Semua Bab Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Bab 61 - Bab 70
525 Bab
61. Membutuhkan Sosok Ayah
Saat Kara baru menutup pintu apartemen, sebuah pesan masuk ke ponselnya. “Kara, apakah besok malam kau senggang? Bagaimana kalau kau membantuku? Aku bisa menjemputmu.” Kara termenung. Ia belum bisa menentukan keputusan mana yang lebih bijak. Ia pun menyimpan kembali ponselnya dan pergi ke kamar si Kembar. Ia perlu mencari hiburan. Kara mengintip dari celah pintu. Si Kembar ternyata sedang berbincang santai. Louis terlihat asyik dengan mobil-mobilan transformer barunya, sedangkan Emily sibuk menata koleksi buku barunya. Kara diam-diam tersenyum mengamati mereka. “Ya, aku juga suka makanan di restoran itu. Tapi, jika dibandingkan, pancake yang kamu pesan lebih enak dari steak yang aku makan. Aku seharusnya memesan itu juga,” gumam Louis dengan kepala tertunduk. Jemarinya bergerak lincah mengubah bentuk mobil menjadi robot. “Kenapa kamu tidak bilang saat itu juga? Aku bisa membagikan setengahnya untukmu, atau ... Tuan Wilson mungkin saja memesan satu porsi lagi untukmu. Dia kaya da
Baca selengkapnya
62. Mobil Keren Ben Wilson
Jeremy bungkam. Ia tahu, tidak ada kata-kata yang mampu meredam kecemburuan dalam hati tuannya. “Lalu sekarang, apakah mereka masih bersama?” selidik Frank dengan nada sinis. “Tidak, Tuan. Nona Martin langsung ke apartemennya setelah dari mal.” Frank mendengus. “Perempuan itu memang tidak tahu diri. Aku sedang berusaha melindunginya dari kakekku, tapi dia malah bersikap seenaknya.” “Nona Martin tidak tahu bahwa Anda diam-diam melindunginya, Tuan. Bukankah Anda mengirim saya secara rahasia?” celetuk Jeremy ringan. Ia hafal nada bicara itu—Frank Harper yang berusaha menutupi perasaannya walaupun sudah mengeluarkan asap. “Ya, memang,” jawab Frank singkat. “Apakah Anda cemburu?” Decak kesal langsung terdengar. “Sudahlah! Aku malas kalau kau sudah mengeluarkan omong kosong itu. Aku lebih baik berendam di dalam bak.” Telepon pun terputus. Sudut bibir Jeremy terangkat lebih tinggi. “Sepanas itukah api cemburu? Dia samp
Baca selengkapnya
63. Masuk Perangkap
"Bagaimana denganmu, Tuan Putri? Kamu mau ikut juga?" tawar Ben sambil mengulurkan tangannya kepada Emily.  Anak perempuan itu menggeleng sopan. "Tidak, Tuan Wilson. Hanya ada dua kursi di mobilmu. Aku tidak mau membahayakan keselamatan. Lagi pula, aku lebih suka Pagani yang pintunya mirip sayap ketika terbuka." Ben terkesima dengan jawaban itu. "Oh, kamu lebih suka Gullwing?"  Emily mengangguk lucu. Kemudian, sambil menggandeng tangan Kara, ia menyaksikan mobil melaju membawa saudara kembarnya pergi.  "Ini gawat," gumam Jeremy yang tidak biasanya khawatir. "Ben Wilson sudah berada jauh di depan. Dia bisa saja merebut hati Kara. Tuan jelas tertinggal." Sekali lagi, sang asisten mengamati Kara. Perempuan itu mengenakan gaun biru sederhana yang membuat kulit bersihnya lebih bersinar. Ia tidak mengenakan riasan dan rambutnya dibiarkan tergerai menutupi pundak. Namun, kesederhanaan itu malah menonjolkan kecantikan alaminya.
