All Chapters of NODA PERNIKAHAN: Chapter 41 - Chapter 50
115 Chapters
BAB 41
“Aku bingung bagaimana menjelaskan padamu, Nge. Please, jangan menatapku seperti itu, aku masih pria baik-baik, Nge. Ini ... ini hanya sedikit kesalahan kemarin. Huhh ... begini, Nge. Semalam adalah kali pertama aku melakukan hal itu lagi setelah denganmu, dan ... hhhhh ... itupun terjadi karena ... karena kecelakaan.” Mas Darwin berusaha menjelaskan dengan terbata-bata dan diselingi hembusan nafas kasarnya.“Mas, anggap aku ini temanmu. Kita bisa bersahabat meskipun kita sudah berpisah. Demi Jessy, Mas. Aku mohon jangan ada kebohongan. Aku sangat berharap kamu bisa jadi ayah yang baik dan membanggakan bagi Jessy. Pun jika akhirnya kamu sudah menemukan wanita lain untuk menyandingmu, aku hanya ingin mengenalnya dan memastikan Jessy berada pada orang yang tepat. Agar jika kelak aku pergi, aku bisa pergi dengan tenang,” ucapku lirih, stetes bening berhasil lolos dari sudut mataku. Membahas tentang Jessy akan selalu membuatku seperti ini.Mas Darwin kembali menghela nafas kasar sebelum a
Read more
BAB 42
Terakhir kali, sebelum aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Aku bertekad untuk memberikan pelayanan yang berbeda pada pria yang sudah memberiku seorang putri cantik itu. Maka, aku sengaja mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dan juga obat perangsang sebelum melakukannya. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir aku menyaksikan kepuasan batin dari seorang Darwin Rahardian terhadapku. Pria itu mendekapku dengan peluh yang masih bercucuran deras di sekujur tubuhnya.“Terima kasih, Nge,” ucapnya sambil mengecup bibirku.Aku tersenyum. ‘Aku hanya ingin meninggalkan kesan terbaik sekali saja dalam hubungan ini, Mas,’ batinku. Aku ingin Mas Darwin mengingat saat ini, saat terakhir kali pria itu menyentuhku. Karena setelah ini aku sudah punya rencana lain untuk hidupku kedepan.Diam-diam aku mengajukan gugatan cerai padanya. Mas Darwin tak pernah mau hadir dalam proses persidangan, membuat prosesnya sedikit mengalami hambatan. Kemudian saat akan berangkat untuk melakukan kemoter
Read more
BAB 43
Alana.Hari ini aku membuat janji dengan seseorang yang akan membeli rumah lamaku dan Mas Wildan. Dari kemarin Handi sudah beberapa kali menelpon menanyakan kapan dan di mana aku bisa bertemu dengan orang itu. Namun entah mengapa aku selalu menundanya. Bukan karena belum mau menjual rumah itu, tapi aku enggan untuk menghubungi Mas Wildan untuk mengabarinya. Meskipun Mas Wildan sudah mengatakan menyerahkan rumah itu padaku, tapi rasanya tak etis jika rumah itu berpindah tangan begitu saja tanpa kukabarkan padanya. Apalagi bisa saja masih ada barang-barang Mas Wildan di rumah itu.Ponselku berdering. Aku yakin itu pasti Handi yang menelpon, karena tak ada yang tau nomor baruku selain Nafisa, Handi dan keluargaku di Bandung.[Mbak, siang ini jadi kan ketemu di Jingga?] tanya Handi.[Mbak usahakan ya. Ndi.][Kalau bisa jangan ditunda-tunda lagi, Mbak. Saya jadi nggak enak sama orangnya, takutnya dikira saya nipu.][Iya, maaf ya, Ndi. Beberapa hari ini Mbak kurang enak badan. Pokoknya Mbak
Read more
BAB 44
