All Chapters of Menikahi Perjaka Tua Teman Kantor Papa: Chapter 41 - Chapter 50
74 Chapters
Bab 39
"Aku masih nggak bisa ngebayangin gimana kalau penjahat itu benar-benar datang." Pesan Miranti kembali masuk. Astaghfirullah. Kalila membiarkan pesan Miranti tanpa balasan. Diletakkannya ponsel di meja rias karena pintu kamarnya dibuka dan Farhan masuk. Pria itu mendekati meja rias, mengambil parfum dan menyemprotkannya ke tubuh. Mulutnya masih terkatup rapat. Kalila memandang tubuh tegap Farhan dari cermin. Tangannya yang hampir mengoleskan lips gloss berhenti bergerak. Dihelanya napas lalu membuka mulut. "Bang …." Ia benar-benar tidak tahan dengan suasana serba canggung sehingga memberanikan diri bersuara. "Kenapa, Lila?" Farhan bersandar di dinding, menghadap Kalila dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. Wajahnya terkena cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela. Kalila melihat senyum Farhan, tetapi mata pria itu tidak bisa berbohong. Farhan sedang tegang dan … menyimpan rasa takut. Kalila meremas rok jeansnya. "Apa Bang Farhan sudah bicara dengan Pak A
Read more
Bab 40
Hening menjeda pembicaraan dua lelaki paruh baya itu. Sesaat hanya ada deru mesin pendingin dan detak jarum jam. Haryo diam, membiarkan ketegangan menguasai ruang kerjanya. Ditatapnya Wisnu lekat-lekat. Ia sudah menduga Wisnu akan mempertanyakan keputusannya, tetapi ia belum menyiapkan jawaban apa pun. Ia pikir, Andromeda pasti sudah menemui Wisnu terlebih dahulu. Jadi sekarang, dr. Haryo butuh waktu untuk mencari jawaban paling tepat. "Aku tidak mengira kamu melacurkan diri dan mengobarkan temanmu." Wisnu berkata dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca. Di akhir usia, satu-satunya teman yang ia percaya sungguh-sungguh justru telah berkhianat, diam-diam menikung dari belakang. Kepala Wisnu serasa mau meledak menyadari hal itu. "Pa …." Kalila memegang lengan Wisnu. Dilihatnya paras Wisnu yang kaku dan dingin meski mata lelaki itu berembun. Kalila bisa mengerti perasaan sang papa, tetapi menyerang dr. Haryo sefrontal itu tidak pernah terlintas di benak Kalila. Sementara itu, di s
Read more
Bab 41: Resep Tambah Cinta
Sore itu menjadi hari kelabu bagi Kalila. Seiring dengan tergelincirnya matahari di balik cakrawala, ia harus melihat Farhan tergeletak di sisi utara tempat parkir RS Sardjito. Tempat parkir itu ada di lantai tujuh, langsung beratap langit yang saat itu berwarna jingga kemerahan. Angin bertiup cukup kencang meriapkan ujung jilbab dan bagian bawah roknya. Ketika Kalila mendekat, seorang pria dengan pistol di tangan juga melakukan hal yang sama. Pria itu bertubuh tinggi tegap dengan rambut lurus dan dibiarkan sedikit memanjang. Ia berkulit cokelat gelap dengan manik mata cokelat terang. Sebuah tahi lalat ada di sisi kiri hidungnya yang bangir. Sementara kakinya terayun cepat, pistol di tangan pria itu terus terarah pada laki-laki yang menindih Farhan. Laki-laki yang menindih Farhan juga berpostur tinggi tegap. Ia memakai hoodie hitam dengan gambar samurai di bagian punggung. Pada pipi kiri pria itu, terdapat bekas luka sayat yang membentuk huruf X. Kalila menatap ngeri wajah kaku pri
Read more
Bab 42: Ancaman
