All Chapters of SUGAR BABY SANG BILLIONAIRE: Chapter 21 - Chapter 30
120 Chapters
21. Teman baru
Kediaman Devandra.Devan terus mengotak-atik ponsel dengan kesal dan berusaha menghubungi asistennya berkali-kali, namun sayangnya Vernon tak juga menerima panggilan telepon darinya.Pria itu sudah menunggu kedatangan Berlin sejak tadi, tapi Vernon tak kunjung muncul di rumahnya dengan membawa gadis yang ia minta."Pergi kemana pria malas itu? Awas saja saat aku bertemu denganmu besok!" omel Devan meneriaki ponselnya dengan geram.Mendadak ponsel pria itu berbunyi dengan kencang, namun sayangnya panggilan yang masuk ke ponselnya bukan berasal dari Vernon, melainkan dari sang kekasih."Untuk apa wanita menyebalkan ini menelepon?" gerutu Devan kesal melihat nama Sheena yang terpampang di layar ponselnya."Halo?" Devan menjawab panggilan telepon dari calon istrinya dengan ketus."Besok Ayah ingin bertemu denganmu. Luangkan waktu untuk makan malam bersama keluargaku," ujar Sheena tanpa basa-basi."Apa-apaan ini? Memangny
Read more
22. Pria di masa lalu
Selesai mengangkat telepon dari Devan, Vernon segera mematikan ponselnya dan mengubur rapat-rapat benda keramat itu di bawah tumpukan pakaian dalam lemarinya di kamar."Aku sudah tidak memiliki ponsel! Anggap saja aku sudah kerampokan!" gumam Vernon dengan tubuh gemetar dan keringat dingin yang membasahi dahi.Pria itu sebenarnya tak cukup berani membantah Devan, namun karena tak tega melihat Berlin, Vernon pun terpaksa harus menanggung resiko berat jika dirinya sampai ketahuan oleh Devan."Jika Bos tahu aku menyembunyikan Nona Berlin, mungkin wajahku akan dilempari banyak vas kaca," gumam Vernon frustasi.Namun wajah frustasi pria itu tak bertahan lama begitu manik matanya menatap ke arah gadis cantik yang berkeliaran di kamarnya hanya dengan mengenakan kaos kebesaran miliknya."Mimpi apa aku semalam, bisa-bisanya ada gadis cantik di kamarku malam ini?" batin Vernon."Maaf sudah merepotkan. Terima kasih untuk pakaiannya. Besok pagi aku akan segera pergi," ujar Berlin."Pergi? Kemana?
Read more
23. Membuka kisah lama
Prang!Suara barang pecah di apartemen Vernon membuat pria itu langsung gelagapan bangun dari lantai dengan wajah linglung.Berlin pun ikut panik dan membuka mata lebar-lebar dengan wajah bantalnya, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar Vernon.Manik mata Vernon dan Berlin pun langsung bertemu pandang dengan sorot mata tajam Devan yang sudah duduk manis di hadapan mereka."Devan?!" jerit Berlin dan Vernon dalam hati."Cepat bangun!" sentak Devan sembari melayangkan sandal tepat mengarah ke wajah Vernon.Asisten malang itu langsung disembur dengan omelan Devan sekaligus mendapatkan bonus lemparan sandal satu karung dari bos galak itu."Berani kau berbohong padaku?!" bentak Devan dengan tangan masih sibuk melempari Vernon dengan sandal karet. Sementara Vernon hanya diam tak menjawab dan berusaha menghindar dari lemparan sandal Devan."Apa-apaan ini? Kenapa aku harus melihat acara penganiayaan seperti ini?" batin Berlin merinding melihat Devan yang begitu semangat menyiksa V
Read more
24. Trauma lama
