Semua Bab Rahasia Suamiku : Bab 51 - Bab 60
60 Bab
Terjerat Pesonanya
Cahaya Asyifa Zulma, nama cantik yang cocok bersanding dengan Bintang Arsya Firdaus. Serasi, itu kata Ibu. Ia sangat suka memanggil nama kami secara bergandengan. Cahaya-Bintang, atau Bintang-Cahaya. Dua nama yang disandingkan selalu bergema di dalam rumah ini. Aku hanya tersenyum saat mendengar ia memanggilku begitu. Entah karena mulai suka atau terbiasa. Bagaimana lagi, Ibu kecanduan memanggil nama kami begitu.   Hampir dua bulan kami tinggal bersama. Apakah kalian percaya kalau aku belum sama sekali menyentuhnya? percayalah ... memang seperti itu kebenarannya. Sekuat itukah aku menahannya? Bohong. Pesonanya sangat menggoda. Namun selalu kulampiaskan ke Salma. Bahkan bulan madu saja, aku memaksa Ibu ikut kami, untuk menghindari berduaan saja dengan Cahaya. Dengan berbagai cara aku memiliki ide cemerlang untuk menaklukan hati Ibu, kecuali satu, Salma. Hatinya sekeras batu untuk mau menerima Salma menjadi menantunya.  
Baca selengkapnya
Akhirnya Ketahuan
 Kusentuh kembali lekuk wajah cantik Cahaya yang tertidur pulas di sebelahku. Sekarang entah kenapa ini jadi candu untukku. Aku tak bisa mengendalikan hasrat dalam diri. Semalam aku menggila dengan menyerangnya bertubi-tubi, hingga wanita cantik di sampingku ini terkulai lemah tak berdaya. Aneh, kenapa rasanya berbeda dengan Salma? Aku tidak merasakan sensasi menakjubkan seperti ini di malam pertama kami. Rasanya pun tak bisa kuingat seolah tak pernah menjamahnya. Dengan Salma, aku sekedar melampiaskan saja, tapi dengan Cahaya, aku ..., Ah sudahlah. Kalau dibandingkan begini aku merasa berdosa dengan Salma.   ***  Setelah malam panas itu, aku berusaha keras menjauhi Cahaya. Sikapku malah semakin dingin dengannya. Bukan karena tak suka, tapi karena takut akan mengulangi lagi malam panas itu. Aku sangat merasa bersalah dengan Salma. Dua janji telah kulanggar. Namun tetap saja, pesona Cahaya lebih kuat hingga membuat
Baca selengkapnya
Mencoba meyakinkan
 Ibu terkena stroke. Kaki sebelahnya tidak bisa digerakkan, tapi bukan lumpuh. Kata dokter ini masih ringan. Ibu diminta terus mengikuti terapi untuk pemulihan kakinya.    Sungguh pukulan berat untukku. Karena akulah yang tanpa sengaja membuat Ibu mengalami hal itu.    Cahaya tidak tahu penyebab Ibu masuk rumah sakit. Aku dan Ibu sepakat merahasiakannya dari Aya.    Ibu mulai menjaga jarak denganku. Dia hanya bersikap hangat padaku, bila ada Aya di sisinya, setelah itu sikapnya dingin. Sedingin es. Tidak pernah Ibu begitu denganku. Ini baru seumur hidupku diacuhkan oleh orang yang paling kusayang.   Ibu memintaku untuk tutup mulut dan jangan sampai masalah ini diketahui Aya. Ibu bahkan memaksaku untuk meninggalkan Salma. Maaf Bu, aku tidak bisa. Kia–anakku butuh sosok ibu dan ayahnya. Jadi selama ini aku
Baca selengkapnya
Jujur?
"Maaf Ya, kasih Mas waktu untuk membuktikan kalau Mas juga mencintaimu," aku meyakinkannya lagi. Perasaanku kali ini tidak enak. Ada rasa takut yang dalam saat Aya mulai bicara seperti ini.     Yang lebih mengejutkan tiba-tiba Aya menanyakan tentang Salma. Pasti Ibu yang cerita, tapi kenapa? Bukankah kami sepakat untuk menyembunyikannya? Kutarik tubuhnya berbaring bersamaku. Kupeluk ia erat. Aku berusaha meyakinkannya kalau aku mencintainya, sangat mencintainya, apa pun yang diceritakan Ibu tentang Salma jangan sampai membuatnya meragukanku.   Kuminta ia segera tidur karena aku pun juga sudah mengantuk. Kupejamkan mataku. Tapi firasatku mengatakan kalau ia belum tidur.    "Ehem ..., sudah puas menatap wajahku ini?"  Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya, tapi dengan adanya pergerakan tubuhnya saat kupeluk aku tahu ia terkejut.
Baca selengkapnya
Maaf
 "Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.   Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.   Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya.   "Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku.   "Kapan kalia
Baca selengkapnya
Kabar Baik
  "Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.   Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.  *** Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
Baca selengkapnya
Rahasia Lagi
 Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
Baca selengkapnya
Terpuruk dan Mencoba Bangkit
  "Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.  Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?    Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Baca selengkapnya
Merajut ada(pov Cahaya)
 Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.    Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka.    Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
Baca selengkapnya
Takdir Hidupku
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.    Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.  ***   Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status