Lahat ng Kabanata ng Gara-Gara Status Palsu: Kabanata 31 - Kabanata 40
51 Kabanata
Pembicaraan Keluarga Besar Majikan
"Udah selesai makannya, Ra?" tanya Bu Indarti melihat Aira melangkah dengan tergesa menuju dapur. "Udah, Bu. Emang Niko lagi enggak selera makan. Ini cuma dimakan separuh," sahut Aira sambil menuang sisa makanan Niko ke tempat pembuangan. "Oh, tapi mendinganlah, daripada enggak makan. Selama Niko sakit dan kamu juga belum sehat total, kamu enggak usah ngerjain apa-apa dulu di dapur, ya. Biar saya yang urusin semuanya. Tugasmu cuma nemanin Niko makan, terus kamu istirahat.""Kok gitu, Bu?" Aira mengerutkan dahi. "Ya ... biar kalian berdua sama-sama cepat pulih. Kalau perlu, kamu sama Niko sering-sering makan bareng. Biar selera makan. Atau kalian mau makan di luar berdua? Siapa tahu bosan sama masakan rumah?" tawar Bu Indarti sambil tersenyum. Penawaran Bu Indarti sontak membuat Aira menggeleng tegas. "Sa-ya ... permisi ke kamar dulu, Bu," pamit Aira. Ia merasa Bu Indarti seperti sedang berusaha mendekatkan dirinya dengan Niko."Iya, silahkan," sahut Bu Indarti sambil tersenyum ra
Magbasa pa
Terguncang
Aira memandang Niko. Niko membuang muka berpura-pura memandang ke arah lain. Malu rasanya jika ia mengingat bagaimana ia memaksa perasaannya pada Aira di Taman Cerdas saat itu. Apalagi status Aira saat itu masih sebagai istri orang."Benar, Pak!" Kali ini Aira bersuara menjawab. Dalam hatinya masih kesal dan menganggap Niko biang masalahnya dengan Zayen."Niko!" Panggil Pak Margono.Niko terperanjat. Sungguh dia tak siap jika papanya bertanya macam-macam."Kamu benar-benar menyukai Aira? Sejak kapan?"Niko menggaruk-garuk tengkuknya. Ingin rasanya ia melarikan diri dari depan keluarganya saat itu juga. Ia benar-benar malu akibat tingkahnya sendiri."Niko! Benar kamu menyukai Aira?" ulang Pak Margono setengah membentak.Niko mengangguk sambil menunduk. Sungguh ia merasa sangat malu mengakui perasaannya yang tak lazim di depan seluruh keluarganya."Sejak kapan?" Pak Margono menatap putranya lekat-lekat.Niko menggeleng dengan kepala yang semakin tertunduk.Pak Margono menghela nafas be
Magbasa pa
Terpaksa
Aira memandang wajah Bu Indarti yang nampak penuh pengharapan. Majikan yang sedari dulu memang selalu memperlakukan dirinya seperti anak sendiri. Demi melihat wajah teduh itu tetap bahagia, Aira meraih kembali pulpen yang semula terlepas dari genggaman.Aira segera meraih surat cerai tersebut. Walaupun tangannya masih gemetar namun, Aira tetap berusaha menandatangani kolom di atas nama lengkapnya.Setelah ditandatangani oleh Aira, Bu Indarti kembali meraih surat cerai tersebut dan memasukkan ke dalam amplop semula. Setelah itu ia meletakkan surat cerai tersebut di samping tempat duduknya.Sejak detik itu, Aira mengakhiri kisahnya dengan Zayen. Namun demikian, rindunya masih tersimpan dan berlanjut untuk Zayen di dalam segumpal daging bernama hati.Usai menandatangi surat cerainya, Aira kembali menangis sesenggukan. Aira beranjak meninggalkan Bu Indarti, Pak Margono, dan Niko ke kamarnya. Ada rasa sakit yang tak terhingga menempel di hatinya. Dulu Aira pernah menginginkan berpisah dar
Magbasa pa
Hampa
