Semua Bab Dinikahi Profesor Galak: Bab 31 - Bab 40
155 Bab
31. Jalan-jalan
Sore hari, akhirnya Zein memutuskan untuk mengajak Intan jalan-jalan. Namun seperti biasa, ia mengajak Intan seolah tak mengajaknya. Zein keluar dari kamar dan bicara pada Intan yang masih duduk di sofa luar. "Kamu mau ikut?" tanyanya. Intan menoleh ke arah Zein. "Enggak, Prof. Makasih," sahutnya, singkat. Kemudian ia langsung memalingkan wajahnya kembali. "Tapi saya mau kamu ikut," ucap Zein lagi. Padahal apa susahnya mengajak secara baik-baik. Ia malah bertanya Intan ingin ikut atau tidak seperti ketika ia mau mengantarnya pulang. "Prof ini sebenarnya mau ngajak saya pergi atau mau menawarkan saya untuk ikut?" tanya Intan, kesal. "Apa bedanya?" Zein balik bertanya.
Baca selengkapnya
32. Menodai Ruangan
Malam hari, saat hendak tidur Intan canggung karena malam ini mereka tidur dalam kondisi sadar. Sebab mereka sudah bercinta sore tadi dan cukup lelah untuk mengulanginya lagi. Zein pun salah tingkah. Ia sedang bingung bagaimana agar suasananya tidak terlalu canggung. “Ehem!” Ia berdehem untuk menetralkan tenggorokkannya. Saat ini mereka sedang berbaring bersebelahan menghadap ke langit-langit. “Kamu bisa geser ke sini, gak?” tanya Zein. Intan menoleh ke arah Zein. “Untuk apa?” tanyanya. “Saya biasa tidur meluk guling. Di sini gak ada guling, jadi saya mau meluk kamu,” ucap Zein. Sebenarnya itu hanya modus agar ia bisa tidur sambil memeluk istriny
Baca selengkapnya
33. Suami atau Raja
"Wah ... sepertinya sebentar lagi Papah akan dapat cucu, nih," ledek Muh, sambil tersenyum.Intan semakin tercengang. Ia tidak menyangka ternyata Muh sesantai itu. Ia pikir seorang pemilik rumah sakit akan menjaga wibawanya. Intan tidak tahu bahwa keluarga Zein memiliki hubungan yang hangat dan santai."Ya kan sesuai keinginan Papah. Sebagai anak yang baik, aku sih nurut aja. Yang penting udah usaha. Masalah hasilnya gimana nanti. Iya kan, Sayang?" ucap Zein sambil merangkul pinggang Intan dan menoleh ke arahnya. Sehingga bibir Zein begitu dekat dengan pipi Intan.Ternyata ada sisi lain dari Zein yang tidak Intan ketahui. Ia pikir selama ini Zein adalah orang yang kaku dan selalu serius. Namun ternyata ia justru sangat santai saat sedang berbincang dengan papahnya.Wajah Intan merona, ia hanya menjawabnya dengan anggukkan. 'Oh, jadi ini maksudnya harus mesra di depan orang tua?' batin Intan.Ia kesal karena Intan pikir Zein sedang berakting. Padahal saat ini suaminya itu sedang memanf
Baca selengkapnya
34. Terpancing
Intan terkesiap setelah mendengar ucapan Zein barusan. Ia tidak habis pikir mengapa Zein bisa bicara seperti itu. Padahal ia tidak pernah meminta Zein untuk melakukan hal tersebut.Hatinya yang sedang berbunga pun seketika hancur. Ia yang sudah diajak terbang tinggi oleh Zein, seolah langsung diempaskan begitu saja.Intan langsung menoleh dan merebut handuk yang ada di tangan Zein. "Ternyata benar ya apa kata orang. Punya suami tuh cuma mau enaknya aja. Udah dapet enaknya, tapi jaga perasaan istri aja gak bisa!" skak Intan. Ia membalikkan ucapan Zein.Zein ternganga. Ia tak menyangka Intan akan marah seperti itu. Padahal maksudnya hanya bercanda. Namun candaan orang kaku seperti dia tidaklah lucu."Satu lagi. Saya tidak pernah meminta Prof untuk mengeringkan rambut saya. Saya pikir Anda ikhlas melakukannya. Namun ternyata malah bicara seolah saya yang menyuruh Anda. Maaf, mulai saat ini saya pastikan tidak akan sekali pun saya merepotkan Anda. Permisi!" ucap Intan, kesal.Ia pun langs