Ternyata Handi memang benar-benar bisa diandalkan dalam urusan jual beli rumah. Terbukti tak memakan waktu lama, sertifikat rumah dan surat-surat pengalihan kepemilikan dan balik nama sudah beres. Handi sudah punya rekanan notaris yang sering bekerja sama dengannya dalam hal jual beli barang. Maka uang dalam jumlah besar pun sudah masuk ke dalam rekeningku. Aku bernafas lega, paling tidak satu urusan lagi sudah terselesaikan dengan mulus tanpa hambatan.“Handi, tolong buatin Mbak teh hangat ya, nanti antar saja ke dalam,” pintaku pada Handi. Entah kenapa kepalaku tiba-tiba saja terasa pening. Memang sejak beberapa hari belakangan aku sering sekali merasa pusing dan tak berselera makan. Aku hanya menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran sepanjang hari sambil menonton drama Korea kesukaanku.“Tumben mintanya teh hangat, Mbak. Bukan kopi kental seperti biasanya?” tanya Handi memasang ekspresi heran.“Nggak ... nggak ... teh hangat aja ya, Ndi.”Aneh, aku tiba-tiba saja merasa mual menden
Read more
BAB 45
Nafisa.Sebenarnya hari ini aku tak berniat datang ke Kafe Jingga. Sudah hampir sebulanan ini tepatnya sejak vonis cerainya diputuskan pengadilan, Alana juga tak muncul ke sana. Namun hari ini, ketika aku baru pulang dari Bandara untuk mengantarkan kerabat Mas Pram yang akan kembali ke Makassar, tiba-tiba saja aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Karena kebetulan jalur yang kulalui melewati Kafe Jingga, maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke sana menunaikan hajatku.Sepintas lalu saat membelokkan mobilku ke parkiran kafe, aku seperti melihat mobil Alana melaju kencang, baru saja keluar dari parkiran kafe.“Eh, Mbak Nafisa. Baru aja Mbak Al nya pulang,” ucap Tika saat aku menyapanya lalu kami berbalas salam.“Alana? Jadi benar tadi dia ke sini? Tumben!” jawabku.“Iya, Mbak. Baru aja Mbak Al nya pulang. Sepertinya tadi ada janji dengan Kak Handi di sini.”Aku teringat urusan jual-beli rumahnya dengan Handi. “Sekarang Handi nya mana?” tanyaku.“Tuh lagi di ruangan Mbak Nafisa
Read more
BAB 46
Tiba-tiba saja aku mencium aroma menyenangkan dari sampingku, segera kuendus dari mana asal aroma itu. Jas? Tanpa banyak pikir aku segera meraih jas yang tergeletak di sampingku dan menutupkannya ke hidungku agar tak tercium lagi bau menyengat yang membuat perutku kembali mual.“Itu jas yang ada di dalam papper bag di mobilmu tadi, Al. Aku memakaikannya tadi saat mengantarmu ke sini untuk menghangatkan tubuhmu.”Jas di dalam paper bag? Ah, aku ingat! Ini jas milik Darwin yang waktu itu ditolaknya saat aku ingin mengembalikannya. Tapi aku sudah tak peduli lagi, setidaknya jas ini bisa membuat rasa mualku mereda. Bahkan saat Nafisa menawarkan teh hangat padaku, aku sudah bisa meminumnya sampai habis. Perlahan-lahan tubuhku merasa sedikit segar setelah menghabiskan segelas teh manis hangat tadi.“Al, boleh aku tanya sesuatu?”Aku mengangguk, namun sedikit heran meliat wajah Nafisa yang terlihat tegang. Nafisa menghela nafasnya.“Aku tadi melihat beberapa alat tes kehamilan di dalam toile
Read more
BAB 47
Darwin.[Buruan ke sini! Sekarang juga!]Aku masih berada di ruang kerjaku ketika ponselku berdering menandakan ada pesan masuk. Aku mengeryitkan keningku membaca chat Nafisa di ponselku. Nafisa mengirim lokasi google map padaku. Rumah sakit? Ada apa Nafisa menyuruhku ke sana? Untuk menjawab rasa penasaranku segera kuhubungi nomor Nafisa.“Eh, nih orang disuruh buruan malah nelpon.” Nafisa langsung mengomeliku saat mengangkat telpon.“Tapi ngapain nyuruh aku ke rumah sakit, Naf? Siapa yang sakit?”“Nggak usah banyak tanya, aku juga bingung jelasinnya tau nggak! Makanya buruan kemari atau kamu akan menyesal!”Klik! Nafisa menutup telpon secara sepihak. Huhhh! Ada apa sih anak itu tiba-tiba nyuruh ke rumah sakit? Pake acara ngancam segala lagi! Aku mendumel dalam hati namun akhirnya meraih kunci mobilku dan segera menuju parkiran kantor.“Langsung ke taman belakang rumah sakit, ikutin aja petunjuk arah ruang jenazah. Nanti ada taman sebelum ruang jenazah. Aku nunggu di kursi taman,” uca