"Siapa sebenarnya pria ini?" batin Berlin makin penasaran dengan sosok Devan yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan seluruh kesialan yang menimpanya.Devan menarik pergelangan tangan Berlin dengan kasar dan bermaksud membawa gadis itu menuju kendaraannya yang terparkir di apartemen Devan.Namun baru berjalan beberapa langkah saja, tiba-tiba Devan berhenti kemudian memijat kepalanya perlahan. Pria itu mendadak sesak nafas dan berkeringat dingin, ditambah lagi bibirnya mulai memucat.Perlahan Devan melonggarkan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Berlin dan beralih memegangi kepalanya yang terasa amat sakit."K-kau baik-baik saja?" tanya Berlin mulai cemas melihat Devan yang meringis kesakitan.Gadis itu mencoba mengusap lengan Devan, namun Devan justru mengelak dan menghempaskan tangan Berlin dengan kasar."Aku hanya ingin mencoba membantu, apa kepalamu sakit?" tanya Berlin dengan suara lembut."Jangan sentuh aku!" sentak Devan seraya melempar tatapan garang pada gadis cantik y
Read more
25. Keluarga Mahesa
"Sheena, kau mau kemana?" tegur Nyonya Firda pada putri semata wayangnya yang hendak keluar rumah saat malam masih larut."Devan dirawat di rumah sakit, Bu! Aku harus melihat kondisi Devan," ujar Sheena, kekasih sekaligus tunangan Devan yang sebentar lagi akan menikah dengan Tuan Muda itu."Sudah malam, Sheena! Besok saja ke rumah sakitnya. Devan juga pasti sedang beristirahat sekarang," cegah Nyonya Firda."Tapi, Bu—""Tidak ada tapi! Masuk ke kamar dan kembali beristirahat sekarang!" omel Nyonya Firda."Devan bahkan sudah ingkar janji dan tidak datang ke acara makan malam yang sudah kita atur. Kenapa kau masih saja bersikeras mengejar pria dingin sepertinya?" omelan Nyonya Firda pada putri satu-satunya masih berlanjut."Devan tetap calon suamiku, Bu. Sudah seharusnya aku menunjukkan perhatian pada orang yang akan menemani sisa hidupku, kan?" tukas Sheena mendramatisir."Berhenti bicara yang tidak-tidak! Cepat masuk sebelum Ibu menyeretmu!" omel Nyonya Firda tak menerima bantahan put
Read more
26. Teman berbagi
Berlin membuka kelopak matanya perlahan dan mengerjapkan mata begitu ia melihat wajah seorang pria yang terpampang jelas di hadapannya.Gadis itu terkejut bukan main dan refleks memukul pipi pria yang berada tepat di depan wajah ayu gadis muda itu."Aakhh!"Plak! Satu tamparan pun mendarat mulus di wajah pria yang tak lain ialah Arkan, dosen muda di universitas tempat Berlin belajar."Berlin! Kau sudah sadar?" panggil Sarah pada gadis yang tergolek lemah di atas brankar pasien itu.Berlin menatap Sarah serta Arkan dengan dahi berkerut dan wajah bingung. Kepala gadis itu berisi segudang pertanyaan mengenai kedatangan dua orang yang seharusnya tak dapat dilihatnya saat ini."Mimpi macam apa ini?" gumam Berlin bingung."Kau sudah bangun, bodoh!" sentak Sarah seraya mencubit pipi Berlin dengan kencang."Kau sudah bangun, Berlin. Kami benar-benar datang menjengukmu," ucap Arkan dengan tangan mengusap pipinya yang memerah karena Berlin."B-bagaiman
Read more
27. Pelukan pria angkuh
Vernon memungut bunga yang dibuang Devan ke tong sampah dan membawanya masuk ke ruangan Berlin.Tatapan Berlin dan Arkan langsung mengarah ke pintu begitu mereka mendengar suara pintu yang terbuka."Kak Vernon," sapa Berlin sekenanya."Maaf, Berlin butuh istirahat. Kau bisa menjenguknya lagi nanti. Sekarang kau boleh pergi. Aku yang akan menjaga Berlin," ujar Vernon mengusir Arkan tanpa basa-basi."Kau siapa? Setahuku Berlin yatim piatu—""Kau tidak perlu tahu siapa aku! Kuharap kau bisa pergi sebelum kau mengganggu ketenangan pasien di sini!" ujar Vernon ketus pada Arkan."Ehm, Kak Vernon ... ini dosenku di kampus—""Aku sudah tahu. Kau hanya dosen, kan? Tugasmu hanya mengurus Berlin di dalam kampus. Bukan di luar kampus!" cetus Vernon makin dingin pada Arkan."Apa masalahmu sebenarnya? Aku hanya menemani Berlin di sini dan kau tidak terima?" sungut Arkan."S-sudah! Aku tidak perlu ditemani—""Diam!" sentak Vernon dan Arkan bersamaan pad
