Semua Bab Ketika Suami Tak Lagi Peduli: Bab 51 - Bab 60
123 Bab
Mengadu kepada Ayah
Aku membeku sejenak, bingung harus bagaimana untuk mengatasi situasi ini. Pak Reindra juga terkejut karena Maura mengigau dan menyebut aku sebagai ibunya. Aku melihat Pak Reindra berjalan mendekatiku untuk membangunkan Maura. Namun sebelum dia sampai, aku lebih dulu bertindak untuk menyadarkan gadis kecil itu.“Maura, bangun sebentar, Sayang. Ini Tante Arista,” lirihku lembut.Maura menggeliat perlahan sambil bergumam tidak jelas. Gadis kecil itu masih terpejam, tidak terlihat tanda-tanda bahwa ia akan bangun atau membuka mata. Nampaknya ia benar-benar lelah dan mengantuk, sehingga enggan untuk terjaga.Melihat usahaku tidak membuahkan hasil, Pak Reindra segera mengambil alih. Ia masuk ke mobil lewat pintu yang berseberangan denganku, lalu duduk di samping Maura.“Maura, bobok sama Daddy ya. Tante Arista mau pulang,” bisik Pak Reindra. Karena ia mendekat ke telinga Maura, otomatis jarak kami hanya terpaut beberapa senti. Bahkan aku bisa mendengar hembusan napas Pak Reindra yang hangat
Baca selengkapnya
Tantangan untuk Suamiku
Terus terang aku merasa terkejut sekaligus kesal mendengar pertanyaan Ayah. Ketika anaknya membuat masalah besar dalam hidupku, dia tidak bertanya sama sekali. Sekadar menghubungiku untuk menanyakan kabar cucunya pun tidak. Namun kala anak lelakinya mengadu, yang mana itu belum dipastikan kebenarannya, Ayah langsung memojokkan aku seperti ini. “Aku belum minta izin kepada Mas Yoga, karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi, Yah. Alasannya karena ponselnya rusak dan sedang diperbaiki di counter. Baru semalam Mas Yoga menelepon, dan itu juga memakai nomer baru,” jelasku apa adanya. Ayah berdehem sebentar di telepon sebelum merespon ucapanku. “Mungkin Yoga sedang kesulitan di sana, Rista. Tetapi Ayah yakin keputusanmu untuk menitipkan Zidan, tidak terjadi dalam waktu singkat. Seharusnya kamu bisa meminta pertimbangan Yoga sebelum dia ke Sukabumi.” Nampaknya ayah mertuaku itu menyindirku secara halus. Ingin sekali aku menjelaskan bahwa keputusan itu kuambil secara mendadak, kar
Baca selengkapnya
Suami Cerdas, Aku Lebih Cerdas
“Kamu menyuruhku ke Jogja hanya untuk menjemput Zidan? Apa kamu sengaja supaya aku dipecat oleh kantor?!” bentak Mas Yoga dari balik telepon. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar nada bicaranya yang meninggi. Dibentak oleh Mas Yoga bukanlah hal yang baru bagiku, meski tetap saja hatiku terasa berdenyut nyeri. “Pertanyaan yang sama aku ajukan untukmu, Mas. Apa Mas juga ingin aku dipecat karena tidak mengikuti acara kantor? Lalu kalau aku tidak punya pekerjaan, Mas sanggup memberikan nafkah yang selayaknya? Atau Mas akan membiarkan aku dan Zidan kelaparan?” balasku. “Rista, masalah kebutuhan keluarga harus kita pikirkan berdua. Jangan aku saja yang kamu bebani. Berapapun yang diberikan suami, harus bisa disyukuri oleh istri,” bantahnya. Sungguh cerdas suamiku ini dalam memberikan jawaban, tetapi aku juga belajar untuk lebih cerdik dalam memberikan serangan balik. “Kalau begitu suami juga patut bersyukur di kala istri mau turut bekerja untuk mencukupkan kebutuhan keluarga. Dan ras
Baca selengkapnya
Tidak Punya Laptop
