Terbongkar Setelah 10 Tahun Pernikahan의 모든 챕터: 챕터 21 - 챕터 30
63 챕터
Part 21
"Kenapa, Ras?" tanya Dennis yang sejak tadi sangat penasaran, padahal baru saja sambungan telepon itu berakhir, ponsel saja belum sempat dimasukkan Laras ke dalam tasnya."Nggak tahu, sih, Den. Katanya pihak rumah sakit, mas Ibra parah katanya.""Parah? Kok bisa? Terus gimana?""Begitu katanya, nggak tahu juga penyebabnya, dia cuma minta aku ke sana.""Kamu mau ke sana?""Hmm ...." Laras kembali menarik napas."Ma, papa ya, yang sakit? Papa masuk rumah sakit, Ma?" celetuk Kinara tiba-tiba yang duduk di kursi penumpang bagian belakang Laras.Laras menoleh, menjawab agak ragu, lalu kembali menghadap ke depan. Berbohong dengan menatap kedua mata Kinara dia tidak tega."Bukan, Nak. Bukan papa kamu, tapi teman mama," kilah Laras. Dia tampak memejamkan mata sebentar dan menghela napas. Mungkin berat bagi Laras berujar demikian. "Tadi mama nyebut nama papa 'kan?""Oh itu, bukan papa kamu, Ki. Namanya pak Ibrahim.""Tapi kenapa mama manggilnya mas Ibra, sama kayak manggil papa?""Iya, Ki. Ma
더 보기
Part 22
"Kamu di mana, Sayang? Kenapa tadi di telpon tidak diangkat?""Oh jadi, nomor baru yang masuk tadi itu kamu?""Iya, aku di rumah sakit, bisa ke sini?""Di rumah sakit? Mas ... Mas ... kamu pikir aku percaya kalau kamu di rumah sakit?""Aku serius, Sayang. Aku di rumah sakit, tadi ada yang ke rumah, mobil ditarik karena aku nggak bayar selama tiga bulan. Aku sampai ditonjok, hingga pingsan. Untung ada warga yang nolongin dan dia bawa aku ke rumah sakit. Sekarang, aku udah dibolehkan pulang, cuma aku nggak pegang uang buat bayar. Kamu bisa ke rumah sakit 'kan?""Hahahhaha ...." Bukannya prihatin mendengar penuturan Ibra yang benar adanya, Annisa malah tertawa lepas. "Kamu pikir aku percaya, Mas? Nggak sama sekali, akting mu, aku acungkan jempol sepuluh. Keren. Sayangnya aku bukan mangsa yang mudah kamu jinakkan," ucap Annisa dengan sombongnya."Say-sayang ---."Sambungan telepon diputuskan Annisa, dia yang sedang bersenang-senang di sebuah kafe."Aku tahu kamu berpura-pura, Mas. Ingat!
더 보기
Part 23
"Soalnya liat wajah kamu memar begitu, saya jadi curiga.""Tenang, Pak. Saya tidak sejahat yang ada dipikiran bapak, kok."Ibra sibuk memperhatikan gerak-gerik bu Nani dari kejauhan. Sedangkan bapak ojek, sibuk memainkan ponselnya. Karena yakin Ibra ini akan membayarnya lebih, dia pun menonaktifkan aplikasinya.Pergerakan bu Nani semakin jelas terlihat, karena dia duduk paling pojok tak jauh dari tempat Ibra bersembunyi.Bu Nani tampak menelepon seseorang dan Ibra penasaran siapa yang diteleponnya itu. Sepuluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda seseorang menemui bu Nani."Pak, gimana? Kalau begini, saya bisa banyak rugi," keluh pak ojek."Sabar, Pak. Lima belas menit lagi, kalau misal tidak ada perubahan kita pergi!""Oke, saya tunggu. Tolong tepati janjimu!""Pasti, Pak."Lima menit kemudian, tampak sebuah mobil berhenti di pintu masuk hotel. Seorang perempuan turun dari pintu belakang."Annisa, berarti benar feeling-ku. Ibu menelepon Annisa. Ini pasti ada sesuatu," gumam Ibra."Pak,
더 보기
Part 24
