Lahat ng Kabanata ng Merebut Suamiku Dari Kekasihnya: Kabanata 21 - Kabanata 30
72 Kabanata
Dua Puluh Satu
Sandrina menyiapkan sarapan tanpa kata, Bastian pun duduk dan menyesap kopi dengan santai seolah-olah ia sedang tidak bersalah.Sepulang dari rumah Agam, Sandrina kebingungan mencari sang suami. Tak ada kabar hingga membuatnya panik, tapi setelah ia tahu Bastian baru saja pulang dari rumah sang kekasih, ingin sekali ia meracuni dengan sianida.Rasa keram di perut membuat aktivitasnya melambat. Perlahan ia duduk sembari memegangi perutnya. Suasana hening, hingga akhirnya Bastian beranjak dan pamit untuk pergi.Bastian melangkah, tapi terhenti di ambang pintu. Ia berpikir, mungkin Sandrina masih marah. Jika tidak, ia mungkin sudah menghampirinya dan melihat dirinya hingga ke luar halaman.Pria itu melanjutkan langkahnya, ia langsung menuju mobil. Lagi, ia seperti sedang kehilangan sesuatu. Ia menoleh ke arah rumah, tapi tak ada Sandrina yang berdiri di ambang pintu.Bastian langsung  melajukan mobilnya, kali ini ada meeting di kantor cabang yang
Magbasa pa
Dua Puluh Dua
“Suamiku sedang di dalam,” ujar Sandrina. Mantan kekasih Ferdi menatap wanita di sampingnya. “Kamu di sini, dia di sana? Memang, nggak punya hati.” Ferdi kembali mengoceh saat melihat Sandrina menunggu suaminya di luar, sedangkan Bastian berada di dalam restoran. “Aku yang terlalu cepat datang, aku tidak mau mengganggu pekerjaannya.” Sandrina mencoba membela Bastian walau sebenarnya cerita ia berada di tempat itu tak sama dengan yang ia ceritakan.Ferdi tidak jadi makan di tempat itu, ia mengajak Anita untuk mengikutinya. Sebelum ia bertatap muka dengan Bastian, Ferdi memilih menjauh dan mencari tempat makan lain. Anita yang mengikutinya merasa lelah, perutnya sudah lapar karena sejak tadi Ferdi tak kunjung menemukan tempat makan. “Kamu pikir aku nggak lapar, tahu gitu aku nggak mau ikut kamu,” ujar Anita kesal.Ferdi menarik Anita masuk ke restoran cepat saji. Lalu, memberikan menu
Magbasa pa
Dua Puluh Tiga
“Aku sama sekali nggak menyentuh Alika dan nggak pernah menyentuhnya.” Bastian kembali menegaskan. “Kalau cium, sering, kan?”Bastian melongok dengan pertanyaan Sandrina kali ini. Apa yang membuat wanita di hadapannya begitu marah, hingga semua di pertanyakan. “Alah, jangan munafik. Kamu pernah melakukan apa saja dengan Ferdi saat pacaran, hah?” Bukan menjawab, ia malah berbalik bertanya.“Loh, kok kamu jadi membahas aku dan Ferdi. Kalau satu masalah, ya fokus bahas itu. Bukan malah mencari masalah aku yang akhirnya kamu bahas.” Sandrina mengerucutkan bibir.Untuk apa membahas ia dan Ferdi, saat ini yang sedang mereka bahas adalah hubungan keduanya. Bastian dan Alika. Bukan dirinya dan Ferdi.“Kamu sendiri nggak mau, kan masalah pribadi diceritakan ke orang. Mana bisa aku bahas masalah pribadi aku dengan kamu? Kalau aku bilang sering mencium Alika, kupastikan kamu nggak akan bisa tidur.&r
Magbasa pa
Dua Puluh Empat