Begitu vibrasi ponselku bergetar pada jam tujuh pagi, aku langsung menerima panggilan tersebut.“Halo, Pak, selamat pagi,” sapaku penuh sopan santun.“Pagi, Rista, saya sudah ada di depan gang rumahmu,” jawab Pak Reindra.“Baik, Pak, saya keluar sekarang,” jawabku.Setelah mematikan panggilan itu, buru-buru aku mendorong koperku keluar dari pekarangan. Di depan gerbang, aku berpapasan dengan Mbak Santi dan Bu Siti yang tengah berbincang-bincang.“Rista, pagi-pagi begini kamu sudah pergi. Mau ke Jogja menyusul Zidan?” tanya Bu Siti menatap koper yang kubawa.“Bukan, Bu, saya ada tugas dinas ke luar kota.”“Dinas ke mana dan berapa hari?” timpal Mbak Santi. Dia memang tak sungkan mengorek privasi seseorang demi memuaskan rasa ingin tahunya.“Ke Bogor dan Sukabumi, sekita dua harian, Mbak.”“Oh, kalau begitu selamat bekerja,” jawab Mbak Santi tersenyum lebar.“Hati-hati, Rista,” tambah Bu Siti.“Terima kasih, Bu Siti, Mbak Santi, saya pamit.”Dengan tergesa-gesa, aku menarik koperku mele
Baca selengkapnya
Belum Makan
Dalam situasi ini aku masih bimbang harus menjawab apa. Namun setelah kupikir lebih lanjut, lebih baik aku jujur saja terhadap Pak Reindra. Toh, bila Mas Yoga memang bekerja di Sukabumi, hal itu juga tidak akan berdampak bagi pekerjaanku.“Suami saya bekerja di Sukabumi, Pak,” jawabku dengan jujur.Pak Reindra sedikit melebarkan kelopak matanya, nampak terkejut dengan apa yang kuucapkan.“Sukabumi? Kenapa kebetulan sekali? Apa kamu berencana bertemu dengan suamimu saat outbond nanti?”“Tidak, Pak. Justru besok saya berencana untuk menemuinya sebentar, setelah kita selesai menyewa tempat outbond. Saya ingin minta izin kepada Bapak,” ucapku menunduk, tidak berani menatap langsung ke mata Pak Reindra.Pak Reindra menghembuskan napas sambil menyenderkan setengah tubuhnya ke kursi.“Tentu saja saya mengizinkan. Saya tidak berhak melarang suami istri untuk bertemu, apalagi di luar jam kerja. Tetapi kamu harus kembali sebelum jam empat sore, supaya kita tidak kemalaman saat pulang ke Jakarta
Baca selengkapnya
Sang Pemilik Perusahaan
Aku berusaha mempercepat langkah agar tidak tertinggal oleh Pak Reindra. Entah mengapa atasanku itu berjalan sangat cepat, hingga aku kewalahan mengimbangi gerakannya. Padahal dia tahu persis bahwa tenagaku sedang lemah, tetapi sepertinya dia sengaja menguji kekuatanku. Atau barangkali Pak Reindra melampiaskan kekesalannya lewat cara itu. Ya, siapa juga yang tak akan kesal bila memiliki bawahan yang selalu merepotkan seperti aku. Jika aku jadi Pak Reindra mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Mengingat kelakuanku sendiri, terkadang aku ingin menghilang saja ke dalam dasar bumi. Sadar diri, aku memilih diam seribu bahasa hingga kami tiba di restoran. “Mau pesan untuk berapa orang, Pak?” tanya pelayan restoran menyambut kedatangan kami. “Dua orang saja,” jawab Pak Reindra seraya duduk di meja yang dekat dengan jendela. Pria muda yang melayani kami menyerahkan dua buku menu, satu untukku dan satu lagi untuk Pak Reindra. Namun bosku itu malah menolaknya. “Saya pesan greentea
Baca selengkapnya
Jujur atau Dusta
“Besok pagi, turunlah ke restoran jam tujuh untuk sarapan, jangan sampai terlambat. Kita akan berangkat ke Sukabumi sebelum jam delapan,” tandas Pak Reindra sebelum kami berpisah.“Baik, Pak.”Kami pun masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Aku langsung merebahkan diri di tempat tidur dengan pikiran yang masih berkecamuk. Tiba-tiba saja hari esok jadi terlalu menakutkan untukku. Walau Mas Yoga tak henti menyakiti hatiku, tetap saja aku berharap adanya secercah harapan untuk pernikahan kami. Hingga detik ini, aku masih tak sanggup membayangkan jika Mas Yoga benar-benar mengkhianatiku dengan perempuan lain.Entah jam berapa aku baru bisa terlelap. Yang jelas aku merasa baru tidur sebentar ketika mendengar suara alarm yang berdering. Namun herannya mataku cepat sekali terbuka lebar, tidak merasa ngantuk sama sekali.Hal yang pertama kulakukan adalah mematikan alarm di ponsel, lalu menurunkan kaki satu demi satu. Sambil mengumpulkan tenaga, aku menghadap ke jendela kamar hotel.