Tok ... tok ... tok ....Aira yang masih terlelap samar-samar mendengar pintu kamarnya di ketuk. Aira mendorong selimut yang masih menutupi kakinya lalu beranjak bangun. Aira menatap wajahnya di cermin. Terlihat sembab dan pucat, kantung matanya tampak jelas, akibat terlalu banyak menangis dan kurang tidur. Aira menatap jam dinding."Astaga! Sudah jam 07. 00. Belum menyiapkan sarapan!" Aira bergumam pada dirinya sendiri dengan panik. Aira segera membuka pintu, tampak Bu Indarti berdiri di depannya."Maaf, Bu ... semalam Saya tidur kemalaman. Jadi kesiangan, kenapa Ibu enggak bangunin?" Aira menunduk sambil bertanya sekaligus meminta maaf. Harusnya jam segini sarapan sudah siap di meja makan."Hehehehh ... kenapa Ibu harus membangunkan calon menantu Ibu, sedangkan kondisinya sedang tak sehat," ucap Bu Indarti membuat Aira tertegun sejenak mengingat malam tadi ia menerima permintaan keluarga majikannya. Aira yang baru bangun tidur, masih seperti orang linglung mengikuti langkah Bu I
Magbasa pa
Mencurigakan
Aira meletakkan tas dan sebuah koper kecil di depan, lalu duduk memegang stang bersiap menuju rumah lamanya. Aira bersiap meninggalkan kediaman Bu Indarti walaupun besok tetap kembali lagi untuk bekerja seperti biasanya. Aira melajukan kecepatan motornya dengan santai, membelah jalanan yang tampak rame di jam orang-orang bersantai.Beberapa saat kemudian, Aira tiba di rumah kecil yang begitu ia rindukan. Setelah memarkirkan sepeda motor Zayen yang kini menjadi miliknya, Aira terdiam sejenak memandang rumah mungil yang menyimpan banyak cerita tentang dirinya dan Zayen. Airmatanya menetes membasahi pipi, kesedihan seakan-akan mengucapkan selamat datang padanya.Aira menyeka air mata lalu melangkah memasuki rumahnya dengan penuh harapan, agar dapat menggapai kehidupan yang lebih baik lagi di hari esok dan seterusnya.Dengan tangan gemetar, Aira membuka pintunya perlahan-lahan. Baru saja ia melangkahkan kaki melewati pintu, ingatannya kembali melayang ketika pertama kali memasuki rumah te
Magbasa pa
Lebih Cepat Lebih Baik
"Kenapa pula panggilan telponmu enggak diangkat?" Pak Margono menelisik wajah putranya dengan seksama. "Oh, i-tu. Itu nomor operator nawarin paket bulanan murah, Pa. Malas aja," sahut Niko berusaha bersikap biasa saja. "Jadi gimana? Kamu sudah mantap memilih Aira?" Kali ini Bu Indarti kembali mengulang pertanyaan yang diberikan suaminya tadi."Iya, Ma. Soal waktu saya serahkan ke Mama sama Papa saja. Tapi, secepatnya sih, lebih bagus," sahut Niko kali ini tanpa keraguan sedikitpun lagi. "Oke! Nik, begitu masa Idah Aira selesai, Mama dan Papa akan menikahkan kalian secepatnya. Mama takut, Aira akan berubah pikiran bila terlalu lama mengulur waktu."Kali ini Bu Indarti yang lebih dulu mengambil keputusan. Ucapannya pun terkesan mendesak. Tapi ada benarnya juga. Bukan tidak mungkin Aira berubah pikiran bila mereka terlalu lama baru mengadakan pernikahan.Niko yang semula memang resah memikirkan hal itu menjadi begitu senang. Namun, ia berusaha bersikap biasa saja di depan kedua orang
Magbasa pa
Pasrah
Seminggu lagi akad nikah akan di langsungkan di kediaman Bu Indarti. Bu Indarti nampak sibuk dengan segala persiapan supaya Aira terlihat cantik. Mulai dari latar akad, sampai juru foto ia siapkan untuk mengambil momen tersakral dalam hidup anak sulungnya."Aira, hari ini kita pergi ke penata rias buat fitting baju kebayamu," ajak Bu Indarti."Iya, Bu," jawab Aira singkat.Aira yang sudah pasrah dengan jalan hidupnya tidak menuntut banyak. Ia hanya mengikuti apa yang di inginkan oleh keluarga calon suaminya. Sore itu Bu Indarti dan Aira menuju ke tempat yang di maksud Bu Indarti. Aira diminta untuk memasang beberapa model baju yang semuanya berwarna putih."Kamu suka yang mana, Ra?" Aira diam, matanya memang sedang menatap beberapa gaun yang di perlihatkan padanya, namun pandangannya kosong. Pikirannya tertuju saat dulu ia mengenakan kebaya saat akan menikah dengan Zayen."Aira ...." Aira terkesiap ketika tangan Bu Indarti menyentuh bahunya."I-iya Bu?" Jawabnya gugup."Kamu suka y