Read more
28. Kecemburuan
"Devan!" panggil Sheena sembari berlari kecil menghampiri sang kekasih yang tengah bersama dengan Berlin.Wanita itu menarik Devan menjauh dari Berlin, kemudian menatap Berlin dengan pandangan mata yang menusuk."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sheena seraya melingkarkan tangan di lengan Devan.Devan dan Berlin sontak memandangi Sheena dengan ekspresi terkejut. Berlin segera mundur beberapa langkah dari Devan dan mencari-cari alasan untuk melarikan diri."M-maaf, aku harus ke toilet!" ujar Berlin tergagap. Gadis itu langsung berlari kocar-kacir meninggalkan Devan dan Sheena, sebelum tamparan mendarat kembali ke pipi mulus Berlin."Siapa gadis itu?" tanya Sheena sarkas."Bukan siapa-siapa!" jawab Devan malas sembari berjalan menuju ruang istirahatnya."SIAPA GADIS ITU?" sentak Sheena mulai tak sabaran."Cari tahu saja sendiri kalau kau ingin tahu!" sinis Devan tak ingin meladeni amukan Sheena."Sebenarnya kau anggap aku ini apa? Pajangan?" omel Sheena masih terus mengoceh meskipun
Read more
29. Menyakiti hati
“Bagaimana keadaanmu, Devan? Kau sudah membaik?” tanya ibunda dari Devan, Nyonya Sella.Devan terus menatap ke arah jendela dengan tatapan kosong, tanpa menghiraukan pertanyaan sang ibu yang mencemaskannya.“Ayah, bagaimana ini? Sepertinya kondisi Devan masih sama saja,” ujar Nyonya Sella pada sang suami dengan manik mata mengembun dan menatap pilu pada putranya yang malang.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Kita kirim saja Devan kembali ke Jerman!” ungkap Tuan Wildan.“Untuk apa repot-repot mengirimku ke sana lagi? Kalian malu membuat putra yang gila seperti aku?” sinis Devan tanpa menoleh sedikitpun ke arah kedua orang tuanya.“Devan baru saja pulang beberapa bulan yang lalu. Ayah ingin mengirimnya kembali ke sana?” rengek Nyonya Sella.“Tidak ada pilihan lain! Devan lebih baik menjalani pengobatan dengan psikolog di sana daripada—““Daripada apa? Daripada aku berada di sini dan membuat malu Ayah?” potong Devan dengan sindiran ketus.“Jaga bicaramu!” bentak Tuan Wildan.“Katakan
Read more
30. Keakraban
Berlin dan Devan duduk dengan canggung berdua di dalam ruangan Devan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Vernon sudah pergi menghilang entah kemana, meninggalkan kedua orang itu agar bisa saling berbincang dengan leluasa tanpa gangguan.“Maaf!” ucap Devan tiba-tiba memecah keheningan.“Kau berharap aku akan mengucapkan hal itu?” sinis Devan.“Kau masih ingin menertawaiku?” sambungnya lagi.“Aku tidak berpikir sejauh itu. Kenapa kau terus menuduh yang tidak-tidak sejak tadi?” sungut Berlin.Devan menatap nanar ke arah Berlin dengan wajah muram. “Apa aku terlihat payah? Kau  pasti menganggapku gila, kan?” tanya Devan dengan senyum kecut.“Aku tidak beranggapan begitu. Tuan memang sakit, kan? Aku bisa memahaminya, tidak perlu malu dan merasa kecil hati.”“Semua orang memperlakukanku seperti pasien rumah sakit jiwa,” ungkap Devan dengan ekspresi murung.“Tuan hanya sakit. Tidak perlu berpikir berlebihan,” hibur Ber
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status