"Pak, ini banyak sekali.""Tidak apa, Pak. Uang segitu, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang saya lihat tadi. Bapak memang penolong saya."Saling mengucap rasa terima kasih, kemudian Ibra meminta bapak ojek mengantar dirinya untuk pulang ke rumah. Tadi, Ibra memberi uang sebagai ucapan terima kasihnya pada bapak ojek sebanyak dua juta rupiah.Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Ibra teringat akan Laras juga Kinara. Berulang kali dia mengutuk dirinya karena sudah mengambil tindakan b*d*h selama ini."Pak, kalau misal ada seseorang orang yang sudah terlanjur kecewa sama kita, apa mungkin bisa kembali ke tangan kita lagi, Pak," ujar Ibra pada bapak ojek."Tergantung takdir, Pak. Kalau Allah masih menjodohkan, akan kembali. Namun, jika tidak berarti memang jodohnya sampai sana."Deg!Ucapan bapak ojek semakin mengiris luka yang menganga. Sakit? Sakitnya tidak bisa diungkapkan Ibra dengan kata-kata.Dinginnya malam yang makin larut, menambah bekunya hati Ibra."Tuhan, andai aku bis
더 보기
Part 25
Sinar matahari cukup bersinar meskipun baru menunjukkan pukul delapan pagi. Ibra berusaha menghubungi Laras dari semalam juga mengirim pesan. Pesan berisikan penyesalan yang dia kirim panjang-lebar. Jangankan dibalas, dibaca pun enggak.Biasanya, pesan masuk dari Ibra sengaja diberi pin oleh Laras. Pesannya selalu teratas. Namun, ketika luka mulai menganga satu per satu, Laras menghilangkan tanda pin, dan menjadikan pesan yang diarsipkan. Tidak lagi menjadi prioritas."Halo, Din. Maaf pagi-pagi menganggu.""Ya, Mas. Ada apa? Tumben?" Dinda sangat terkejut ketika ponselnya berdering nyaring, matanya membola saat melihat nama Ibra terpampang nyata di layar ponselnya. Berulang kali dia memastikan, apakah deretan huruf itu benar mas Ibra mantan suami Laras. Meski pada akhirnya tanpa sadar jemarinya menyentuh icon telepon berwarna hijau."Bisa kita bertemu?""Ada apa, ya? Nggak ada angin, nggak ada hujan minta bertemu.""Aku mau minta tolong sama kamu, Din!""Haa? Minta tolong, Mas. Apa ak
더 보기
Part 26
Kejadian semalam terngiang jelas di pelupuk mata Ibra. Harapan yang tidak sesuai realita. Berharap Dinda mengerti dirinya sudah menyesali perbuatannya, akan tetapi kenyataan yang terjadi malah berbanding terbalik.Dia terduduk di lantai setelah teleponnya berakhir dengan Dinda. Menyandarkan tubuhnya lemah tak berdaya ke ranjang kayu model lama. Pikirannya berkecamuk meratapi apa yang sudah diperbuat.Lupa kapan pastinya, lelaki yang wajahnya sudah tak terawat ini meneteskan air mata. Yang jelas hari ini, pagi ini, lolos dari manik mata hitam pekat nan tajam. Dia biarkan lolos beberapa saat. Setelahnya, dia seka bulir bening tersebut, seiring ratapan penyesalan. "Ras, apa yang harus aku lakuin biar bisa memperbaiki semuanya, Ras?""Aku menyesal, Ras.""Sangat-sangat menyesal.""Betapa bodohnya aku, lebih percaya pada orang yang sejak awal sudah menghancurkan pernikahan kita.""Betapa bodohnya aku, termakan omongan murahan, padahal aku sadar dan tahu betul, kamu bukan perempuan seperti
더 보기
Part 27
"Apa? Kamu gila ya, Mas! Masa nyuruh ibu aku bertekuk lutut di hadapan kamu. Dia itu lebih tua dari kamu lho, Mas. Dia juga masih berstatus mertua kamu. Kok kamu tega sih, Mas?""Hahahhaha ...." Tawa Ibra pecah. "Apa kamu bilang? Tega? Aku tega? Pikir dulu kalau ngomong, ibu kamu yang lebih kejam. Demi dendam dia, rumah tanggaku jadi korban.""Iya, Mas. Aku tahu, ibu salah. Cuma ... Cuma nggak harus kayak gitu juga, Mas.""Ya, terserah, itu urusan kamu. Kalau tidak bisa memenuhi syarat itu, yang rugi kamu dan calon anakmu sendiri. Kita nikah cuma secara agama tidak diakui negara. Paham 'kan maksud aku? Pastilah paham ya 'kan, kamu 'kan licik, pastilah paham apa yang aku maksud."Sambungan telepon terputus. Ibra tersenyum, "aku akan buat hidupmu menderita, Liana. Sebelum aku bisa mendapatkan Laras lagi, jangan harap kamu dan ibumu akan lepas dari dendam ku. Memangnya, ibumu saja yang bisa menaruh dendam. Aku pun bisa, bahkan lebih dari itu."Ibra menggenggam kuat-kuat ponselnya, hingga