Baca selengkapnya
35. Debaran Jantung
Zein yang tanpa dosa itu langsung melajukan mobilnya kembali. Ia seolah tak peduli meski Intan sedang kebingungan akan sikapnya.'Seumur hidup, baru kali ini ada cowok yang perhatian sama aku. Tapi kenapa harus dia orangnya? Aku bingung harus seneng atau sedih. Sebab pria yang perhatian padaku justru pria yang paling menyebalkan,' batin Intan.Zein bingung mengapa Intan tercenung sejak ia masuk mobil tadi. Ia melirik ke arah Intan lalu ke arah sun visor. 'Pantesan, tisunya abis,' batin Zein. Ia yakin Intan tidak berani untuk meminta tisu padanya. Sampai darah yang ada di kakinya hampir mengering seperti itu.Setiap haid, Intan memang selalu begitu. Seperti orang yang pendarahan. Tak jarang darah yang keluar berbentuk gumpalan karena terlalu banyak."Kalau kamu butuh tisu, ambil aja di dashboard!" ucap Zein tanpa basa-basi. Ia tak menyangka haid Intan akan sebanyak itu. Sehingga tadi Zein langsung mengajaknya pulang. Alih-alih membelikan pembalut di apotek rumah sakit lebih dulu.Intan
Baca selengkapnya
36. Minta Dipijit
Deg!Intan terperanjat saat melihat Zein muncul. Hantinya berdesir, bahagia karena ternyata Zein tidak meninggalkan rumah.'Eh, kirain pergi,' batin Intan, sambil menahan senyuman."Ditanya kok gak jawab," ucap Zein sambil berlalu menuju lemari. Ia mengambil pakaian santai karena ingin stay di rumah."Ini baru mau tidur, Prof," sahut Intan.Zein yang sedang mengambil pakaian pun menghentikan gerakannya. Kemudian ia menoleh ke arah Intan dan menaruh satu tangannya di pinggang. Satu lagi berpegangan pada lemari."Sampai kapan kamu mau manggil saya dengan sebutan seperti itu? Ini rumah, kamu istri saya dan saya bukan konsulenmu lagi. Apa kamu pikir panggilan seperti itu pantas untuk suami?" tanya Zein.Sebenarnya sudah sejak lama ia risih dengan panggilan seperti itu. Namun baru kali ini ia protes."Terus saya harus manggil apa?" tanya, Intan. Ia bingung panggilan apa yang pantas untuk suaminya itu."Ya terserah. Sayang kek, atau apa gitu," ucap Zein sambil balik badan dan menahan senyum
Baca selengkapnya
37. Tanggung Jawab
Zein terkesiap saat Intan mengatakan minta dipijit. "Kamu kan lagi haid. Ngapain minta pijit segala?" tanya Zein, kesal. Permintaan itu membuat pikirannya ke mana-mana. Ia sudah berusaha untuk tidak tergoda. Namun Intan malah seolah sengaja ingin menggodanya."Ya udah gak apa-apa kalau Mas gak mau. Maaf merepotkan," jawab Intan. Kemudian ia hendak berbaring dan pura-pura meringis kesakitan. Ia yakin Zein tidak akan tega melihatnya seperti itu."Ssshh, aduh," lirih Intan sambil meringis.Melihat Intan seperti itu, Zein pun tidak tega. "Ya sudah, mana yang mau dipijit?" tanya Zein, ketus."Sebentar," sahut Intan. Kemudian ia membalik tubuhnya perlahan, lalu tiarap di atas tempat tidur. Intan berusaha menahan senyuman karena merasa lucu saat melihat ekspresi Zein.Zein ternganga melihat posisi Intan seperti itu. Apalagi ketika Intan menunjuk bokongnya yang ada di hadapan Zein tersebut. "Yang ini, Mas," ucap Intan.Zein menelan saliva. "Kenapa kamu tidak pakai baju?" tanya Zein, lemas. Tu