Koridor rumah sakit sepi. Hampir tengah malam, tidak ada pengunjung yang menengok rekan atau saudara yang sakit selarut ini. Sesekali perawat masuk ke kamar pasien, mungkin karena ada keluhan atau hal mendesak lainnya. Andromeda meninggalkan dua anggotanya di depan pintu kamar Farhan. Mereka baru datang lewat waktu magrib sehingga masih bugar dan rapi, kontras dengan keadaannya yang mirip layangan lusuh tersangkut pohon selama berhari-hari. Kepalan tangan Andromeda meninju pelan lengan salah satu anggotanya yang berjaga di ujung koridor. Ia berbincang sesaat sebelum meneruskan langkah menuju food court. Ia butuh kop untuk meredam kecamuk pikiran dan sedikit mengurangi letih di tubuhnyai. "Markas kosong tanpa jejak." Laporan komandan tim pemburu berdengung di kepala Andromeda saat ia berada di dalam lift. Kepalanya menatap lurus ke arah pintu lift sementara kedua tangan tersimpan di saku celana. Sendiri di dalam kotak besi itu membuatnya leluasa berpikir tanpa obrolan orang lain. "
Read more
Bab 43: Ancaman (2)
Meninggalkan rumah sakit yang lengang, Andromeda memacu motor menembus dinginnya dini hari, menuju kantor. Dikenakannya jaket kulit dan sarung tangan hitam untuk melindungi tubuh dari gigitan suhu rendah kota gudeg pada akhir-akhir musim kemarau. Ketika tiba di kantor, dilihatnya kepala tim pemburu keluar dari pantry dengan mug putih yang menyebarkan aroma kopi panas di tangan. Penampakan pria berambut cepak dengan luka gores di salah satu alisnya itu tidak kalah berantakan dengan Andromeda. “Kopi, Ndan?” tawarnya dengan suara lelah. Raut muka pria itu tidak kalah kusut dengan Andromeda. Andromeda menggeleng. “Makasih, Ya. Ada yang bisa kamu laporkan?” Sebenarnya Andromeda tidak ingin menanyakan apa pun karena otaknya sudah ruwet, tetapi ia tidak bisa mengontrol saraf mulutnya untuk tidak mengatakan hal itu. Setiap bertemu anak buahnya, Andromeda akan refleks bertanya. Lelaki yang dipanggil Arya itu mengangguk kemudian mengajak Andra ke ruang kerjanya. “Kami sudah dapatkan sali
Read more
Bab 44: Tidak Ada Jalan Lain
Salah satu anggota tim IT mengirim rekaman suara ke perangkat lunak pendeteksi pemilik suara. Sekian menit Andromeda dan polisi berambut gondrong itu menunggu komputer selesai memindai. Lalu, layar menampilkan sosok pemilik suara. Seorang pria berkulit cokelat dengan hidung sedang dan tatap mata tajam. Ada tahi lalat di dagu dan dekat telinga kanan. Sebuah nama tertulis di bawah foto si pemilik suara jernih dan tenang itu. Petugas IT beralih ke sistem penyimpan data. Kursor terarah ke file Atamdeva's dalam dalam hitungan detik ratusan foto terpampang di layar. Andromeda menunjuk salah satu foto yang kemudian diperbesar. "Jadi dia orang kepercayaan Kaivan Atmaveda?" "Kalau melihat foto ini memang begitu, Ndan " "Bagaimana dengan telepon yang saya terima semalam?" Layar kembali menampilkan foto dua laki-laki beda usia. "Orang kepercayaan Airlangga Atmaveda." "Ada masalah apa Prof. Wisnu dengan Airlangga?" "Agak berat." Kursor beralih ke file kasus Atmaveda. "Prof. Wisnu menemuka
Read more
Bab 45: Perseteruan dengan Miranti
Otot wajah Farhan yang semula menegang, tiba-tiba melunak. Ia tersenyum. "Kamu mengkhawatirkanku, Lila?”"Astaga." Andromeda mengambil notes dari saku celana dan membantingnya ke lantai. "Ini bukan saatnya bermesraan, Kawan!" Andromeda mengerang lalu menatap sengit Farhan. “Kutu busuk! Kampret goreng!” Ia tidak tahan untuk mengumpat."Ma-maaf." Kalila tertunduk malu. Ia menarik tangannya karena bermaksud kembali ke balkon. "Tidak usah pergi." Farhan meraih tangan Kalila dan menahannya agar tetap di samping ranjang. "Di sini saja, Lila. Kamu boleh mendengar pembicaraan kami. Kalau suatu hari terjadi sesuatu padaku dan Papa, kamu tahu apa yang harus dilakukan." Andromeda melengos. Wajahnya kembali memanas. Farhan yang sok romantis, dia yang malu. Sialan! Benar-benar sialan! Sepertinya ia harus segera pergi. Ia bisa sesak napas kalau lebih lama bersama Farhan dan Kalila."Aku akan buatkan surat pernyataan pembubaran LSM dan pengunduran dirimu dan Prof. Wisnu. Kamu tinggal membacakan."
