All Chapters of RAHASIA DI BALIK LAPTOP SUAMIKU : Chapter 21 - Chapter 30
50 Chapters
Kemarahan Papa dan Mama Mertua
Beberapa saat setelah Rifky meringkuk Amel, tiba-tiba saja Mas Alif datang, pria itu tak banyak bicara, bahkan ketika Amel meminta pertolongan sekalipun.Mas Alif seperti orang yang tengah bimbang. Antara menolong Amel atau justru sebaliknya, karena memang raut wajahnya seperti mengatakan hal tersebut."Mas, tolong, Mas ... tolong!" pinta Amel dengan wajah memelas, derai air mata kembali membanjiri pipinya.Akan tetapi, Mas Alif justru diam saja. Pria itu tak berkutik sedikitpun, dia malah menggaruk tengkuknya dengan bibir yang seperti ragu-ragu untuk dia buka."Mas, kok, diam saja? Apa kamu tak berniat menolongku?! Mas, katanya kamu cinta padaku. Tetapi, kenapa kamu malah begini!"Amel terus saja meraung, meminta pertolongan pada Mas Alif. Tetapi, pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu masih saja tak bergeming.Hingga tiba-tiba pagar rumahku terbuka, menampilkan dua orang ibu-ibu dengan raut wajah penasaran."Ada apa ini?" tanya Santi--salah satu tetanggaku. Aku dan Santi cuku
Read more
Naluri Seorang Ibu
"Bu, kok, lama?" tanya Panji dengan setengah berteriak. Aku yang baru turun dari mobil, segera menarik kedua sudut bibirku ke atas, kemudian menggendong sebuah tas hitam yang aku bawa dari rumah. "Soalnya banyak barang yang harus Ibu dan pamanmu bereskan. Jadi, kami berada di rumah dengan cukup lama." Panji yang tengah duduk di salah satu kursi yang terletak di teras rumah, sedikit mencondongkan badannya dengan mata memicing. "Tetapi, tak ada sesuatu yang terjadi di rumah, 'kan?" "Tidak ada, Nak!" dalihku, berusaha menyembunyikan semuanya dari Panji.  Aku tak ingin, bila Panji justru semakin kepikiran, seandainya aku menceritakan semuanya padanya. Ya, meskipun masalah ini sedikit sepele, tetap saja aku rasa Panji tak harus tahu, kondisinya belum sepenuhnya pulih. "Ibu, tak bohong, 'kan?" tanya Panji dengan mata m
Read more
Kemarahan Panji
Aku sedang memasak di dapur, menyiapkan makanan untuk makan siang Panji dan diriku sendiri. Karena kami hanya tinggal berdua saja. Jadi, aku memasak tak terlalu banyak makanan, takut tak habis dan malah terbuang, sayang sekali, 'kan? Sementara itu, Panji sedang berada di teras rumah. Katanya ingin menikmati hembusan angin di temani secangkir teh hangat. Akan tetapi, saat aku hendak menggoreng ikan, tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari luar rumah. "Pergi kamu dari sini!" Gegas aku mematikan kompor, kemudian berlari keluar rumah, berniat menghampiri Panji. "Ada apa, Nak?" tanyaku setengah berteriak. Meskipun hanya berlari sedikit saja, tetapi dadaku begitu sesak. Aku sampai ngos-ngosan dibuatnya. Namun, seketika saja aku tertegun di tempat, pandanganku terpaku pada satu sosok yang tengah berdiri tak jauh dariku. 
Read more
Obrolan dengan Mama Mertua
Di dalam rumah, aku masih saja tertegun tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun. Bukannya aku syok karena Panji telah memukuli Bapaknya. Akan tetapi, aku syok karena ingatan masa lalu masih saja berputar di kepalaku tanpa henti, layaknya video yang terus saja diulang-ulang. Aku sempat terpejam seraya memijat pelipisan yang sedikit berdenyut, kemudian berbalik badan, berniat melangkah menuju kamar tidur. "Ibu, kenapa?" tanya Panji yang berhasil menghentikan pergerakan langkahku. Aku menggeleng pelan, kemudian berlalu menuju kamar tidur. Tetapi, baru saja aku sampai diambang pintu, tiba-tiba Panji menghampiri. "Apa jangan-jangan Ibu marah karena aku memukuli, Bapak?" Namun, belum sempat aku membuka mulut, Panji sudah lebih dulu mendahuluinya.  "Sebenarnya apa yang Ibu pikirkan, Ibu ingin aku seperti apa atau jangan-jangan selama ini Ib
Read more
Warga (Amel POV)
"Dasar j*l*Ng cilik, cepat keluar kamu, Amel!" teriak seseorang dari luar rumah, membuatku yang tengah berada seorang diri di rumah, meringkuk di dalam kamar seraya menutup telinga rapat-rapat. Teriakkan itu sudah aku dengar dari beberapa menit yang lalu, membuatku amat sangat ketakutan. Belum lagi sesekali suara pintu di gedor dari luar, membuat rasa takutku semakin menjadi-jadi. "Memang dasar, buah jatuh tak jauh dari pohonnya! Kalau Ibunya pekerjaan hiburan malam, maka anaknya pun tak kalah berbeda,” hina seorang ibu-ibu yang cukup aku kenal. "Benar sekali! Kalau Ibunya j*l*ng, pasti anaknya pun sama." "Hati-hati saja, bu-ibu. Jaga suami sama anak kita baik-baik, jangan sampai bergaul sama mereka!" sambung yang lainnya, membuat dadaku semakin bergemuruh, menahan amarah. "Betul! Bisa-bisa suami kita diembat, terus anak kita malah ikut-ikutan si Amel.