Baca selengkapnya
38. Berdebat
Intan terperanjat saat mendapatkan pertanyaan itu dari Zein. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. "Kan tadi udah dipijit sama Mas. Alhamdulillah langsung ilang sakitnya," sahut Intan tanpa menatap Zein.Zein memicingkan matanya. "Apa tangan saya sangat ajaib sampai kamu langsung sembuh seperti itu?" tanyanya."Mungkin," sahut Intan. Setelah itu ia menyuap makanan ke mulutnya.'Apa dia tidak sedang membohongiku?' batin Zein. Ia masih curiga pada Intan.Saat sedang menikmati makanannya, Intan menatap Zein sambil tersenyum. Hal itu pun membuat Zein salah tingkah. "Ada apa?" tanyanya.Intan mengulurkan tangannya dan mengusap sudut bibir Zein dengan jarinya. "Mas tumben makannya kayak anak kecil, berantakan," ucap Intan. Setelah itu ia menunjukkan tangannya yang terkena bumbu di bibir Zein, lalu menjilat tangan itu sendiri.Tentu saja Zein semakin salah tingkah. Biasanya lelaki yang berbuat seperti itu terhadap wanita. Namun kini justru Intan yang melakukannya. "Apa kalau sedang haid kamu
Baca selengkapnya
39. Mulai Mencair
Intan heran mendengar ucapan Zein barusan. "Maksudnya apa, sih? Apa secara gak langsung dia bilang kalau dia itu cinta sama aku?" gumam Intan. Ia merasa ucapan Zein barusan seperti pengakuan. "Ah, mana bisa begitu. Kalau cinta ya harus bilang cinta. Masa diem-diem aja. Mana masih galak pula," keluh Intan. Ia masih tidak terima jika Zein belum mengungkapkannya dengan benar. Beberapa saat kemudian, Zein pun keluar dari kamar mandi. "Ayo pulang!" ajaknya. Intan tidak menjawab. Ia langsung berdiri dan membuntuti Zein. "Mas duluan aja! Nanti aku lewat jalan lain," ucap Intan saat keluar dari ruangan Zein. Zein menoleh ke arah Intan. "Kenapa? Kamu malu jalan sama saya?" tanya Zein.
Baca selengkapnya
40. Malu Sendiri
Intan terperanjat saat Zein menariknya. Ia pun mematung kaku, tak berani menoleh ke arah Zein. 'Duh, ketauan dong?' batinnya. Ia sudah tidak bisa mengelak lagi jika memang Zein mendengar semua ucapannya. Sebab Intan ingat betul bagaimana dirinya mendengar ucapan Zein saat sedang pura-pura tidur. "Aku cinta kamu, Intan. Jangan tinggalkan aku," gumam Zein, pelan. Kemudian ia menelusupkan wajahnya di tengkuk Intan. Jantung Intan berdebar hebat. Ia tak menyangka Zein akan mengatakan hal itu dalam waktu dekat. "Mas," panggilnya. Ia bahkan terharu setelah mendengar ucapan itu. Namun, setelah beberapa detik, Zein tidak menjawab panggilan Intan. Intan pun mencurigai sesuatu. "Mas!" panggil Intan lagi. Nada suaranya mulai berubah.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
16
DMCA.com Protection Status