Read more
BAB 48
Kutatap wajah polos Alana yang tengah tertidur lelap. Wajahnya kelihatan sangat pucat dan tubuhnya terlihat lebih kurus dibanding terakhir kali aku melihatnya di kamar hotel. Aku tersenyum melihatnya tertidur sambil memeluk jas yang dulu kupinjamkan padanya di acara reuni SMU. Aku sudah pernah melihat Alana diam-diam menghirup aroma jas itu sesaat sebelum ia ingin mengembalikannya padaku. Itulah sebabnya aku menolaknya saat Alana hendak mengembalikannya. Aku tak menyangka jika jas itu bisa sangat berguna sekarang.Pandanganku terpaku pada perut rata Alana yang bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya. Di sana, di dalam rahim Alana tengah bersemayam benihku. Ah, ingin sekali rasanya aku memeluk wanita yang tengah tertidur itu untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku saat ini. Namun akhirnya aku memilih duduk di sudut ruangan sambil terus memandangi wajah pucat Alana yang terlihat sangat cantik.Tak lama kemudian Alana menggeliat, kulihat ia meraih jas yang tadi dipeluknya kemudian
Read more
BAB 49
Darwin.Tak kupedulikan ucapan sarkas Alana mengusirku. Aku justru makin mendekat ke arah ranjang rumah sakit tempatnya berbaring. Kutawari ia makanan yang baru saja diantar oleh petugas rumah sakit. Alana menggeleng.“Kalau gitu minum susu ini, ya.” Aku meraih segelas susu yang juga diantar petugas tadi. Alana masih menggeleng dan terus saja menutupi hidungnya dengan jas hitam milikku.“Paling tidak kamu harus makan atau minum sesuatu, Al. Kasian bayi kamu kalo kamu nggak mau makan dan minum gini.”“Sudah kubilang jangan pedulikan aku!”“Tapi aku harus peduli, Lana. Aku harus peduli pada bayiku, maka aku juga harus peduli pada ibunya.” Kuletakkan kembali makanan dan minuman di meja kecil yang ada di samping ranjang pasien.“Aku mau minum teh manis hangat,” lirih Alana saat aku baru saja berbalik hendak melangkah. Aku tersenyum penuh kemenangan.“Tunggu sebentar ya, Al. Aku akan memesankannya di kantin. Selain teh hangat kamu mau makan apa?”“Roti tawar tanpa selai apapun,” ucapnya da
Read more
BAB 50
“Naf, aku mau pulang aja boleh nggak? Nggak enak banget tau nggak sih di sini. Nggak bisa ngapa-ngapain, cuma bisa tiduran. Belum lagi aroma obat-obatan ini menyengat sekali bikin perutku mual.”“Terus kamu mau sendirian lagi di apartemenmu? Kalau ada apa-apa lagi kayak kemarin gimana, Al? Kecuali kalau kamu sementara waktu balik ke Bandung dulu sampai morning sick mu sedikit mereda.”“Nggak, Naf. Aku belum berani pulang ke Bandung. Aku bingung harus bilang apa pada ayah dan ibu. Aku takut mereka marah padaku. Aku juga tak mau mempermalukan mereka.”“Itu karena kamu belum mencobanya, Al. Sampai kapan kamu akan menyembunyikan keadaanmu dari mereka. Justru makin lama kamu menyembunyikannya, akan semakin sulit bagimu untuk berterus terang pada mereka. Meskipun sulit untuk diterima, kurasa tak mungkin ayah dan ibumu sampai memarahimu, apalagi kamu sedang dalam kondisi lemah seperti ini. Tak ada tempat terbaik untuk pulang selain keluarga, Al.”Aku terisak lirih, wajah penuh cinta kedua or
Read more
PREV
1
...
34567
...
12
DMCA.com Protection Status