All Chapters of Anakku Tak Diakui Ayahnya : Chapter 21 - Chapter 30
96 Chapters
BAB 21
Orang-orang dari Masa LaluWanita dengan rambut sebahu dan sedikit bergelombang itu duduk di depanku. Warna bibirnya makin terlihat menyala terang berpadu dengan kulit wajahnya yang begitu terawat. Matanya sibuk menelisik setiap inci tubuhku, sesekali mengernyit keheranan saat netranya itu menangkap sesuatu yang dinilainya janggal. Seperti saat matanya itu melihat jam di pergelangan tanganku. Kuyakin dia yang paham mode akan begitu mudah menerka harga barang yang kukenakan. Kedua tangannya bertumpu di atas meja. Seolah tak mampu melawan takdir, sela-sela jemari yang mulai keriput itu tetap menunjukkan usia asli pemiliknya. "Kelihatannya kau hidup begitu layak di sini." Ucapan itu keluar disertai seringai intimidasinya padaku. Aku diam, mencoba mendengar alasan yang membawanya kemari, menemui seseorang yang enam tahun lalu pernah dihinanya habis-habisan. Kuredam gejolak emosiku. Benci sekali rasanya, kehidupan yang mulai tertata rapi kembali berantakan karena pertemuan dengan orang-
Read more
BAB 22
Sungguh, hinaan itu membuatku tak mampu berkutik. Tidak hanya menyangkal tuduhanku atas putranya, wanita angkuh itu pun menuduhkan hal yang begitu keji. Dan kedatangan wanita itu kemari mau tak mau membuka memori lama yang sejatinya sudah ingin kuhapus dari ingatanku. "Tentu saja baik. Seperti yang kau lihat," jawab ibu kandung Giandra. Aku tersenyum tanpa mengalihkan sedetik pun pandanganku dari wajahnya. Wajah yang terlihat awet muda karena perawatan ala sultan yang pasti dia lakukan hampir tiap bulan. "Ah, syukurlah. Aku lega mendengarnya," jawabku sedikit retoris. "Apakah kau berharap aku mati? Atau… hidup nelangsa setelah memberi pelajaran padamu?" Aku tergelak. "Anda lucu sekali, Bu. Lalu… Apa yang membawa Anda kemari? Sebentar, bisakah aku menebak?" kataku menggantung kalimat. "Apakah menantumu yang menyuruh ibu mertuanya kemari untuk menemuiku?" Kulihat tangan itu meremas tas warna hijau yang kuyakin sebagai tas edisi eksklusif sebuah produk impor ternama. "Apa kau yan
Read more
BAB 23
Mencegah PertemuanHari ini sengaja aku menjemput Bintang di sekolahnya. Bu Raya—guru kelasnya—memintaku untuk hadir karena ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Tak masalah, mulai hari ini Satya sudah berangkat normal lagi ke restoran. Aku meminta izin padanya untuk datang telat sekaligus memberitahu alasannya. Kebetulan aku pun memiliki urusan di bagian tata usaha sekolah itu untuk membayar biaya kunjungan anak-anak TK ke sebuah gerai makanan siap saji. Acara yang rencananya akan dilaksanakan pekan depan itu cukup membuat Bintang antusias. Dengan mengenakan tunik polos warna mint dan pasmina warna senada kulangkahkan kaki di halaman sekolah yang nampak lengang. Anak tangga yang tidak terlalu tinggi pun memudahkan mereka masuk ke dalam ruangan dengan aman. Area halaman pun dilengkapi taman yang membuat suasana makin terasa segar. Kuedarkan pandangan ke sekitar bangunan. Gabungan antara warna putih yang netral serta detail batu bata pada dinding di sekitar eksteriornya mampu
Read more
BAB 24
