All Chapters of Nafkah yang Disunat Suamiku: Chapter 31 - Chapter 40
133 Chapters
Bab 31
"Sudah, kamu duduk saja, biar Mas yang masak."Ia menuntunku supaya duduk di kursi dapur di rumah Mama, saat aku menawarkan diri membuat pengisi perut yang mulai lapar. Sementara ia, kembali ke depan kompor, berjibaku dengan wajan dan spatula. Tak lama kemudian, aroma yang membuat cacing di perut bernyanyi karena minta diisi mulai menguar. Beberapa kali aku menelan ludah sambil membayangkan sedapnya masakan yang akan ia sajikan."Taraaa ... Sepiring spaghetti sudah siap untuk istriku yang cantik."Ia memamerkan deretan giginya yang rapi, sambil membawa sepiring mi yang ia sebut spaghetti. Ah, aku hanya mengenali makanan dari bentuknya. Asal dia menyerupai tali, berwarna kuning, serta berukuran sebesar lidi yang bisa kupakai menyapu halaman di rumah Ibu, maka aku menyebutnya mi. Tak peduli ia diberi nama spaghetti seperti yang disebut Mas Ari, suamiku. Dasar aku.Mi ini terlihat lezat, bentuknya nyaris sama seperti lidi, hanya s
Read more
Bab 32
Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Mencerna ucapan Mama mertua. Apa hubungannya aku berhenti membuat nasi kotak dengan kerugian Mama?Lagian Mama rugi untuk apa? Mama tak sedang berdagang denganku, kenapa memikirkan untung rugi?Semakin ajaib saja kamu, Ma."Mama nggak mau tau ya, Sa. Pokoknya kamu tetap kerja, Mama nggak mau anak Mama kerja seorang diri untuk kalian sedangkan kamu hanya ongkang-ongkang kaki di rumah."Aku terkesiap mendengar ucapan Mama. Bagaimana bisa Mama berpikir demikian?Aku nggak kerja pun, aku nggak ongkang-ongkang kaki di rumah. Mengurus kedua anakku yang sedang sangat aktif juga sudah menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi pekerjaan rumah yang tak ada habisnya."Satu minggu lagi ada arisan di rumah Mama. Kamu yang masak ya, sama buatin pizza kamu yang kemarin itu, buat yang banyak untuk suguhan tamu sama tentengan pulang. Jangan lupa bawa sirupnya. Teman arisan Mama tiga puluh oran
Read more
Bab 33
Waktu menjelang malam menjadi waktu yang sedikit berat belakangan ini. Semenjak Mas Ari menjalani diklat, anak-anak selalu bertanya jam berapa ayah pulang. Meski telah dijelaskan, tetap saja mereka merengek dan kembali bertanya.Sedikit banyak aku mengerti perasaan anak-anak ini. Mereka hampir tak bertemu sang ayah saat membuka mata, kecuali hari libur."Kakak kangen ayah, Bu," ucap Arsy sore ini.Kuraih badan kecilnya dalam rengkuhan, lalu mencium keningnya dengan sayang."Sabar ya, Kak, do'akan perjalanan ayah lancar, jadi bisa cepet pulang nanti," bujukku sambil mengelus kepalanya.Si adik sendiri masih sibuk dengan mainan legonya. Ia masih fokus menyusun satu persatu, tanpa menghiraukan kakaknya yang berada di pangkuanku."Apa kamu sudah ngantuk?" tanyaku pada Arsy. Kulihat ia mengucek mata, lalu menguap lebar. Ia hanya menjawab dengan anggukan."Ya sudah, ayo ibu temani di kamar biar bisa tidur,"
Read more
Bab 34