Baca selengkapnya
64. Tidak Ada Gunanya Berteriak
Kara mengernyitkan dahi dan berkedip. “Sulit dijelaskan, tapi saya merasa ini seperti aroma di dalam kelas. Apakah ini aroma khas guru?” Sang pelayan menunjukkan label pada botol. Ben langsung tersenyum puas. “Benar. Bagaimana dengan yang ini?” Sang pelayan menyodorkan kertas lain. “Wah ....” Kara berdecak kagum. “Bagaimana kalian bisa membuatnya sespesifik ini? Anda benar-benar jenius, Tuan Wilson. Ini seperti pegawai bank.” Senyum Ben pun semakin lebar. “Ini hasil penelitian dan survei selama bertahun-tahun. Tertarik untuk melanjutkan?” Kara mengangguk antusias. Setelah mengendus kertas ketiga, ia menghela napas tak percaya. “Aroma ini membuat saya merasa seperti sedang menyaksikan seorang barista beraksi di kafenya.” Kara selalu menyukai sesuatu yang baru dan unik. Tak heran jika matanya berbinar. Namun, ketika ia memeriksa aroma keempat, senyumnya memudar. Ia menatap sang pelayan heran. “Sepertinya, Anda belum menyemprot yang ini, Nona.” Sang pelayan pun menyemprot kertas
Baca selengkapnya
65. Kau Takut Padaku?
“Sadarlah, Tuan Wilson. Yang kau lakukan ini salah!” pekik Kara sambil mencoba untuk menendang. Sayangnya, gaunnya tertimpa oleh lutut Ben. Geraknya sangat terbatas. “Ayolah, Kara ... berhentilah melawan. Biarkan obat yang mengalir dalam darah kita bereaksi dengan sempurna. Aku tidak akan kasar, dan jangan lupa kalau aku akan bertanggung jawab.” Kara terus memberontak. Ia bisa merasakan darahnya berdesir dan debar jantungnya yang menggila. Namun, ia tidak mau kalah. “Ya Tuhan, tolong selamatkan aku. Aku tidak mau membuat anak-anakku malu.” Kara terpejam erat, berusaha menyingkirkan bayangan kotor dari benaknya. Ia tidak ingin terjebak dilema karena jelas, apa yang diinginkan oleh tubuhnya sangat bertentangan dengan hati dan logika. Tiba-tiba, pintu terbuka lebar. Kara spontan menoleh dengan mata terbelalak. Begitu mendapati Frank berdiri di sana dengan tangan terkepal erat, ia mendesah lega. Untuk pertama kalinya, ia bersyukur melihat
Baca selengkapnya
66. Menjelajahi Kelembutan Kara
“Tolong jangan bunuh aku .... Biarkan aku pergi. Aku bersumpah tidak akan muncul di hadapanmu lagi,” rintih Kara di sela desah napasnya. Senyum Frank berubah kecut. Ia kini mengerti mengapa Kara menyembunyikan identitasnya. Gadis itu benar-benar takut padanya. “Apakah yang tadi itu sakit?” Kara menelan ludah. Tanpa berpikir panjang, ia menggeleng. Otaknya hanya mampu menyampaikan kejujuran. “Bagus.” Kara mengerutkan alis. Dalam hati, ia bertanya-tanya apa maksud dari gumaman itu. “Mulai detik ini, jangan pernah mendekati pria lain selain aku. Dan sekali lagi kau membantah ucapanku,” suara Frank mendadak lembut, “aku tidak akan segan mematahkan lehermu.” Kara tidak mengerti apakah itu ancaman atau peringatan halus. Yang lebih membingungkan, mengapa ucapan Frank bertentangan dengan yang dulu? Tiba-tiba, ibu jari Frank mengelus pipi Kara. “Sekarang, apakah kau masih takut?” Rasa tidak nyaman dalam tubuhnya mendadak
Baca selengkapnya
67. Kau Tidak Perlu Malu
“Aku sudah memberimu peringatan sebanyak tiga kali, tapi kau tidak mau lepas dariku. Apakah kau lebih senang jika melampiaskannya bersama pria lain?” tanya Frank datar. Kara menggeleng kaku. “Kalau begitu, hapuslah penyesalanmu. Bukan dirimu yang bersalah, tapi laki-laki bejat itu.” Kara terpejam meratapi harga dirinya yang jatuh. Ia kesal pada diri sendiri. Ia seharusnya lebih berhati-hati, bukan malah terjerumus ke lubang yang sama. “Kau tidak perlu malu, Kara. Kita melakukannya karena keadaan darurat.” Pernyataan itu bukannya menghibur, justru malah membuat Kara semakin terpuruk. “Kau senang telah mengubahku menjadi perempuan murahan sungguhan, hmm?” “Kenapa kau berkata begitu?” sela Frank dengan nada tak senang. “Aku tidur dengan laki-laki yang akan segera menikah,” rintih Kara sembari menumpahkan air mata. Ia sadar bahwa rencana B-nya juga telah hancur. Rowan Harper tidak mungkin membiarkannya lolos lagi. Sekarang ia bingung bagaimana harus melindungi si Kembar. Semua pin