Kulihat Bu Raya mulai bereaksi. Dia mengangguk perlahan yang sontak membuat hatiku memanas. Kupalingkan wajah ke arah lain. Tak mungkin kulampiaskan kekesalanku pada wanita lembut di depanku. Semarahnya diriku, aku tak mungkin mempermalukan diriku sendiri dengan berbuat amoral. "Setelah kejadian itu, tiap Rabu dan Jumat Pak Giandra selalu kemari. Kami tak menaruh curiga, hingga sebuah pertanyaan terlontar dari anak-anak untuk Bintang." Bu Raya sedikit tertunduk sebelum melanjutkan kalimatnya. "Anak-anak bertanya, apakah Pak dokter adalah ayah Bintang? Mereka berdua sangat mirip. Dan Bintang… dia terlihat terpukul sekali." AstaghfirullahItukah yang membuat Bintang akhir-akhir ini sering menanyakan soal kepergian ayahnya? Hingga membahas soal perkiraannya bahwa aku dan Satya akan menikah? Gusti, berapa berat kerja kepala anak sekecil itu menanggung pemikiran seperti orang dewasa? Aku bodoh, aku terlalu terhanyut dengan pekerjaanku hingga membuat Bintang sedikit terabaikan. Tak hanya
Read more
BAB 25
Bidadari Tanpa Sayap Mataku tiba-tiba mengabur memandang jalanan sempit yang pernah menjadi saksi perjuanganku sekadar untuk menegakkan tubuh. Warteg tempat Bu Solihah itu kini sudah diambil alih keponakannya setelah wanita berhati mulia itu meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Tepatnya seminggu sebelum Bintang lahir. Sungguh aku kehilangan bidadari nyata dalam dunia ini. Ingatanku bergerak cepat ke masa-masa itu. Aku yang kalut karena diusir Ayah dari rumah hanya mendekap tas gendong dengan beberapa potong baju di sebuah sudut terminal. Entah mengapa kakiku melangkah ke sana. Rasanya aku hampir putus asa saat itu. Uang yang kupegang tak lebih dari seratus ribu karena sudah kugunakan untuk mengangkot ke rumah Giandra yang akhirnya hanya berakhir kekecewaan. Bayangan bunuh diri sempat melintas beberapa kali. Namun kesadaran akan adanya kehidupan di rahimku membuatku segera menepis pikiran buruk itu. Tak mungkin membawanya mati dalam keadaan sehina itu. Tak mungkin pula aku haru
Read more
BAB 26
Lamat-lamat kudengar suara berisik dari arah depan rumah. Aku terkejut saat melihat jam dinding yang menunjuk angka setengah enam pagi. Astaga! Aku hampir melewatkan waktu sholatku. Tanpa berpikir dua kali aku segera ke kamar mandi untuk mengambil wudu kemudian sholat dengan sedikit tergesa. Kurasa efek teramat lelah membuatku tak mampu mendengar suara adzan subuh. Tiba-tiba hatiku kembali gerimis. Bayangan wajah Ayah dangan kopyah usangnya melintas di kepalaku. Baju koko putih entah dari lebaran berapa tahun yang lalu selalu setia menemani langkah lelaki itu menunaikan kewajibannya. Sungguh aku merasa sangat kecewa pada diriku sendiri. Demi mewujudkan cita-citaku entah harus berapa ratus kali dia selalu mengabaikan kepentingannya. Tak pernah kulihat ada baju baru yang melekat di tubuh tuanya. Uang pensiunan yang tak seberapa didekap erat ibu tiriku tanpa bisa disentuh oleh tangan lelaki itu. Untuk menyekolahkanku Ayah mengandalkan tenaganya yang sudah ringkih itu menjadi buruh k
Read more
BAB 27
Lelaki Tak Tahu DiriBetapa kaget diriku saat seorang laki-laki tanpa memakai baju hingga memperlihatkan tato di punggungnya tengah tertidur di atas kasur yang tadi kugunakan. Teriakanku tak memberi reaksi apapun pada tubuh kekar di atas ranjang itu. "Kenapa? Ada apa?" Bu Solihah nampak pucat saat mendekati tubuhku. Matanya menatap ke arah yang sama denganku, dimana seorang lelaki masih terlelap dalam tidurnya. "Astaghfirullah!" Bu Solihah beranjak mendekat ke arah ranjang. Dilemparkannya kaos yang terletak di sudut ranjang ke atas tubuh lelaki itu. "Mas, Mas Satya! Bangun. Kenapa nggak bilang dulu mau kemari?" Nampak tangan Bu Sol menggoyangkan tubuh lelaki yang akhirnya kutahu bernama Satya. Lelaki itu menggeliat, hingga kemudian dia mengambil posisi duduk. Aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. "Pakai bajunya!" perintah Bu Sol padanya. Dengan ekor mataku kulihat Satya memakai kaos yang semula teronggok di sudut kasur. "Kenapa tiba-tiba kemari?" tanya wanita itu lagi.