Read more
Bab 46: Secangkir Kopi untuk Miranti
Sialan! Andromeda menepukkan kedua telapak tangannya, memanggil anak buahnya. "Ambilkan piring. Aku mau makan,” perintahnya pada salah satu anggotanya."Nggak makan Mbak Miranti saja, Ndan?"Andromeda melotot. "Makan kamu kayaknya lebih enak." Anak buahnya lari terbirit-birit ke pantry untuk mengambil piring dan gelas. Kalau Andromeda mengatakan akan memakan mereka, itu artinya dia sangat kesal. Jangan sampai berada di dekat Andromeda saat pria itu sedang jengkel. Setelah makan siang yang terlalu awal, Andromeda meminta izin pada perawat untuk menemui Wisnu. Ketika melewati ruang makan, ia melirik Miranti yang mengacuhkannya seolah Andromeda adalah kuman penyakit yang harus disingkirkan. Andromeda mengurungkan niat untuk menyapa Miranti, khawatir tujuan utamanya ke rumah Wisnu gagal. Ia akan kembali mencoba mengobrol jika urusan dengan Wisnu sudah selesai. Andromeda berdiri di ambang pintu, mengetuk tiga kali, kemudian duduk di kursi di samping ranjang. “Bagaimana kondisi Anda, P
Read more
Bab 47: Kedatangan Gea
Wisnu menjadi orang pertama yang diingat Miranti saat terjaga. Ia mengusap leher yang terasa pegal lalu menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. Lalu, dilihatnya perawat tertidur di sofa dengan posisi duduk. Kaki perawat itu selonjor sementara punggungnya bersandar di sofa dan kepalanya di bahu sofa. Miranti menghela napas. Semua lelah dan mengantuk, termasuk dirinya. Sampai-sampai ia tidak ingat halaman novel yang terakhir dia baca. Setelah meregangkan tubuh dengan menautkan jemari lalu menariknya ke atas, Miranti ke kamar Wisnu dan pria itu juga sedang terlelap. Miranti mendekat, mengecek tarikan napas Wisnu dan ia lega karena kondisi Wisnu cukup stabil dan tidak lagi mengkhawatirkan. "Lila." Miranti yang akan melangkah keluar kamar berhenti kemudian berbalik. Ditatapnya paras pucat dan lelah milik Wisnu. Mata pria itu terpejam dan tarikan napasnya teratur. Miranti mulai berpikir kalau ia mungkin mengalami halusinasi, seolah-olah mendengar Wisnu memanggil Kalila. Ia pun kembali men
Read more
Bab 48: Perseteruan dengan Gea
Gea terdiam sesaat. Kedua matanya mengerjap lalu ia tersenyum masam. Ia seperti tidak sedang bicara dengan Miranti yang peduli dan empati. Yang ia hadapi saat ini adalah manusia jutek dan tak tahu adab dalam bicara. "Jangan marah karena Mas Haiyan lebih memilih aku, bukan Kalila." Gea menebak sumber sikap tak bersahabat dan tuduhan sepihak Miranti. Meski ia dan Miranti juga berteman baik, tetapi tidak sedekat hubungan Miranti dan Kalila. "Aku tidak terlalu peduli tentang hal itu." Miranti meneguk kopinya dan membiarkan latte art memudar bercampur dengan kopi. Kedua alis Gea sedikit berkerut. Gea berpikir, memangnya, apa lagi yang membuat Miranti muntab kalau bukan pernikahannya dengan Haiyan? "Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang urusan romansa remeh-temeh seperti itu." Miranti berdiri kemudian mendekati seorang polisi yang duduk di salah satu sudut beranda. "Maaf, bisakah Anda tinggalkan kami berdua?" "Maaf, Mbak, tidak bisa. Mbak Miranti juga harus kami pastikan ke
Read more
PREV
1
...
345678
DMCA.com Protection Status