Kara Martin dijuluki sebagai Miss Perfect. Ia cantik, berkepribadian baik, dan kariernya gemilang. Namun, karena malam itu, kehidupannya berubah total. Ia dituduh berzina, dipecat dari perusahaan, dan ditinggalkan oleh calon suaminya. Laki-laki sombong yang meniduri Kara tidak mau bertanggung jawab. Pria itu bahkan mengancam akan menghabisinya kalau sampai mereka bertemu lagi. Malangnya, Kara malah mengandung bayi kembar dan ia memilih untuk melahirkannya. Empat tahun kemudian, Kara kembali bekerja di sebuah perusahaan besar. Sebagai sekretaris, ia akan sering berhadapan dengan CEO mereka yang terkenal kejam. Kara mengira hal itu bukan masalah, tapi ternyata ... si bos adalah ayah si kembar!
view more“Astaga!”
Frank Harper terkesiap saat mendapati pundak ramping yang dipenuhi jejak bibir. Cap kemerahan itu ada di mana-mana, bahkan di dekat tahi lalat yang memang berada pada posisi menggairahkan.
Masih dengan mulut ternganga lebar, Frank menatap wajah korbannya. Lipstik dan maskara gadis itu keluar jauh dari batas. Menyadari kebrutalannya, Frank bergegas mengambil ponsel.
“Sia-sia aku membayar kalian mahal! Kau dan sembilan pengawal itu sungguh tidak berguna!” umpat Frank begitu panggilannya diterima.
“Ada apa, Tuan? Bukankah Anda sendiri yang meminta kami pulang? Anda bilang ingin merayakan anniversary bersama tunangan Anda.”
“Tunangan dari mana? Aku tidak mengenal gadis ini!”
Frank menyoroti Kara Martin dengan mata merah membara. Kebencian telah membakar jiwanya.
Beberapa kali Isabela berusaha merayunya, ia tidak pernah goyah. Namun, semalam, ia sudah lengah. Bagaimana mungkin ia merusak citra sempurnanya bersama seorang gadis yang tidak dikenal?
“Cepat selidiki bar semalam! Seseorang telah memasukkan obat ke dalam minumanku. Dan cari tahu di mana Isabela sekarang! Tidak biasanya dia membatalkan janji tanpa memberi kabar.”
“Bagaimana dengan gadis yang sedang bersama Anda? Apakah saya perlu menelusuri informasi tentangnya?”
Frank menggertakkan rahang. Bagaimana mungkin gadis itu masih terlelap di saat kemarahannya telah meledak-ledak?
“Aku akan menanganinya.”
Setelah meletakkan ponsel di atas meja, Frank bergegas mengenakan pakaian. Kemudian, tanpa sedikit pun keraguan, ia menampar sang gadis dengan segelas air.
“Hmmph!”
Kara spontan meraup wajah dan menegakkan badan. Begitu melihat seorang pria tampan berambut acak-acakan, ia terperangah. “Siapa kau?”
“Akulah yang seharusnya bertanya. Kau siapa?”
Frank meninggikan sebelah alis. Wajahnya sama sekali tidak ramah. Mata abu-abunya memancarkan aura dingin yang mematikan.
“Tunggu dulu! Ini kamarku. Kenapa kau bersikap seolah-olah ini kamarmu?” balas Kara dengan nada bicara yang lebih tinggi. Ia belum sadar bahwa pakaiannya tidak melekat di tubuh lagi.
“Kau tidak tahu siapa aku?” gumam Frank dengan sebelah alis mendesak dahi. Sedetik kemudian, ia mendengus. “Ini hotelku, dan kamar ini sudah kusiapkan khusus untuk tunanganku. Jadi, berhentilah mengada-ada!”
“Kaulah yang mengada-ada! Tim kami menyewa tiga kamar di Hotel Harper ini sejak kemarin siang. Lihatlah, koperku ....”
Kara tersentak melihat pakaiannya berserakan di dekat kaki sang pria. Begitu ingatan tentang mimpi semalam terputar, matanya terbelalak.
“Kau ...!” Kara menarik selimut dengan tampang horor. “Apa yang sudah kau lakukan kepadaku?”
