yang jaga di rumah. Lagian kan, Mbak Ayung sudah terbiasa mengasuh banyak anak, kan? Duh, Kastil pasti lebih senang kalau ada Lova."Terus terang aku bahagia dengan jawaban Mbak Kinan yang terdengar tulus waktu itu. Dari mimik wajahnya aku juga tahu, kalau dia tidak main-main. Terlebih saat dengan bijaknya Mbak Kinan membantu melunasi hutangku pada Limas. Wah, aku merasa seperti tersiram sejuknya air hujan di tengah terik matahari, sungguh. "Wah kalau begitu, terima kasih banyak Mbak Kinan." betapa rasa syukurku benar-benar melangit, disusul dengan  rasa gembira yang
Magbasa pa
Ms. Ema EGA17
"Yes, I do Emma." jawabku lirih tersendat. "I miss them very much." (Aku sangat merindukan mereka) ungkapku sambil Mengerjap-ngerjapkan mata, menahan air hangat yang menggenangi bola mata. Jangan sampai meleleh. Kasihan Lova, baru saja tenang. "But I am alright, don't worry!" (Tapi aku nggak apa-apa,  jangan khawatir!Ema mengusap-usap punggung, memandangku lama dan dalam. "OK Ayung, I hope you will be happy here with my and my baby. More happier I mean." (Oke Ayung, aku berharap kamu akan bahagia di sini bersamaku dan bagiku. Lebih bahagia lagi, maksudku.)Mendapatkan doa sekaligus sambutan hangat dari Ema, aku berusaha untuk menyimpulkan senyum tulus. Tidak apa-apalah bekerja dengan orang asing yang sama sekali belum kukenal, terpenting bisa terus berjuang demi masa depan anak-anak. Cukup aku yang menderita. Mereka, jangan sampai! Detik berikutnya Ema bertanya apakah kami sudah bisa melanjutkan perjalanan ke apartemen? Katanya kami harus berjalan se
Magbasa pa
Sungguh Mengharukan
"Oh, terima kasih banyak Ema." air mataku justru semakin deras saat mengucapkan kata-kata ini. Tak sanggup lagi menahan segala rasa. Baik sekali Ema padaku, penuh perhatian dan pengertian. Masih tak percaya rasanya, seperti mimpi. Terlempar jauh dari Mbak Kinan tapi terjatuh di atas tumpukan kasur busa. Empuk sekaligus menyelamatkan. Semoga ini bisa menjadi awal yang indah untuk perjalanan hidupku selanjutnya. "Terima kasih banyak, Ema. You are very kind of me, really!" (Kamu sangat baik padaku, sungguh!)Ema tidak menyahut ungkapan terima kasihku yang semalam itu, entah mengapa. Untuk beberapa detik lamanya dia hanya berdiri terpaku memandangku. Hampa, sedih, marah dan sakit juga benci. Itu yang dapat aku tangkap dari pancaran sinar matanya, membuat detak jantungku meningkat pesat. Mungkin kalau digambarkan seperti genderang mau perang atau lebih dari itu, sungguh. Begitu banyak pertanyaan bermunculan dalam benakku setelah itu, semrawut. Salah satunya, benarkah Ema ini korba
Magbasa pa
Menerjang Badai
"Mama, Ayah memang jahat sama kita, Mama!" ungkap Bumi dengan suara tersendat saat voice call. "Masa dia maksa pulang sama Tante Sari, Mama? Dia juga ngajakin adek bayinya. Aku nggak mau, Mama. Nggak mau. Titik. Kalau Ayah tetap maksa juga, aku mau pergi!"Aku masih mengumpulkan kesadaran dan berusaha mengutuhkannya kembali saat Bumi mengungkapkan semua isi hatinya. Terkejut, bingung, marah dan terutama sakit hati. Tega Mas Tyas melakukan semua itu! Apa benar-benar sudah tak memiliki perasaan? Bukankah sudah kusampaikan tempo hari saat dia voice call, aku tak mungkin memaksa anak-anak. Selain sudah besar dan semakin bisa berpikir secara dewasa, itu rumah mereka. Rumahku berarti rumah mereka, bukan? Jelas, Mas Tyas sudah keracunan serbuk asmara Sari! "Mas Bumi, tenang dulu ya Le?" sederet kata inilah yang akhirnya kuucapkan di antara leleran air mata. "Tenang, kita akan selesaikan masalah ini bersama-sama. Jangan takut ya Mas Bumi, Mama yang akan menghadapi Ayah."
Magbasa pa
Flash Back Cinta
"Serius kamu mau jalan sama aku, Mas Tyas?" pertanyaan ini terlontar begitu saja dari mulutku, tentu saja ketika Mas Tyas mengungkapkan segenap perasaan dan impian untuk membangun rumah tangga bersamaku. "Yakin, kamu nggak bakalan nyesel? Orangtuaku nggak kaya lho, Mas. Tinggal di kampung, jauh dari kota. Aku juga seperti ini adanya." Ya, kamu tahu sendiri lah, Mas. Lagian, kayaknya aku nggak bisa buru-buru nikah. Masih banyak target yang harus aku capai. Lulus kuliah, kerja, nabung-nabung untuk masa depan baru setelah itu nikah. Apa kamu mau nunggu, Mas?"Mas Tyas mendesah berat. Menghela napas panjang, memandangku dengan sorot mata tajam dan dalam, seakan-akan aku baru saja menolak atau mencampakkanya begitu saja. "Ya, aku serius Yung. Kapan aku main-main sama kamu? Buktinya sudah satu tahun lebih kita jalan, apa kamu nggak sadar Yung?" Giliran aku yang menghela napas panjang. Menembus bola matanya dengan sorot mata paling tajam dari yang aku miliki. "Sadar sih
Magbasa pa
Inti Permasalahan
Ema benar-benar meluangkan waktu untuk kami pagi ini. Usai sarapan yang cukup dramatis---dia tersedak hebat sampai muntah tiga kali---mengajak Lova jalan-jalan di sekitar Ever Green. Katanya biar aku bisa menelepon Mas Tyas dan menyelesaikan permasalahan rumah tangga kami. Ternyata dulu, di belakangku Mbak Kinan sudah menceritakan semuanya pada Ema. Sejujur-jujurnya kukatakan, kecewa dengan sikap Mbak Kinan---bagiku itu melanggar privacy---tapi bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Emosional pun tidak berguna, kan? Jangankan itu, berbicara atau menegur Mbak Kinan pun tidak akan berarti apa-apa lagi.Jadi, inilah yang kulakukan  sekarang. Conference call dengan Mas Tyas dan Ibu. Kenapa harus melibatkan Ibu? Karena Mas Tyas sudah benar-benar tidak diajak berbicara lagi. Semakin baik aku mengupayakan, semakin dia kasar dan meledak-ledak. Terutama setelah aku dianggap menantang perpisahan dengannya kemarin pagi. Bukannya meredup atau bagaimana dia justru berkobar-kobar.&
Magbasa pa
Bukan Hakim, Bukan Tuhan!
"Mama, Mama!" Lova mengikuti aku berjalan ke luar kamar. Dia baru saja bangun tidur siang. Seharusnya ini waktunya minum susu tapi aku belum selesai merapikan ruang kerja Ema. Jadi, terpaksa aku memberinya apple sap dan mengajaknya kembali ke sana. "Mama, Mama yop yu!" (Mama, Mama I love you!)"Thanks. I love you too, Lova." seriang mungkin aku menyahut. "Lova duduk manis ya, Mama kerja dulu?" Lova mengangguk penuh pengertian. Meminum apple sap lagi, tersenyum lebar. Lucu. Duh, sampai meleleh hatiku oleh karenanya. Anak sekecil dan sepolos itu sudah harus merasakan asam garam kehidupan. Ah, kakak-kakaknya juga. Oh, tentu semua ini salahku, bukan? Seharusnya sekarang ini mereka berada dalam masa-masa bermain dan belajar yang menyenangkan. Seharusnya juga aku dan Mas Tyas menjadi orangtua yang utuh, rukun dan damai untuk mereka. Bukannya malah tercerai berai seperti sekarang ini. Iya, kan?"Aduh! Gimana ini, Mas Tyas?" sekujur tubuhku gemetar, nyaris menggig
Magbasa pa
Keputusan Mas Tyas
Aku merasa Ema jauh lebih baik sikapnya terhadapku terutama Lova setelah perbincangan kami semalam saat makan malam. Mungkin, setidaknya merasa lega setelah tahu bagaimana aku menyikapi soal kehamilannya. Selain itu bukan urusanku sama sekali, aku memang tak ingin menabur benih kesulitan di sini. Mustahil. Tanpa itu saja kadang-kadang masih merasa sedih. Setega ini Mbak Kinan memperlakukan kami, padahal jelas-jelas sudah berjanji akan terus bersama sampai nanti pulang ke Tanah Air. Dik Uji pun tahu itu, dia saksinya. Kalau seperti ini, apa aku juga yang salah?Ah, sudahlah!Takkan ada ujungnya kalau membahas soal itu. Mbak Kinan bahkan tidak membaca pesan yang kukirimkan melalui chat room. Padahal aku hanya ingin tahu bagaimana keadaan mereka terutama Kastil. Apakah dia baik-baik saja di Heidelberg sana? Bagaimana dengan jadwal sekolahnya, apakah sekarang berubah menjadi setiap hari, mengingat tidak ada yang menjaga kalau Mbak Kinan berangkat ke kampus? Siapa yang mene
Magbasa pa
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status