"Anda?" Ia bertanya dengan menyipitkan mata. "Ingat nggak, sama anak yang suka lompat pager kalau hari Senin, atau menerobos pagar di samping ruang koperasi?"Ia menjawab dengan memberi teka-teki. Hal ini membuat aku dan Putri secara spontan menoleh bersamaan. "Arlan?" seru kami bersamaan. Yang disebut justru tergelak."Benar sekali nona. Senang sekali bisa bertemu kalian lagi."Ia tersenyum senang, kemudian menjabat tangan kami satu persatu. "Ini Lisa, kan?" ia bertanya setelah jabatan tangan kami terlepas."Iya," jawabku singkat.Sejurus kemudian, kami bertukar kabar satu sama lain. Arlan bahkan terkejut mendengar kabar kalau aku ikut pameran di sini."Wah, kemajuan sekali, si tukang manjat tembok terjun ke dunia kuliner, haha ... ."Tawa Arlan berderai. Kami bertiga memang mantan pemanjat tembok yang ulung pada masanya. Kini kami bertemu saat sudah sama-sama dewasa. Mengingat kejadian mas
Read more
Bab 35
Ada yang berbeda sore ini. Mas Ari pulang setelah adzan Maghrib berkumandang. Ia membawa dua kotak terbungkus kantong plastik berwarna putih. Anak-anak yang baru selesai sholat Maghrib, menyambut sang ayah dengan riang gembira. Aku ikut tersenyum senang melihat keakraban mereka bertiga."Ayah bawa apa?" tanya si adik setelah ayahnya melangkahkan kaki ke dapur."Ini tadi dikasih teman Ayah, coba buka biar kita lihat sama-sama apa isinya. Boleh?""Boleh, Yah, boleh," jawab keduanya bersamaan.Kantong plastik itu telah berpindah tangan. Kakak mengeluarkan isinya dengan tak sabar."Yey, martabak!" seru si Kakak.Benar saja, kedua kotak itu berisi martabak manis dan martabak telur. Kedua anakku langsung mencomot satu potong martabak manis tanpa dikomando. Dengan lahap mereka menikmati."Makasih ya, Yah," ucap si adik dengan mulut penuh."Sama-sama, Sayang. Ayah mandi dulu ya, bau acem ini ayah belum mandi," ujar Mas Ari dengan memencet hidung, se
Read more
Bab 36
Tangan kanannya meraih lenganku, kemudian menuntunku supaya duduk di dalam kamar belakang. Jantungku rasanya berpacu lebih cepat dari biasanya."Duduk dulu sini ya, biar enak ngobrolnya," ucapnya setelah aku menyerahkan bobot tubuh ini pada dipan di kamar belakang."Ya udah tanya aja, Mas, nanti kujawab, kalau bisa."Aku menghela napas beberapa kali,menetralkan detak jantung yang masih berkejaran sebab sapaan suamiku yang tiba-tiba."Jawab beneran ya, yang ikhlas jawabnya," pintanya setelah aku duduk mengikuti inginnya."Wih, udah kayak sedekah aja, Mas, musti ikhlas.""Apaan sih, Dek, jangan ngelantur deh."Mas Ari membuang pandang, terlihat sedang mengatur napas dan kata sebelum mulai membuka suara."Jadi gini," ia menjeda kalimatnya. "Mas lagi nyari sesuatu, barangkali kamu lihat atau nemu gitu," ujarnya dengan sedikit menaikkan kedua alisnya."Nyari apaan Mas? Barangkali tuh batu, kerikil, pasir, it
Read more
Bab 37
Semilir angin malam menerobos celah jendela kamar. Anak rambut yang tak terikat sempurna bergerak-gerak mengikuti hembusannya. Dalam buaian hawa dingin yang menerpa wajah, aku termenung untuk beberapa waktu lamanya. Masih berusaha mencerna kejadian demi kejadian antara aku dan suami, serta kata demi kata yang tak bisa kupahami.Kesunyian mengelilingi kami berdua karena sibuk dengan pikiran masing-masing."Jadi kamu lebih memilih memberikan uangmu untuk Mama, Mas?" tanyaku setelah berusaha menenangkan diri."Iya, Dek. Mama lebih butuh uang Mas, jadi kalau nanti uangnya ketemu, mau Mas berikan untuk Mama."Ia masih terlihat gelisah, tapi setiap kata yang keluar terdengar lancar, seperti laju kendaraan di jalan tol."Apa menurutmu, aku dan anak-anak tidak butuh uangmu hingga kau berikan penghasilan kamu untuk Mama?" tanyaku ingin tau.Kutatap wajah lelaki yang pernah membuatku membumbung tinggi. Mencoba mencari k