Read more
BAB 28
"Pak Rama bilang pembangunan akan mulai dilaksanakan minggu depan," ucap Satya saat aku menyesap kopi pertamaku sambil memandang krisan warna oranye yang kuletakkan di dekat tempat cuci tangan. Kabar yang disampaikan Satya membuatku hampir berjingkat bahagia. "Dia ingin kita pun hadir di peletakan batu pertama di sana." Satya benar-benar totalitas memberikan informasi yang membahagiakan. Jika dia seorang wanita, sudah pasti kupeluk lelaki itu begitu erat karena rasa bahagiaku. "Pak Rama benar-benar serius dengan proyek kerja sama ini. Dia berharap kita pun akan total memberikan sentuhan tempat itu sesuai proposal yang sudah disepakati bersama." Aku mengangguk mantap. Rasanya ada sesuatu yang meletup-letup di dalam dadaku. "Benarkah? Kapan dia memberitahumu? Mengapa aku tak dengar langsung?" tanyaku bertubi-tubi. Satya tersenyum lebar. Dia yang mengenakan sweater warna mocca dan denim jeans terlihat begitu casual dengan tampilannya kali ini. "Kemarin dia kemari. Saat kau ke sekolah
Read more
BAB 29
Kedatangan Ibu Tiri "Alhamdulillah kamu sehat, Rindu!" Sebuah tangisan dari seorang wanita yang memakai gamis lusuh membuatku bergeming di tempatku berdiri. Tanpa aba-aba, wanita yang akhirnya kuketahui adalah ibu tiriku memeluk kakiku, bersimpuh dengan tangisan yang menggema di ruang tamu rumahku. Wanita yang pernah mengukir lara di masa laluku itu meraung seolah tengah menumpahkan duka yang tak mampu ditahan dadanya. "Rindu, ibu khawatir sekali dengan kehidupanmu setelah kau pergi dari rumah," ucapnya di sela tangisan. Aku masih diam, mencoba menyadarkan diri pada keadaan di depanku. "Maaf, Rindu. Ibu tak bisa mencegah ayahmu mengusirmu dari rumah. Ya Allah… tiap malam aku menangis memikirkan kehidupan yang kau jalani di luar sana. Maaf Rindu… aku sangat menyesal tak mampu membelamu… ." Tangisan kembali kencang, dan justru membuatku muak. Mana mungkin aku percaya dengan apa yang dia katakan? Bahkan aku pun tahu dia bekerja sama dengan Aluna untuk memfitnahku. Dia memotretku dia
Read more
BAB 30
"Dan satu lagi, kalau Ibu bukan orang lain, mengapa dengan tega kau membuat persekongkolan jahat dengan Aluna?!" Wanita itu makin pucat pasi mendengar kalimatku yang pasti amat memojokkannya. Dia tertunduk, entah karena marah atau malu bahwa kebobrokannya berhasil kukuliti bersih. Hei, apa dia kira aku sudah melupakan segalanya? Dia kira aku sudah memaafkan kejahatannya? "Maaf, Rindu. Ibu terpaksa. Aluna memberi iming-iming uang saat itu." Jawabannya memang sesuai dugaanku. Segala kecurangan wanita bergelar ibu tiriku itu tak jauh-jauh dari persoalan uang. Entah setan apa yang bersemayam di otaknya hingga rasa kemanusiannya terpangkas habis demi lembaran-lembaran rupiah. Sungguh, dadaku hampir meledak saat ini. Apalagi melihatnya yang mulai berkaca-kaca saat menatapku. Aku terenyuh? Jangan harap. Hatiku kebas, tak mampu lagi menerima segala bentuk permintaan maaf bahkan sekadar penyesalan sekalipun! "Kau sungguh berubah, Rindu." "Ibu adalah salah satu orang yang berhasil meng
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status