Read more
Kedatangan Ibuku (Amel POV)
Para warga sudah menyeretku dengan kasar keluar dari rumah. Tak ada satupun yang menghiraukan tangisku, semua orang malah menghujat, bahkan mencemoohku dengan kejamnya. "Apa yang kalian lakukan, cepat lepaskan!" teriakku dengan nyaring.  Akan tetapi, orang-orang justru balik meneriakiku, tak sedikit dari mereka yang terus melontarkan kata-kata jahat. "Dasar j*l*ng, gara-gara kamu kampung kita jadi tercemar," teriak seorang wanita seumuran Ibuku. Sempat kutatap matanya yang menyorotiku dengan tajam, seakan-akan hendak memangsaku hidup-hidup. "Sudah, mending kita usir saja!" "Benar sekali, gak sudi rasanya bila harus hidup satu kampung dengan j*l*ng cilik seperti, Amel!" "Ya, betul! Bisa-bisa anak gadis kita dia ajak ke jalan yang tak benar. Sungguh, menakutkan." Aku sempat terpejam, merasakan sakit yang seakan-aka
Read more
Senyum Panji Telah Kembali
Beberapa Minggu sudah berlalu, hubunganku dan Panji sudah mulai membaik. Akan tetapi, selama itu pula Panji tak pernah ingin membahas soal Bapaknya. Dia selalu menghindari orang-orang yang berusaha mengajaknya untuk berbicara mengenai Mas Alif.Setelah Panji tahu soal Amel yang dikeluarkan dari sekolah, Panji pun memilih untuk kembali masuk ke sekolah, menjalani hari layaknya seorang pelajar pada umumnya.Namun, Panji harus pergi ke sekolah pagi-pagi buta, mengingat jarak rumah kami yang sekarang ke sekolahnya cukup memakan waktu."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Aku yang tengah sibuk mengepel lantai, gegas menoleh ke sumber suara, menatap Panji yang tengah bersiap-siap untuk pergi. "Kamu mau diantar sama pamanmu lagi?"Satu tangan Panji meraih segelas susu coklat yang sudah siapkan di atas meja. Kulihat dia meneguknya sampai habis."Iya, Bu. Bukannya Ibu tak mengijinkan aku untuk membawa motor sendiri?""Ya, tentu saja tidak! Ibu, masih khawatir padamu. Jadi, lebih baik kamu diantara
Read more
Pesan Di Gawai Rifky
[Melda, Alif sudah ditangkap polisi!] Deg! Aku yang tengah duduk di teras rumah bersama Rifky, sedikit terperanjat kala membaca sebuah pesan yang baru saja masuk dari Ayah mertuaku. Diriku sempat tertegun selama beberapa saat, sebelum akhirnya memijat pelipisan yang tiba-tiba berdenyut. "Kalau Mas Alif ditangkap, apa Amel pun akan turut ditangkap juga? Ya, aku rasa begitu!" batinku sembari memandangi gawai yang masih menyala. "Ada apa, Mbak?" tanya Rifky yang berhasil membuatku mendongak. "Tidak apa-apa, hanya saja--" "Alif sudah ditangkap polisi, 'kan?" Sontak, kedua bola mataku membulat sempurna kala mendengar penuturan Rifky. "Lah, kok, kamu tahu?" tanyaku dengan b*d*nya. "Bukannya aku yang mengurus kasus ini?"  Rifky malah balik bertanya seraya me
Read more
Kedatangan Keluarga Mas Alif
Tok ... tok .... "Rifky, apa belum tidur?" Hening, itulah yang aku rasakan ketika memanggil nama Rifky seraya mengetuk pintunya selama beberapa kali. Cukup lama aku mematung di depan pintu kamar tamu, menimang-nimang apa aku akan membukanya dan masuk begitu saja atau justru sebaliknya. Namun, aku langsung memegang handle pintu seraya membasahi bibir selama beberapa kali. Tetapi, ketika aku hendak menariknya, tiba-tiba terdengar sebuah sahutan dari dalam. "Aku belum tidur, ada apa, Mbak?" Gegas aku menjauhkan tangan dari handle pintu, kemudian mundur satu langkah, agar tak terlalu dekat dengan pintu. "Ponselmu tertinggal, ini Mbak mau memberikannya padamu," tuturku dengan nada bicara yang cukup tinggi. Cklek! Pintu kamar tamu terbuka, menampilkan Rifky yang baru keluar dengan wajah kusutnya. 
Read more
pertanyaan yang Panji Lontarkan
Makanan sudah tersedia di atas meja, mengepulkan asap dengan aroma yang terasa begitu menusuk indra penciuman. Aku, Rifky, Andin, Ayah dan Ibu mertua sudah duduk di samping meja makan, hendak menikmati makanan yang sudah aku buat dengan sepenuh hati. "Ayo, makan!" ajakku pada semua orang. "Wah, Ayah, sudah tak sabar, ingin menyantap makanan buatan, Melda!" sahut Ayah mertuaku dengan penuh semangat. "Ibu, pun sama. Dulu Ibu sering sekali makan masakan Melda. Tetapi, sekarang rasanya cukup sulit." Mendengar penuturan Ibu mertua, aku hanya tersenyum tipis, kemudian menyodokkan secentong nasi ke atas piring.  Sejujurnya, aku pun sudah sangat lapar, sehingga ingin segera menyantap makanan yang aku buat sendiri. "Oh, iya, kapan kamu akan menjemput Panji, Rifky?" Aku sempat melirik Rifky sekilas, di mana dia sama sekali
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status