더 보기
Part 28
Dennis jelas tidak akan keberatan jika dimintain tolong. Ini sangat menguntungkan baginya, bisa berkomunikasi dan bertemu. Dennis masih menahan diri, terlebih perempuan yang dia sukai itu baru saja berpisah."Den, makasih banyak ya, udah bantu dagangan aku." Laras menyerahkan beberapa kotak donat pada Dennis. Sabtu pagi, Dennis sudah berada di rumah Laras. Mengambil pesanan punya kakaknya. Sebenarnya ..."Den, kamu kasih alamat lengkap Laras aja. Biar mas aja yang jemput. Sekalian berangkat ke kantor.""Nggak usah, Mas. Aku aja, biar aku anterin ke kantor, Mas. Hmm ... baik 'kan aku jadi adikmu.""Yakin baik? Atau ada udang di balik bakwan? Ngaku!""Iya, emang ada ada udang di balik bakwan, aku melindungi Laras dari perjaka tua macam kamu, Mas. Dah lah, aku berangkat dulu."Dennis dan Laras duduk di teras, ada kursi juga meja di sana. "Iya, sama-sama, Ras. Kalau ada yang punya temen, ngapain beli di tempat lain 'kan.""Hihi, bisa aja kamu, Den.""Lah, 'kan emang bener, Ras. Oh iya, R
더 보기
Part 29
"Bu Liana terpaksa dirawat, saya takut, jika rawat jalan, akan membahayakan si ibu juga calon anaknya.""Ya, namanya orang hamil 'kan emang lemah, Dok. Banyak juga kok yang rawat jalan persis hamilnya seperti Annisa. Apalagi zaman dulu, mana ada seperti ini." Daritadi bu Nani tak kunjung berhenti, padahal dokter Klara sudah menjelaskan."Saya coba jelaskan sekali lagi, ya, Bu. Setiap ibu hamil juga anak dalam kandungan itu beda-beda. Ada yang kuat, ada juga yang lemah. Tidak bisa dipukul rata. Nah, ibu Liana ini termasuk lemah. Bergerak banyak, fleknya akan bertambah banyak, resiko keguguran pun semakin besar.""Huh, emang keguguran itu yang saya inginkan, Dok!" bathin bu Nani, dengan mata memutar tak beraturan. Atau ibu mau kehilangan keduanya. Jangan meremehkan sesuatu, Bu. Saya, sebagai dokter juga tidak segampang itu mendiagnosa, Bu. Tapi, ya ... terserah ibu. Jangan sampai terlambat!""Ya sudahlah, berapa hari harus menginapnya, Dok?""Tergantung, Bu. Semoga saja tidak lama, saya
더 보기
Part 30
"Sudah, cukup, Liana. Cukup. Oke, ibu akan telpon suamimu.""Bagus, impas kita ya. Tunggu apalagi, Bu. Telpon sekarang!"Kali ini, giliran bu Nani mati kutu. Dia merogoh ponselnya dari dalam saku celana. Tatapan penuh amarah pun tersirat di kilatan matanya."Besok aja tidak diangka," elak bu Nani."Aku tidak percaya kalau ibu menghubungi mas Ibra. Bisa perlihatkan padaku bukti panggilannya?""Kamu apaan sih, Li. Lancang banget.""Siapa yang lancang, Bu? Jangan lempar bola ke dinding gitu dong. Gerak-gerik ibu yang aneh, kok malah aku disebut lancang. Udahlah, Bu."Apa yang ditebak Liana memang benar adanya. Bu Nani memang sama sekali tidak menghubungi Ibra. Berpura-pura tentunya. Fakta yang ada, bu Nani tidak mau menunjukkan panggilan keluarnya."Halo." Panggilan dari bu Nani akhirnya diangkat Ibra, ketika setelah dengan sengaja mengabaikan panggilan sebelumnya sebanyak lima kali."Ibra, ini ibu.""Saya aku kok kalau ibu licik yang telpon. Saya juga tahu, ibu licik sudah beberapa kali
더 보기
이전
1234567
DMCA.com Protection Status