Baca selengkapnya
Pria Itu adalah Suamiku
Aku memandangi ruas jalan di kota Sukabumi yang tidak terlalu lebar, namun padat dengan kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Sama seperti Bogor, udara di kota ini juga terbilang sejuk, apalagi saat mobil Pak Reindra mulai memasuki wilayah pegunungan. Kami memang telah memutuskan untuk menyewa villa di seputaran kawasan Situ Gunung. Dalam perjalanan kali ini, aku membantu Pak Reindra untuk menemukan lokasi Villa Pinus yang akan kami sewa. Aku juga menghubungi pihak pengelola villa untuk meminta petunjuk jalan dari mereka. Alhasil kami pun tiba di tempat tujuan tanpa hambatan yang berarti. Usai Pak Reindra memarkirkan mobil di pekarangan, kami berdua masuk untuk menemui penjaga villa. Kesan pertama yang kudapat tentang villa ini adalah asri dan nyaman. Dengan dikelilingi pohon cemara, tanaman hias, dan beragam bunga berwarna cerah, aku rasa tempat ini sangat cocok untuk orang-orang yang membutuhkan healing. Ditambah lagi udara di sekitar villa benar-benar sejuk dan bebas dari kebisinga
Baca selengkapnya
Pendusta yang Berhasil Didustai
Bak tersambar petir di siang bolong, seluruh saraf di tubuhku serasa terbakar. Namun anehnya kaki dan tanganku menjadi lemas seolah-olah tidak bertulang. Hampir saja aku terkulai di kursi bila aku tidak berpegangan erat pada pinggiran meja. Aku menolak untuk percaya, tetapi nyatanya kelakuan Mas Yoga seperti ini di belakangku. Meskipun aku sudah merasakan firasat yang tidak baik, tetap saja aku terpukul saat menyaksikan Mas Yoga menduakan aku. Dia juga bermesraan dengan pacar gelapnya di muka umum tanpa merasa malu. Dilihat dari keakraban mereka, aku yakin wanita itu adalah rekan kerja Mas Yoga di kantor, yang sering kudengar suaranya di telepon. Berulang kali Mas Yoga melakukan kesalahan, rupanya dia tak bertobat juga. Malah kelakuannya kini semakin menjadi-jadi setelah aku memberikan kesempatan kedua kepadanya. Tidakkah dia tahu bahwa kesetiaan adalah kunci utama dalam pernikahan? Bila hal itu sudah dilanggar, maka tak ada lagi alasan untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Ibarat
Baca selengkapnya
Memfitnah Istri Sendiri
Perjalanan menuju ke kos terasa berjam-jam lamanya, meski pada kenyataannya hanya berlangsung sekitar lima belas menit. Taksi yang mengantarku berbelok ke kanan, kemudian memasuki ruas jalan yang lebih sempit. Di pinggir jalan, aku melihat bangunan bertingkat dua yang dikelilingi pagar besi berwarna hitam. Dari kaca jendela mobil, aku bisa membaca plakat besar yang terpasang di pagar tersebut, bertuliskan “Kos Senapati.” Tiba-tiba saja telapak tangan dan kakiku berkeringat dingin. Saking cemasnya, hampir saja aku melupakan niat awalku untuk mengejutkan Mas Yoga. Namun detik berikutnya, aku mengingatkan diri sendiri untuk tidak gentar menghadapi semua ini. Bagaimanapun aku tidak boleh membiarkan diriku terus diombang-ambingkan oleh suamiku yang tidak bertanggung-jawab. Cukup sudah semua pengorbananku selama ini untuknya. Kesabaran setiap manusia ada batasnya, dan aku telah mencapai titik batas tersebut. “Betul di sini kosnya, Bu?” tanya driver taksi itu berhenti tepat di depan pagar.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
45678
...
13
DMCA.com Protection Status