“Hati-hati, cepat buatkan aku makan. Kamu pikir dengan perut lapar aku bisa tidur?” Bastian malah mencari alasan agar dapat memarahi sang istri. Karena jantungnya tak juga berhenti berdetak, pria itu mengambil minum dan meneguknya.“Kamu pikir, aku bisa cepat memasak dengan luka di tangan ini?” Sandrina membalas apa yang dikatakan sang suami.Ia tidak mau kalah dengan sikap Bastian yang semena-mena apalagi saat dia sedang membutuhkan bantuan orang lain. Harusnya pria itu bersikap lebih lembut saat akan meminta tolong pada sang istri.Meski kesal, Sandrina tetap saja membuatkan apa yang diminta sang suami. Perutnya juga ikut lapar karena mengomel sejak tadi. Setelah selesai, ia ikut duduk menyantap makan tengah malam itu.Bastian mengunyah perlahan, penyedap masakan di telur bisa di bilang cukup merata. Langsung saja pria itu kembali melahap makanannya.“Aku sudah selesai, terima kasih.” Bastian meninggalkan meja
Magbasa pa
Dua Puluh Lima
Sandrina tak menyangka jika wanita yang ia tahu sebagai seorang Dokter Kandungan adalah selingkuhan suaminya. Ia sangat bodoh karena tidak mengetahuinya sejak awal. Ia hanya menduga jika hanya sebuah nama yang sama dengan Dokter itu.Otaknya penuh dengan ide untuk membuat keduanya tak bisa berkelit. Apalagi dengan santai Alika meminta Bastian untuk tidak membawa Sandrina kembali kontrol ke tempat praktiknya.Tidak semudah itu pikir Sandrina, ia akan tetap datang kontrol dan akan kembali bersama Bastian pastinya. Sandrina menarik napas, ia sejujurnya lelah menghadapi semuanya. Apalagi tingkah Bastian yang selalu membuat ia naik darah. Tidak ada yang sanggup saat melihat suaminya bermai serong.Bu Hana sudah menunggunya di mobil, wanita tua itu tak tahan berada di tempat umum yang baik asal rokok. Ia akhirnya memilih menunggu Sandrina di mobil.***Ferdi kembali mengacak-acak beberapa dokumen. Ia merasa tidak fokus karena kini di pikirannya hanya ad
Magbasa pa
Dua Puluh Enam
“Aku harus kembali ke kantor,” tolak Bastian.“Kamu lebih memikirkan hal itu dari pada kami?” Bu Hana kini ikut bicara.Sandrina tak perlu turun tangan karena sang ibu mertua yang sudah menangani Bastian. Jika hal itu terjadi, ia tak akan bisa menolaknya. Bastian seperti serba salah dengan keadaan, di satu sisi ia sudah berjanji dengan Alika. Satu sisi lagi, ada ibunya.Terlihat Bastian sangat cemas, ia sudah ada janji dengan Alika, tapi dirinya tak bisa pergi begitu saja. Sandrina terlihat mengatupkan bibir menahan senyum.“Biar aku saja yang mengantarkannya ibu dan Sandrina pulang,” kata Ferdi menawarkan diri.“Nggak, nggak usah. Biar aku ajak sekalian Ibu dan Sandrina, tapi aku ke kantor dulu merapikan beberapa berkas, bagaimana?”“Ya, sudah, nggak masalah, kan, San?” Bu Hana bertanya pada sang menantu.“Iya.” Sandrina tersenyum penuh kemenangan saat Bastian me
Magbasa pa
Dua Puluh Tujuh
Bastian tak diam saat Sandrina emosi dan berteriak. Ia lebih tak terima saat hubungan yang sedang ia bina hancur karena pernikahan dengan Sandrina. Lelaki itu kembali membalikkan badan, ia menghampiri sang istri.Tatapannya begitu tajam, tapi Sandrina tak kalah darinya. Ia pun menatap dengan penuh kebencian. Karena menikah dengan Bastian, ia harus merasakan pedih. “Kamu dan Ferdi sama saja. Berengsek!” Sandrina kembali bersuara, kali ini di iringi tangis. “Kamu pikir kamu yang paling menderita, hah? Kamu pikir, dong. Menikah sama kamu adalah musibah, jadi tolong jangan merasa diri kamu yang paling menderita. Dan satu lagi, jangan samakan aku dengan Ferdi, mengerti,” tutur Bastian.Napas Sandrina naik turun, ia kembali merasakan stres hingga membuat perutnya kembali keram. Ia memeganginya dengan meringis.Bastian yang melihat hal itu mulai merasa cemas. Ada apa dengan Sandrina, pikirnya. Pria itu menyudahi pertengkaran itu