Baca selengkapnya
68. Aku Memang Sudah Gila
“Baiklah, aku janji tidak akan mempermainkanmu lagi. Aku tidak akan memberimu tugas yang aneh-aneh ataupun menjadikanmu bahan tertawaan, dan kau tidak perlu menjadi pelayanku lagi. Aku janji.” Frank mengangguk yakin. Akan tetapi, Kara menarik napas berat. Ia tidak butuh kata-kata manis itu. “Sekarang juga, buka pintu!” “Tidak,” tolak Frank tanpa berpikir panjang. “Tidak, sebelum kau menyepakati permintaanku. Berjanjilah untuk tetap berada di sisiku.” Kara menghela napas tak percaya. “Kau gila?” “Ya, aku memang sudah gila! Sejak kau membuatku jatuh hati padamu, aku mulai tidak waras. Apakah kau masih tidak paham juga?” Suara Frank bergema, menggetarkan hati Kara. Gadis itu harus mengepalkan tangan demi mengukuhkan niatnya. “Aku tidak memintamu untuk mencintaiku. Aku hanya ingin bebas darimu,” tegasnya. “Tapi kau sudah terikat denganku. Kau bahkan sudah menandatangani kontrak, Kara. Kau ingin aku memasukkanmu ke dalam pen
Baca selengkapnya
69. Menjaga si Kembar
Meski fokusnya tetap tertuju pada jalan, Jeremy ikut menggerakkan alis. “Apa yang Tuan katakan tentang pengawal kesepuluh?” “Dia bilang, ada satu pengawal lagi yang mengawasi secara diam-diam. Dia yang terhebat dan hanya muncul saat benar-benar dibutuhkan,” terang Kara bingung. Tiba-tiba, Jeremy mendesahkan senyum dan melirik sekilas. “Itu Tuan sendiri, Nona. Dia adalah satu-satunya murid Sean, orang yang mampu mengalahkan si monster otot itu.” Sementara Kara ternganga tanpa kata, Jeremy melanjutkan, “Saat mengetahui Anda berada dalam bahaya, Tuan marah besar. Saya beruntung masih diberi kesempatan untuk bekerja dengannya.” “Frank memintamu untuk mengelu-elukan dirinya?” Mata Kara menyipit. “Tidak, Nona,” bantah Jeremy sigap. “Saya berkata apa adanya. Tuan memang sehebat itu. Dan mengingat kemurkaannya semalam, kecurigaan saya tidak perlu diragukan lagi, Nona. Tuan memang mencintai Anda.” Mendengar pernyataan tersebut, raut Kara beruba
Baca selengkapnya
70. Udang untuk si Kembar
Saat jam istirahat tiba, Rowan masih berada di sana. Ia terus mengamati dengan beragam ekspresi. Ia baru bangkit dari kursinya ketika Kara dan si Kembar beranjak dari meja. “Apakah kalian mau pergi ke kantin?” tanyanya mendadak ramah. “Ya! Hari ini kami tidak membawa bekal karena Mama sedang libur. Kami ingin mengajak Mama mencicipi makanan di kantin,” terang Louis dengan penuh semangat. “Apakah kau mau makan bersama kami, Tuan?” Kara terbelalak. Ia tahu anak-anaknya memang sopan, tetapi ia tidak menduga bahwa sikap baik itu bisa berujung pada bahaya. Saat Kara hendak mengalihkan topik, Rowan sudah lebih dulu menerima tawaran. Ia tidak punya jalan lain selain menjaga si Kembar tetap berada di dekatnya. Beruntung, kondisi di kantin cukup ramai. Kecil kemungkinan anak-anaknya diserang di sana. “Tuan, kenapa kita langsung duduk di meja? Bukankah kita seharusnya memilih menu di sana?” tanya Louis, diiringi anggukan Emily. Telunjuknya meruncing ke arah long counter—meja panjang dekat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
53
DMCA.com Protection Status