Magbasa pa
Jalan Jodoh
Di sebuah sudut kota seberang sana.Seorang lelaki menatap jalanan di temani oleh secangkit kopi. Pikirannya melanglang buana, menyeberangi lautan, mendaki gunung, menerjang lembah dan hutan. Hatinya begitu merindu, rindu pada seorang gadis. Mantan istri yang sebentar lagi akan menjadi milik orang lain.Jika orang berkata, dibalik seorang pria yang hebat ada seorang wanita yang hebat mendampinginya. Ah, Aira ... bagaimana bisa menjadi hebat, jika dirimu tak lagi di samping? Semangat hidup ikut tertinggal bersama dirimu diseberang pulau.Cinta bukan selalu tentang saling memiliki dan bersama. Terkadang cinta memaksa untuk melepaskan. Terkadang juga memaksa untuk merelakan. Melepaskan bukan berarti menyerah, melainkan mengikhlaskan. Kini, lelaki tersebut hanya bisa mengenang dan merenung dari jauh. Berharap Tuhan mengirim hati yang baru untuk mengobati. Hati yang mampu membuat sayap-sayap patah utuh hingga bisa mengepak kembali.Memang, cinta tak bersyarat, karena ia tumbuh di sanubar
Magbasa pa
Tak Terima
Davina bangun dan mendekati Niko.Plaaaakkk!Sebuah tamparan di wajah Niko dari tangan mungil Davina."Brengsek! Apa kamu lupa sama darah yang menempel di sprey? Aku tak pernah berhubungan dengan orang lain, selain kamu, Niko!""Apa yang terjadi dengan kalian? Niko bicaralah dengan jujur. Apa benar dia anakmu? Apa karena ini, kamu terlihat begitu gelisah dalam beberapa hari terakhir ini?" Pak Margono berbicara dengan nada kecewa sambil menarik Niko duduk kembali."Bagaimana aku yakin dia sedang menagndung anakku, Pa? Sementara aku menidurinya hanya sekali. Itupun karena dia menjebakku. Dia menaruh obat dalam minumanku dan mengunci diriku di kamar bersamanya! Katakan, apa aku salah menidurimu yang memang sengaja menjebakku?" tding Niko pada Davina."Apa benar, kau yang menjebaknya Davina?" Pak yosef berdiri mendekati Putrinya dengan wajah memerah.Davina mengannguk sambil tertunduk.Plaaaakkk!Sebuah tamparan dari Pak Yosef kini bergantian di pipi Davina."Kenapa kau melakukan itu, Dav
Magbasa pa
Belajar Menerima
"Bu, Jangan pernah merasa bersalah jika ibu memikirkan Aku. Aku yakin, ini jalan terbaik yang Tuhan berikan untuk kita, Bu," Aira berbicara dengan lembut."Tapi seharusnya kamu, Yang menikah dengan Niko Aira!" Bu Indarti terisak-isak."Bu, jika Aku menikah dengan Niko, Aku sendiri tak yakin, apakah Aku mampu memberikan cinta untuknya. Sedangkan Davina, Aku melihat cinta yang begitu besar di matanya untuk Niko." Mata Aira menerawang mengingat bagaimana Davina menatap Niko."Apa ... kamu tak merasa marah atau sakit hati Aira?" Bu Indarti menatap wajah Aira dengan seksama.Aira menggeleng sambil tersenyum. Bagaimana ia bisa membagi sakit hati untuk Niko, sementara hatinya sudah penuh dengan sakit yang diciptakan Zayen."Demi Allah, Ibu! Aku bahagia untuk Niko, karena sebenarnya Aku menyayangi Niko seperti seorang Adik yang menyayangi kakaknya. Berjanjilah Bu, Ibu akan pelan-pelan menerima Davina," pinta Aira sambil mengusap bahu Bu Indarti lembut.Bu Indarti diam. Bukan tak percaya, sela
Magbasa pa
PREV
123456
DMCA.com Protection Status