Magbasa pa
Dua Puluh Delapan
Sandrina bergerak cepat saat tubuh Bastian begitu dekat dengannya. Napasnya naik turun seperti habis berlarian. Ia menatap lekat sang suami yang mulai kikuk dan menggaru tengkuk belakang.“Anggap saja tak terjadi apa pun. Aku mau kembali ke kamar,” ujar Bastian. Lelaki itu langsung beranjak dari kamar Sandrina lalu ke kamarnya.Bastian memegangi bibir dan kembali membayangkan Sandrina. Ia seperti tak sadar saat ia mengulas senyum saat membayangkan kecupan itu. “Astaga, kenapa aku ini.” Bastian mengacak-acak rambutnya. Ia sedang tak sadar jika dirinya mulai merasa getaran aneh di hatinya. Pria itu tak menyangka jika ada sesuatu yang berbeda dari Sandrina.“Gila, kalau aku seperti ini, bagaimana bisa aku setia pada Alika.” Bastian bergumam terus menerus. Hatinya seakan tak mau menerima jika memang sang istri sangat menarik. Bahkan, kadang ia membandingkan dengan sang kekasih. Laki-laki itu m
Magbasa pa
Dua Puluh Sembilan
Tak menggubris apa yang diinginkan Sandrina, Bastian tetap membawa sang istri ke rumah sakit lain. Ia tak mau mengambil risiko menghadapi dua wanita sekaligus. Lagi pula rumah sakit dan dokter kandungan yang di rekomendasikan Indah pun cukup bagus. Sandrina masih saja masam saat Bastian membawanya ke rumah sakit berbeda. Akan tetapi pria itu tak mau mengambil pusing. Mereka langsung menunggu antrian setelah mendaftar. Bastian mencoba mengajak bicara Sandrina, tapi ia tetap diam saja. Apalagi saat ia mencoba mengajak bicara lagi, Sandrina memasang wajah masam.“Aku harus bagaimana lagi, kamu bilang aku harus jadi suami siaga, tapi kamu malah mendiamkan aku.” “Rumah sakit ini bagus,” ujar Bastian lagi. “Ia bagus karena nggak ada Alika bukan?” Jawaban Sandrina membuat Bastian tercengang. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi tetap saja masih sama. Sandrina diam seribu bahasa.Mereka
Magbasa pa
Tiga Puluh
“Pergi saja, aku tak akan peduli mau kamu pergi ke mana juga. Asal jangan kamu ganggu hubunganku dengan Alika.” Perkataan Bastian sungguh membuat hati teriris. Sandrina bangkit, semakin berdebat ia semakin sakit hati. Apa yang ia lakukan kali ini adalah salah. Ia kira akan mudah membuat sang suami berpaling, tapi nyatanya tak semudah yang ia bayangkan.“Apa aku harus menyerah saja dan kembali ke Bandung. Percuma membuat hati orang yang nggak suka sama kita untuk menyukai kita.” Sandrina menggerutu sendiri. Di Bandung masih ada Paman dan Bibinya. Keduanya juga sering mengatakan untuk ia tinggal di sana menemani mereka karena keduanya tak memiliki anak. Namun, karena permintaan Bu Hana untuk menikahkan Sandrina dengan Bastian, ia memilih untuk menerimanya karena balas Budi. Ponselnya berdering, seperti kontak batin. Bibinya menelepon kalau sang paman masuk rumah sakit. “Iya, Bi. Aku nanti ke sana
Magbasa pa
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status