Read more
Bab 38
Aku beranjak dari duduk. Gegas melangkahkan kaki ke kamar di mana anak-anak sedang terlelap. Membuka lemari yang ada di sana, kemudian meraih amplop putih yang isinya tinggal beberapa lembar lagi."Ini Mas, yang kamu cari."Kuulurkan amplop putih yang tak lagi tebal itu. Kedua mata Mas Ari membola melihat benda di tanganku. Ragu, ia ambil dan ia buka.Ia mulia menghitung lembaran biru yang tersisa di sana."Cuma segini, Dek?" tanya Mas Ari dengan menautkan kedua alis."Iya, Mas," jawabku singkat."Ini bahkan tak ada sepuluh persen dari keseluruhan isinya, Dek."Ia mengusap wajah dengan tangan kanannya. Ia terlihat kacau saat ini."Maaf ya, Mas. Biar kuberitahu ke mana larinya uang dalam amplop itu."Aku berhenti sejenak. Kuatir napas supaya trap tenang saat bicara."Kamu benar bahwa jumlahnya tak sampai sepuluh persen, itu karena aku telah menggunakan sebagian besar isinya," jelasku.
Read more
Bab 39
"Kamu gimana, sih, minta uang dia kan bisa Ri. Kalau cuma segini ya kurang banyak, dong. Percuma Mama punya anak dan menantu yang bekerja tapi nggak bisa membantu keuangan Mama.""Mama tenang saja, nanti Ari usahakan minta uang Lisa. Sekarang ini Ari yakin tabungan dia banyak, soalnya catering dia jalan terus. Tapi Minggu ini Ari nggak lihat dia sibuk di dapur bikin pesanan.""Bagus, minta sebanyak-banyaknya, pokoknya minta ganti semua yang pernah kamu keluarkan untuk dia."Detak jantungku rasanya bertalu-talu mendengar kalimat demi kalimat yang melewati gendang telinga. Tak pernah menyangka sama sekali, kalau ada seorang Ibu yang tak rela anak lelakinya menafkahi istri dan anaknya hingga minta ganti. Jadi untuk apa anaknya dinikahkan kalau tak boleh menafkahi pasangan dan keturunannya?"Mama masih memikirkan cara supaya anak-anak kamu bisa tinggal di sini. Kalau perlu kalian berempat di sini lagi, biar lebih mudah Mama atur ke
Read more
Bab 40
Senyum manis kupersembahkan pada dua orang di hadapanku. Terserah mereka mau berkomentar apa padaku. Aku sudah lelah dengan semua ini."Dek!"Mata Mas Ari sedikit membesar. Mungkin tak menyangka aku berani berkata seperti itu."Apa maksud kamu, Sa? Ari anak Mama bukan barang, kok dikembalikan?"Wajah Mama terlihat bingung. Ia melihat aku serta Mas Ari bergantian, seakan meminta penjelasan."Maaf, aku mundur Mas. Berbaktilah pada Mama, tanpa dzolim pada anak dan istri. Bukankah ini jauh lebih baik, saat kamu bersama Mama di sini?"Kukatupkan kedua tangan di depan dada."Apa maksudmu mundur, Dek? Jangan bercanda kamu?!"Ia merangsek maju, menyisakan jarak satu langkah kaki di depanku. Inilah saatnya kusampaikan apa yang telah kupikirkan beberapa waktu belakangan ini."Aku menyerah jadi istrimu Mas, untuk apa lagi aku bertahan jika Mama tetap kau utamakan, sedangkan aku kau sebut sebagai pencuri hanya kare
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status