Dengan tangan disempal dalam saku, Frank melangkah maju. “Akulah yang seharusnya histeris. Bagaimana mungkin aku bisa menyentuh perempuan rendahan yang sejelek dan sebodoh dirimu?”
Sambil mencondongkan tubuh ke depan, ia mengamati raut korbannya yang dirasa berlebihan. Mata yang berwarna tembaga keemasan itu bergetar terlalu hebat.
“Ck, bahkan anjing Samoyed jauh lebih berkelas dibandingkan dirimu.”
Pria itu menatapnya seperti makhluk paling menjijikkan dari seluruh dunia. Kara kehabisan kata-kata.
“Hentikan sandiwaramu! Kau pasti senang sudah tidur denganku. Jutaan wanita mendambakan kesempatan itu. Kau seharusnya bersyukur, sedangkan aku ....” Frank mendengus dan mengedikkan bahu. “Semalam adalah mimpi terburuk dalam hidupku.”
“Munafik! Jelas-jelas kau sudah mengambil keuntungan dariku. Sekarang, kau menganggapku sampah?”
Air mata Kara mulai mengalir. Kekesalannya sudah mencapai puncak.
“Kau memang sampah. Kau itu ibarat setitik noda dalam lukisan mahal yang tanpa cela. Kau tidak layak memasuki kanvasku. Karena itu, lupakan apa yang telah terjadi dan jangan pernah menemuiku! Jika di luar kamar ini kau masih menampakkan batang hidungmu, jangan salahkan aku jika kau lenyap dari muka bumi.”
“Kau pikir aku sudi disentuh olehmu? Kaulah sampah yang sesungguhnya! Kau telah merampas hak tunanganku! Sekarang, kau harus bertanggung jawab!” hardik Kara dengan suara bergetar. Tenaganya memang telah terkuras, tetapi kemarahan memaksanya menolak untuk diam.
Sementara itu, Frank menyipitkan mata. “Gadis ini masih ingin bertingkah seperti korban? Dia bahkan berani menekanku dengan tuntutan?” Ia mendengus sinis.
“Aku bukan memintamu untuk menikahiku,” jelas Kara sigap. “Kau hanya perlu menjelaskan kejahatanmu kepada tunanganku.”
“Apakah peringatanku kurang jelas?” tanya Frank dengan nada tak senang. Masih dengan tangan yang disempal dalam saku celana, ia menempatkan wajah beberapa senti di depan Kara. “Aku ... tidak mau ... berurusan lagi ... denganmu.”
Nada bicara pria itu tidak main-main. Kara nyaris bergidik ngeri, tetapi ia tetap mengangkat dagu.
Sayangnya, belum sempat keberaniannya terucap, pria itu sudah mendorong keningnya dengan telunjuk. Sedetik kemudian, ia melengos pergi sambil membersihkan tangan dengan kain sutra yang berukiran emas.
“Hei!”
Kara bergegas mengejar. Namun, begitu ia berhasil meraih lengan sang pria, ia langsung merapat dengan dinding.
“Kau pikir aku bercanda?” Frank mengeratkan cengkeraman tangannya pada leher Kara, tak peduli jika gadis itu megap-megap mencari udara.
“Aku tidak sudi melihat wajahmu yang menjijikkan ini, apalagi disentuh oleh tangan kotormu. Sekali lagi kau mengusikku, hidupmu akan berakhir detik itu juga.”
Begitu Frank melepas cengkeraman, Kara langsung ambruk dan terbatuk-batuk. Ia tidak punya tenaga lagi untuk mengejar. Sambil mencengkeram selimut, ia hanya bisa memandangi pintu dan menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba, sepasang sepatu pantofel kembali terlihat. Kara mendongak. Saat mendapati seorang pria dengan mata yang memerah, ia terkesiap.
“Finnic?”
Pria itu mendesah tak percaya. “Jadi ini kelakuanmu di belakangku?”
Kara berkedip-kedip dengan lidah kaku. “Tidak .... Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Fin.”
Sambil menggertakkan geraham, Finnic melemparkan ponsel yang berisi sebuah rekaman. Saat menyaksikannya, tubuh Kara langsung gemetar.
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments